Saṅgharāja Nikāya
| Bagian dari seri tentang |
| Buddhisme Theravāda |
|---|
| Buddhisme |
Saṅgharāja Nikāya (Bengali: সঙ্ঘরাজ নিকায়) adalah suatu ordo sangha Theravāda di Bangladesh.
Kata Nikāya berasal dari bahasa Pali dan secara harfiah berarti "volume, kelompok". Kata ini mulanya merujuk pada bagian-bagian Tripitaka Pali. Namun, penggunaan alternatif dipraktikkan di Asia Tenggara, dengan "Nikāya" sebagai istilah yang sopan untuk merujuk pada ordo-ordo monastik.
Ordo ini sebagian besar terdiri dari umat Buddha Benggala pedesaan. Ordo ini dibentuk pada tahun 1864 oleh Sangharaja Saramedha Mahasthavira dari Burma.
Abad kegelapan
Dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19, Buddhisme Bengali mengalami "Zaman Kegelapan"-nya sendiri. Pada masa ini, terjadi banyak persilangan antara Hinduisme dan Buddhisme sehingga dewa-dewi Hindu seperti Siwa, Lakshmi, dan Durga dipuja oleh umat Buddha sebagai dewa-dewi Buddhis. Hal ini bahkan mencakup praktik pengurbanan hewan Weda, yang pada saat itu merupakan praktik yang dapat diterima dalam agama Hindu.
Lebih lanjut, aturan-aturan Vinaya mulai ditafsirkan ulang dan teks kanoniknya sendiri menjadi terpinggirkan. Para biku umumnya terlibat dalam kehidupan rumah tangga, berkeluarga, dan bahkan berperan sebagai "mak comblang". Dalam kondisi inilah kemudian Saṅgharāja Burma, Saramitra Mahasthabir, meresmikan gerakan reformasinya pada abad ke-19.
Tiba di Chittagong
Saramitra Mahasthabir tiba di provinsi Chittagong, Bangladesh, pada tahun 1856 atas undangan Radha Charan Mahasthabir, seorang biku Bengali terkemuka. Selama di Bangladesh, sang Saṅgharāja Burma tersebut berpindah-pindah kota untuk melihat sendiri keadaan di Bengali. Ia tinggal di Bangladesh selama beberapa bulan sebelum kembali ke Myanmar.
Reformasi monastik
Sembilan tahun kemudian, pada tahun 1864, Saṅgharāja Burma kembali ke Chittagong atas undangan para biku Bengali. Tiba dengan rombongan murid-muridnya sendiri, Saṅgharāja Burma memulai gerakan reformasinya di dalam Sangha Bengali. Ia mengecam para biku karena mengikuti praktik-praktik yang secara tegas dilarang oleh Vinaya, seperti pengurbanan hewan, penggunaan uang, mengurus keluarga, minum minuman keras, dan makan makanan (terutama daging) yang tidak dipersembahkan oleh umat awam. Ia juga mengecam praktik penahbisan biku untuk mereka yang berusia di bawah 20 tahun—penahbisan penuh sebagai biku (bukan samanera) hanya tersedia bagi mereka yang berusia di atas dua puluh tahun. Demikian pula, ia mengecam kelonggaran dalam ordo yang membiarkan mereka yang jelas-jelas tidak cocok dengan kehidupan monastik untuk tetap menjalani kehidupan monastik.
Setelah upayanya mereformasi Sangha, Saṅgharāja Burma mengalihkan perhatiannya ke praktik awam untuk menentang pengurbanan hewan dan pemujaan dewa-dewi Hindu.
Saramitra Mahasthabir menjadi sangat berpengaruh dan membujuk sejumlah besar biku untuk ditahbiskan kembali sebagai tanda kepatuhan mereka terhadap gerakan reformasi.
Gerakan penahbisan ulang di bawah naungan "Reformasi Buddhis" ini menandai dimulainya apa yang kini dikenal sebagai Saṅgharāja Nikāya. Saramitra Mahasthabir melaksanakan upasampadā untuk sekelompok tujuh biku di Pahartali-Mahamuni, dan kelompok awal yang terdiri dari delapan biku ini pun mulai berkembang pesat secara perlahan.
Dengan ordo (nikāya) baru di bawah otoritasnya, Saṅgharāja Burma menjadi sangat efektif dalam menghilangkan pemujaan dewa-dewi Hindu dan praktik tantra.
Oposisi reformasi
Sebuah gerakan anti-reformasi muncul untuk melawan gerakan reformasi yang dipimpin oleh Saṅgharāja Burma Saramitra Mahasthabir. Gerakan oposisi tersebut kemudian dikenal sebagai Mahāsthabir Nikāya, dan dipimpin oleh Radha Charan Mahasthabir, biku Bengali yang pertama kali mengundang Saramitra Mahasthabir ke Bangladesh.
Penting untuk dicatat bahwa Mahāsthabir Nikāya tidak menentang Saṅgharāja atas dasar doktrinal, melainkan mereka tidak menyetujui dihapusnya beberapa praktik yang coba dihapuskan oleh Saṅgharāja Nikāya. Faktanya, praktik-praktik tersebut secara doktrinal identik dengan Saṅgharāja Nikāya. Namun, Mahāsthabir Nikāya meyakini bahwa sebuah ordo Buddhis Bengali tidak boleh berada di bawah pengaruh kuat dari entitas asing, yang dalam hal ini berasal dari Myanmar. Mereka menentang Saṅgharāja Nikāya dengan alasan bahwa Saṅgharāja Nikāya berasal dari luar negeri, bukan dengan alasan bahwa Saṅgharāja Nikāya telah merosot. Perbedaan antarsilsilah murni bersifat praktis, yakni mereka menganjurkan praktik-praktik sehari-hari yang berbeda bagi para biku mereka. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan tersebut sangat minim, dan hanya terlihat bagi sangha monastik. Umat awam yang mengikuti tradisi-tradisi dari ordo yang berbeda tidak secara khusus membedakan keduanya. Perbedaan tersebut hanya berfungsi untuk mempertahankan front organisasi, bukan pertentangan doktrinal.

