Orang Tionghoa-Indonesia
![]() | Artikel ini harus menyertakan konten berbahasa non-Indonesia menggunakan {{lang}}, {{transliteration}} untuk alih-bahasa, dan {{IPA}} untuk transkripsi IPA. Lihat kode ISO 639 untuk bantuan parameternya. |
印度尼西亞華人 印度尼西亚华人 | |
---|---|
![]() Melakukan ritual untuk malam Tahun Baru Imlek 2020 di Indonesia | |
Jumlah populasi | |
2,832,510 (2010, Sensus Penduduk Indonesia)[1] 3,280,000 (2020, National Geographic)[2] 11,150,000 (2023, Dewan Urusan Komunitas Luar Negeri, Taiwan)[3] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
![]() Di seluruh Indonesia Terutama di Jawa, Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan, dengan populasi yang signifikan di Indonesia Timur, terutama di sebagian wilayah Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku Populasi diaspora yang signifikan di: ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() | |
Bahasa | |
Utama Indonesia (lingua franca) Bahasa ibu Indonesia, Betawi, Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, Bali, Melayu dan variasinya dan Bahasa di Indonesia lainnya Bahasa kedua Hokkien, Hakka, Tiochiu, Kanton, Fuzhou, Henghua, Hainan, Taishan, Mandarin dan varietas bahasa Tionghoa lainnya. Bahasa tersier Inggris | |
Agama | |
Sebagian besar Buddhisme, Konfusianisme, Kekristenan | |
Kelompok etnik terkait | |
Orang Tionghoa Indonesia | |||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Hanzi tradisional: | 印度尼西亞華人 | ||||||||||||||||||||||||||||||
Hanzi sederhana: | 印度尼西亚华人 | ||||||||||||||||||||||||||||||
Makna harfiah: | Orang Tionghoa Indonesia | ||||||||||||||||||||||||||||||
|
Orang Tionghoa Indonesia (juga disebut Orang Tionghoa atau singkatnya Tionghoa)[8] adalah warga negara Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa, dengan leluhur yang bermigrasi dari Tiongkok dalam kurun waktu delapan abad terakhir. Mereka merupakan salah satu kelompok etnis minoritas yang sudah lama menetap di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam sejarah, ekonomi, serta kebudayaan nasional.
Jumlah pasti populasi Tionghoa Indonesia tidak diketahui karena sensus penduduk 2020 tidak mencatat data etnis. Sensus 2010, yang terakhir memuat kategori etnis, mencatat 2.832.510 jiwa sebagai Tionghoa Indonesia. Perkiraan terkini berbeda cukup jauh, mulai dari sekitar 3,28 juta pada 2020 menurut pakar demografi Indonesia[2] hingga 11,15 juta pada 2023 menurut Dewan Urusan Komunitas Luar Negeri (OCAC) Taiwan, sehingga komunitas ini dapat digolongkan sebagai komunitas Tionghoa perantauan keempat terbesar di dunia menurut perkiraan demografer Indonesia, atau yang terbesar menurut OCAC.[3]
Orang Tionghoa dan keturunannya yang berasal dari Indonesia telah tinggal di kepulauan Indonesia setidaknya sejak abad ke-13. Banyak dari mereka yang awalnya datang sebagai pendatang (penduduk sementara), yang berniat untuk kembali ke kampung halamannya di hari tua.[9] Namun, sebagian lagi tinggal di wilayah ini sebagai migran ekonomi. Populasi mereka berkembang pesat selama periode kolonial ketika para pekerja dikontrak dari provinsi asal mereka di Tiongkok Selatan.
Populasi di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930.[10] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[11]
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% atau 1.739.000 jiwa yang mengaku sebagai Tionghoa. Definisi "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku sebagai "Tionghoa" dalam sensus. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[12]
Menurut Perpustakaan Universitas Ohio, jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Tiongkok[13] Sedangkan pada tahun 2006 jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 7.670.000.[14] Poston, Dudley; Wong, Juyin (2016) memperkirakan populasi Tionghoa Indonesia mencapai lebih dari 8.010.720 jiwa.[15] Menurut data Statista pada tahun 2023, Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 11,15 juta penduduk keturunan Tionghoa dan menjadikannya negara dengan populasi Tionghoa terbesar di luar Tiongkok. Angka ini setara dengan sekitar 4% dari total populasi Indonesia[16].
Sejarah
Masa-masa awal
Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India.
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Era kolonial
Pada masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[butuh rujukan]. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (kedua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[17] Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama Kesultanan Mataram, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743 yang disebut dengan peristiwa Perang Kuning.[18] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[butuh rujukan] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825–1830. Pembantaian di Batavia tersebut[19][20][1] Diarsipkan 2009-09-21 di Wayback Machine. melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan permukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Budaya
Bahasa

Empat kelompok bahasa Tionghoa utama diwakilkan di Indonesia: Hokkien (Min Selatan; Min Nan), Hainan, Hakka dan Kanton. Selain empat ini, orang-orang Tiochiu memiliki dialek mereka sendiri yang masih dapat saling dimengerti sampai tingkat tertentu dengan bahasa Hokkien. Meskipun begitu, pembedaan di antara keduanya semakin ditekankan di luar wilayah asal mereka.[21] Diperkirakan ada sekitar 2,2 juta penutur asli berbagai ragam bahasa Tionghoa di Indonesia pada tahun 1982: 1.300.000 penutur ragam Min Selatan (termasuk bahasa Hokkien dan Tiochiu); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Hainan; 180.000 penutur bahasa Kanton; dan 20.000 penutur ragam Min Timur (termasuk dialek Fuzhou). Selebihnya, sekitar 20.000 merupakan penutur dialek bahasa Indonesia.[22]
Banyak dari orang Tionghoa yang tinggal di ibukota Jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa tidak fasih dalam bahasa-bahasa Tionghoa, akibat pelarangan bahasa-bahasa Tionghoa oleh Orde Baru. Namun, mereka yang tinggal di kota-kota non-Jawa, khususnya di Sumatra, Sulawesi, Maluku, serta Kalimantan dapat menuturkan bahasa Tionghoa dan dialek-dialeknya dengan fasih. Orang-orang Tionghoa di pesisir timur laut Sumatra, khususnya di Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Riau dan Jambi sebagian besar adalah penutur bahasa Hokkien (Min Nan), yang populasinya juga banyak terdapat di Sumatera Barat, terutama di pusat Minangkabau, yaitu Padang, dan juga ada dua rqagam bahasa Hokkien yang digunakan, seperti bahasa Hokkien Medan, yang didasarkan pada dialek Zhangzhou dan bahasa Hokkien Riau, yang didasarkan pada dialek Quanzhou. Terdapat juga penutur bahasa Hokkien di Jawa (Semarang, Surakarta, dll.), Sulawesi, khususnya Kendari di Provinsi Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Denpasar di Bali, Palembang, Sumatera Selatan, Ambon, Manado dan Makassar, serta juga Kalimantan, khususnya di Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kartanegara dan ibukota provinsi Samarinda). Sedangkan, orang-orang Hakka adalah kelompok dialek mayoritas di Aceh, Bangka-Belitung, Ambon di Provinsi Maluku, Palembang di Sumatera Selatan dan wilayah utara Kalimantan Barat seperti Singkawang, Pemangkat dan Mempawah, beberapa komunitas Hakka juga tinggal di bagian-bagian Pulau Jawa khususnya di Tangerang dan Jakarta, Pontianak di Kalimantan Barat, Jambi dan Lampung di Sumatra, Banjarmasin di Kalimantan Selatan, Manado di Sulawesi Utara, Batam di Kepulauan Riau serta sejumlah kecil minoritas yang tersebar di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Orang-orang Kanton sebagian besar tinggal di kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Makassar, Semarang dan Manado. Orang-orang Tiochiu adalah mayoritas dalam komunitas Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya wilayah-wilayah pusat dan selatan seperti Kendawangan, Ketapang dan Pontianak, juga di Kepulauan Riau, yang meliputi Batam dan Karimun. Terdapat beberapa komunitas orang Hokchia atau penutur bahasa Fuzhou yang cukup besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, khususnya di Surabaya dan Semarang. Kelompok penutur dialek Hainan sebagian besar tinggal di kota Pematangsiantar di Provinsi Sumatera Utara, yang adalah kota terbesar di luar Medan dengan populasi minoritas Tionghoa yang dominan dari kelompok dialek tersebut, dan dalam jumlah yang lebih sedikit di kota-kota lain seperti Manado di Sulawesi Utara (di mana populasi minoritas Tionghoa lokal sebagian besar didominasi oleh subkelompok Kanton dan Hakka), juga di kota Pekanbaru di Provinsi Riau dan Batam di Kepulauan Riau.

Banyak orang Indonesia, termasuk etnis Tionghoa, percaya akan adanya dialek bahasa Melayu yang dikenal sebagai Melayu Tionghoa atau Melayu Cina. Berkembangnya sastra peranakan di paruh kedua abad ke-19 melahirkan varian semacam itu dan dipopulerkan melalui cerita-cerita silat yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau dituliskan dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Meskipun begitu, para ahli berpendapat bahwa bahasa ini berbeda dari campuran bahasa Jawa dan Melayu lisan yang dianggap "hanya digunakan oleh etnis Tionghoa".[a]
[E]xcept for a few loan words from Chinese, nothing about 'Chinese Malay' is uniquely Chinese. The language was simply low, bazaar Malay, the common tongue of Java's streets and markets, especially of its cities, spoken by all ethnic groups in the urban and multi-ethnic environment. Because Chinese were a dominant element in the cities and markets, the language was associated with them, but government officials, Eurasians, migrant traders, or people from different language areas, all resorted to this form of Malay to communicate.
— Mary Somers Heidhues, The Encyclopedia of the Chinese Overseas[23]
According to Ellen Rafferty, in Java, the peranakan generally started to speak Low Malay [Bazaar Malay] and some Javanese at home before 1800, while used the Low Malay for extra-local communication. The peranakan showed the usage of some Javanese in written communication since 1800. The spoken Javanese was later identified as ngoko variant. After 1880, the written Javanese was replaced by written Low Malay. Since 1945, the peranakan use Indonesianised-Javanese in home, supplanted by ngoko Javanese in local speech and Indonesian in extra-local communication and writing.[24]
Academic literature discussing Chinese Malay commonly note that ethnic Chinese do not speak the same dialect of Malay throughout the archipelago.[25] Furthermore, although the Dutch colonial government first introduced the Malay orthography in 1901, Chinese newspapers did not follow this standard until after independence.[26] Because of these factors, the ethnic Chinese played a "significant role" in the development of the modern Indonesian language as the largest group during the colonial period to communicate in a variety of Malay dialects.[27]
By 2018 the number of Chinese Indonesians studying Standard Mandarin increased.[28]
Busana
Cheongsam
Cheongsam merupakan busana tradisional (perempuan) Tionghoa. Pakaian dicirikan oleh kerah berdiri, membuka sisi kanan, pas pinggang, dan tergelincir bawah, yang sepenuhnya dapat memicu keindahan bentuk tubuh perempuan. Cheongsam berasal dari chèuhngsāam . [29]
Seni Pertunjukan
Barongsai
Barongsai adalah tari tradisional Tionghoa dengan menggunakan sarung dan kostum yang menyerupai singa. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Pada 1965 kesenian barongsai di Indonesia sempat terhenti akibat situasi politik dan adanya pelarangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Meski saat itu barongsai tidak diizinkan dimainkan, namun ada satu tempat yang bisa menampilkan kesenian budaya barongsai secara besar-besaran, yakni di Kota Semarang, tepatnya di panggung besar Kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Barongsai di Indonesia kemudian mengalami masa marak ketika masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mempopulerkan seni barongsai. Pada 9 Agustus 2012 di Jakarta, telah berdiri FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia) yang menjadi wadah dari olahraga barongsai di Indonesia. FOBI akhirnya resmi masuk KONI pada 11 Juni 2013. Barongsai pun kini tidak hanya dimainkan oleh etnis Tionghoa saja, namun juga dimainkan oleh para kaum muda non-Tionghoa.[30]
Liang Liong
Tari Naga atau disebut juga Liang Liong di Indonesia. Tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu. Orang Tionghoa sering menggunakan istilah 'Keturunan Naga'(龍的傳人 atau 龙的传人, lóng de chuán rén) sebagai suatu simbol identitas etnis. Dalam tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan belasan tongkat atau lebih. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari.
Wayang Potehi
Wayang Potehi merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau dan telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia. . Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.
Festival

Festival Qingming

Festival Qingming merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah kubur sesuai dengan ajaran Khong Hu Cu. Festival tradisional Tionghoa ini dilaksanakan pada hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin (atau hari ke-15 pada hari persamaan panjang siang dan malam di musim semi), pada umumnya dirayakan pada tanggal 5 April atau 4 April pada tahun kabisat.
Imlek
Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di tarikh Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun". Perayaan ini dirayakan dengan kumpul keluarga, jamuan besar, berdoa, penyalaan lampion dan penyulutan kembang api.
Tokoh Tionghoa Indonesia
Galeri
Lihat pula
- Tiongkok
- Daftar tokoh Tionghoa Indonesia
- Marga Tionghoa
- Orang Peranakan
- Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
- Pecinan
- Peraturan terhadap orang Tionghoa di Indonesia
- Persekutuan Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia
- Tionghoa
- Masakan Tionghoa Indonesia
- Tionghoa Padang
Catatan
- ^ Indonesian scholar Dede Oetomo believed "the term 'Chinese Malay' is really a misnomer. There may be a continuity between 'Chinese Malay' and modern Indonesian, especially because the former was also used in the written discourse of members of ethnic groups besides the Chinese in the colonial period and well into the postindependence era" (Kahin 1991, hlm. 54).
Referensi
- ^ "Chinese Diaspora".
- ^ a b "Berapakah Jumlah Sesungguhnya Populasi Tionghoa di Indonesia?". nationalgeographic.grid.id. 5 June 2021. Diakses tanggal 22 August 2023.
- ^ a b "Statistical Yearbook of the Overseas Community Affairs Council, R.O.C. (TAIWAN)" (PDF) (dalam bahasa Chinese). Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
- ^ Stephen Gapps. "A Complicated Journey: Chinese, Indonesian, and Australian Family Histories". Australian National Maritime Museum. Diarsipkan dari asli tanggal 6 May 2018. Diakses tanggal 22 April 2018.
- ^ Terri McCormack (2008). "Indonesians". Dictionary of Sydney. Diakses tanggal 22 April 2018.
- ^ a b Thomas Fuller (12 December 1998). "Indonesia's Ethnic Chinese Find a Haven For Now, But Their Future Is Uncertain: Malaysia's Wary Welcome". The New York Times. Diakses tanggal 22 April 2018.
- ^ "Statistics" (dalam bahasa Tionghoa). National Immigration Agency, ROC. Diakses tanggal 2011-02-13.
- ^ Kenneth Utama (30 August 2016). "Why it's important to talk about Chinese-Indonesians or Cindo". The Jakarta Post. Diakses tanggal 9 March 2021.
- ^ Wang Gungwu (1996). "Sojourning: the Chinese experience in Southeast Asia". Dalam Anthony Reid (ed.). Sojourners and settlers: histories of Southeast Asia and the Chinese. Honolulu: University of Hawai'i Press. hlm. 1–9.
- ^ Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat (ed.). "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2.
- ^ Skinner, G.W. (1963). R.T. McVey (ed.). "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. hlm. hal. 99. Pemeliharaan CS1: Tahun (link)
- ^ Kusno, Malikul (Sabtu, 9 Desember 2006), "UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa", Harian Umum Sinar Harapan, diarsipkan dari asli tanggal 2008-06-16, diakses tanggal 18 Agustus 2008 ; Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
- ^ "Ohio University". Diarsipkan dari asli tanggal 2007-03-10. Diakses tanggal 2007-02-28.
- ^ "印尼2006 年華人人口統計推估 (Perkiraan Statistik Jumlah Penduduk Tionghoa Indonesia Tahun 2006)" (PDF). Overseas Compatriot Affairs Commission, R.O.C (Taiwan). Diakses tanggal 2010-05-10.
本會以人口增加率1.38%估計,2006 年印尼華人人口約有767 萬人,約占印尼總人口的3.4%,尚屬合理。
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaPoston and Wong
- ^ https://goodstats.id/infographic/di-luar-china-ini-negara-dengan-populasi-tionghoa-terbanyak-cs2U0.
- ^ Setiono, Benny G. "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", hal. 167, Transmedia
- ^ Fadillah, Arie Sunaryo,Danny Adriadhi Utama ,Ramadhian; Fadillah, Ramadhian; Sunaryo, Arie (24 Januarin 2020). Pratomo, Angga Yudha (ed.). "Geger Pecinan, Saat Laskar Tionghoa-Jawa Bersatu Melawan VOC". Merdeka.com. Diakses tanggal 15 Januari 2022. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
- ^ http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2006-11-13.
- ^ Skinner 1963, hlm. 102.
- ^ Lewis 2005, hlm. 391.
- ^ Heidhues 1999, hlm. 154.
- ^ Rafferty, Ellen (1984). "Languages of the Chinese of Java—An Historical Review". The Journal of Asian Studies. 43 (2): 247–272. doi:10.2307/2055313. ISSN 0021-9118. JSTOR 2055313. S2CID 163299613.
- ^ Kahin 1991, hlm. 55.
- ^ Kahin 1991, hlm. 61.
- ^ Kahin 1991, hlm. 65.
- ^ Tan-Johannes, Grace (2018-08-23). "Why more Chinese Indonesians are learning Mandarin, and nurturing their children's sense of belonging to Chinese culture". South China Morning Post. Diakses tanggal 2018-09-04.
- ^ Teniwut, Meilani (2023-01-13). "Model Baju Changsan untuk Perayaan Imlek Tahun 2023". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2023-01-15.
- ^ Indonesia, INI BARU (ALE/SA) (2018-02-16). "Barongsai di Indonesia, Dulu dan Kini". INI BARU Indonesia. Inibaru.id. Diarsipkan dari asli tanggal 2020-11-20.
Bibliografi
Sumber tersier
- Heidhues, Mary Somers (1999), "Indonesia", dalam Pan, Lynn (ed.), The Encyclopedia of the Chinese Overseas, Cambridge, M.A.: Harvard University Press, hlm. 151–168, ISBN 978-0-674-25210-3.
- Ma, Rosey Wang (2005), "Hui Diaspora", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R. & Skoggard, Ian (ed.), Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 113–124, ISBN 978-0-387-29904-4.
- McKeown, Adam (2005), "Chinese Diaspora", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R. & Skoggard, Ian (ed.), Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 65–76, ISBN 978-0-387-29904-4.
- Nagata, Judith (1999), "Indonesians", dalam Magocsi, Paul R. (ed.), Encyclopedia of Canada's Peoples, Toronto, ON: University of Toronto Press, hlm. 723–726, ISBN 978-0-8020-2938-6.
- Penny, Janet & Gunawan, Tuti (2001), "Indonesians", dalam Jupp, James (ed.), The Australian People: An Encyclopedia of the Nation, Its People and Their Origins (Edisi 2nd), Cambridge, M.A.: Cambridge University Press, hlm. 439–441, ISBN 978-0-521-80789-0.
- Reid, Anthony (1999), "Chinese and Southeast Asian interactions", dalam Pan, Lynn (ed.), The Encyclopedia of the Chinese Overseas, Cambridge, M.A.: Harvard University Press, hlm. 51–53, ISBN 978-0-674-25210-3.
- Reid, Anthony (2007), "Entrepreneurial Minorities, Nationalism, and the State", dalam Chirot, Daniel; Reid, Anthony (ed.), Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe, Seattle: University of Washington Press, hlm. 33–73, ISBN 978-0-295-97613-6.
- Tan, Mely G. (2005), "Ethnic Chinese in Indonesia", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R. & Skoggard, Ian (ed.), Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 795–807, ISBN 978-0-387-29904-4.
- Walrond, Carl (4 March 2009), Indonesians, Auckland: Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand.
- Wibowo, Agustinus (2024). Kita dan Mereka. Jakarrta: Mizan Pustaka. Pemeliharaan CS1: Postscript (link)
Sumber sekunder
- Ananta, Aris; Arifin, Evi Nurvidya & Bakhtiar (2008), "Chinese Indonesians in Indonesia and the Province of Riau Archipelago: A Demographic Analysis", dalam Suryadinata, Leo (ed.), Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 17–47, ISBN 978-981-230-834-4.
- Borschberg, Peter, ed. (2004), Iberians in the Singapore-Melaka area and adjacent regions (16th to 18th century), vol. 14 (Edisi illustrated), Wiesbaden, Germany: Otto Harrassowitz Verlag, ISBN 978-3-447-05107-1, diakses tanggal 14 December 2011
- Chang, Yau Hoon (16 October 2010), "Mapping 'Chinese' Christian Schools in Indonesia: Ethnicity, Class and Religion", Asia Pacific Education Review, 12 (3): 403–411, doi:10.1007/s12564-010-9144-7, S2CID 145461894, diakses tanggal 15 February 2012.
- Chua, Christian (2008), Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital, Routledge Contemporary Southeast Asia Series, London: Routledge, ISBN 978-0-415-45074-4.
- Coppel, Charles A. (2002), Studying Ethnic Chinese in Indonesia, Asian Studies Monograph Series, Singapore: Singapore Society of Asian Studies, ISBN 978-9971-9904-0-4.
- Cunningham, Clark E. (2008), "Unity and Diversity among Indonesian Migrants to the United States", dalam Ling, Huping (ed.), Emerging Voices: Experiences of Underrepresented Asian Americans, Piscataway, N.J.: Rutgers University Press, hlm. 90–108, ISBN 978-0-8135-4341-3.
- Dawis, Aimee (2009), The Chinese of Indonesia and Their Search for Identity: The Relationship Between Collective Memory and the Media, Amherst, N.Y.: Cambria Press, ISBN 978-1-60497-606-9.
- East Asia Analytical Unit (1995), Overseas Chinese Business Networks in Asia, Canberra: Department of Foreign Affairs and Trade, ISBN 978-0-642-22960-1.
- Gernet, Jacques (1996), A History of Chinese Civilization (Edisi 2nd), Cambridge, M.A.: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-49781-7.
- Guillot, C.; Lombard, Denys; Ptak, Roderich, ed. (1998), From the Mediterranean to the China Sea: miscellaneous notes, Wiesbaden, Germany: Otto Harrassowitz Verlag, ISBN 978-3-447-04098-3, diakses tanggal 14 December 2011.
- Heidhues, Mary Somers (2001), "Chinese Settlements in Rural Southeast Asia: Unwritten Histories", dalam Reid, Anthony (ed.), Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 164–182, ISBN 978-0-8248-2446-4.
- Hoon, Chang-Yau (2006), "'A Hundred Flowers Bloom': The Re-emergence of the Chinese Press in Post-Suharto Indonesia", dalam Sun, Wanning (ed.), Media and the Chinese Diaspora: Community, Communications and Commerce, London: Routledge, hlm. 91–118, ISBN 978-0-415-35204-8.
- Kahin, Audrey, ed. (1991), Indonesia: The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern Indonesian Life, Ithaca, N.Y.: Cornell Southeast Asia Program, ISBN 978-99936-0-446-4.
- Lewis, M. Paul, ed. (2005), "Indonesia", Ethnologue: Languages of the World (Edisi 15th), Dallas, T.X.: SIL International, ISBN 978-1-55671-159-6, diakses tanggal 26 January 2010.
- Phoa, Liong Gie (1992), "The Changing Economic Position of the Chinese in Netherlands India", dalam Fernando, M. R. & Bulbeck, David (ed.), Chinese Economic Activity in Netherlands India: Selected Translations from the Dutch, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 5–18, ISBN 978-981-3016-21-7.
- Pratiwo (2007), "Seeking the Spirit of the Age: Chinese Architecture in Indonesia Today", dalam Nas, Peter J. M. (ed.), The Past in the Present: Architecture in Indonesia, Leiden: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, hlm. 73–83, ISBN 978-90-6718-296-6.
- Purdey, Jemma (2006), Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, ISBN 978-0-8248-3057-1.
- Reid, Anthony (2001), "Flows and Seepages in the Long-term Chinese Interaction with Southeast Asia", Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 15–50, ISBN 978-0-8248-2446-4.
- Robison, Richard (1986), "The Emergence of a Capitalist Class: Chinese-Owned Capital", Indonesia: The Rise of Capital, Sydney: Allen & Unwin, hlm. 271–322, ISBN 978-0-04-909024-8.
- Sen, Krishna (2006), "'Chinese' Indonesians in National Cinema", dalam Sun, Wanning (ed.), Media and the Chinese Diaspora: Community, Communications and Commerce, London: Routledge, hlm. 119–136, ISBN 978-0-415-35204-8.
- Setiono, Benny G. (2003), Tionghoa dalam Pusaran Politik [Indonesia's Chinese Community under Political Turmoil], Jakarta: Elkasa, ISBN 978-979-96887-4-3.
- Skinner, G. William (1963), "The Chinese Minority", dalam McVey, Ruth (ed.), Indonesia, Survey of World Cultures, New Haven, C.T.: Yale University Southeast Asia Studies, hlm. 97–117, OCLC 411723.
- Suryadinata, Leo (1999), "The Ethnic Chinese Issue and National Integration in Indonesia" (PDF), Trends in Southeast Asia, Singapore, ISSN 0219-3213, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 14 June 2011.
- Suryadinata, Leo (2002), "Democracy and Ethnic Chinese Politics", Election and Politics in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 126–138, ISBN 978-981-230-121-5.
- Suryadinata, Leo (2008), "Chinese Indonesians in an Era of Globalization: Some Major Characteristics", dalam Suryadinata, Leo (ed.), Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 1–16, ISBN 978-981-230-834-4.
- Suryadinata, Leo, ed. (2004), Chinese Indonesians: State Policy, Monoculture, and Multiculture, Singapore: Marshall Cavendish, ISBN 978-981-210-298-0.
- Suryadinata, Leo (1984), Dilema Minoritas Tionghoa [Dilemma of the Chinese Minority], Jakarta: Grafiti Pers, OCLC 11882266.
- Suryadinata, Leo; Arifin, Evi Nurvidya & Ananta, Aris (2003), "The Ethnic Chinese: A Declining Percentage", Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Indonesia's Population Series, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 73–102, ISBN 978-981-230-218-2.
- Tan, Mely G. (2002), "Chinese Dietary Culture in Indonesian Urban Society", dalam Wu, David Y. H. & Cheung, Sidney C. H. (ed.), The Globalization of Chinese Food, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 152–169, ISBN 978-0-8248-2582-9.
- Tan, Mely G. (2008), Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan [Ethnic Chinese in Indonesia: Collected Writings] (dalam bahasa Inggris and Bahasa Indonesia), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-689-5.
- Widodo, Johannes (2007), "The Chinese Diaspora's Urban Morphology and Architecture in Indonesia", dalam Nas, Peter J. M. (ed.), The Past in the Present: Architecture in Indonesia, Leiden: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, hlm. 67–72, ISBN 978-90-6718-296-6.
Sumber primer
- Hellwig, Tineke & Tagliacozzo, Eric, ed. (2009), The Indonesia Reader: History, Culture, Politics, Durham, N.C.: Duke University Press, ISBN 978-0-8223-4424-7.
- Suryadinata, Leo, ed. (1997), Political Thinking of the Indonesian Chinese, 1900–1995: A Sourcebook (Edisi 2nd), Singapore: Singapore University Press, ISBN 978-9971-69-201-8.
Pranala luar
![]() | Pranala luar pada artikel ini mungkin tidak sesuai dengan kebijakan atau pedoman Wikipedia. |

- (Indonesia) Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok
- (Indonesia) Budaya, Sejarah & Tradisi Tionghoa
- (Indonesia) Budaya Tionghoa Diarsipkan 2010-12-29 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Seputar Info Tradisi dan Budaya Tionghoa