More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Konfrontasi Indonesia–Malaysia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konfrontasi Indonesia–Malaysia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Konfrontasi Indonesia–Malaysia

  • العربية
  • Беларуская
  • Deutsch
  • English
  • Español
  • Eesti
  • فارسی
  • Suomi
  • Français
  • Hrvatski
  • Jaku Iban
  • Italiano
  • Jawa
  • 한국어
  • Minangkabau
  • Bahasa Melayu
  • Nederlands
  • Polski
  • Português
  • Русский
  • தமிழ்
  • Українська
  • اردو
  • 中文
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Wikimedia Commons
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Dwi Komando Rakyat)
Konfrontasi Indonesia–Malaysia
Bagian dari Pembentukan Malaysia dan Perang Dingin

Seorang tentara Britania ditarik oleh helikopter Westland Wessex selama operasi di Kalimantan, Agustus 1964
Tanggal20 Januari 1963 –11 Agustus 1966
(3 tahun, 6 bulan, 3 minggu dan 1 hari)
LokasiSemenanjung Malaka, Kalimantan
Hasil

Kemenangan Persemakmuran

  • Indonesia menerima pembentukan Malaysia
  • Soekarno digantikan oleh Soeharto menyusul upaya kudeta G30S
  • Pemberontakan Komunis di Sarawak berlanjut hingga tahun 1989
Pihak terlibat
  • Persemakmuran Bangsa-Bangsa
    •  Britania Raya
    •  Malaysia[a]
    • Singapura[b]
    •  Brunei
    •  Australia
    •  Selandia Baru
 Indonesia
Aliansi partai:
PKI[1][2]
PKKU[3][4][5]
PRB[6]
Tokoh dan pemimpin
  • Tuanku Syed Putra
  • Ismail Nasiruddin
  • Tunku Abdul Rahman
  • Abdul Razak Hussein
  • Tunku Osman
  • Mustapha Harun
  • Pengiran Ahmad Raffae
  • Fuad Stephens
  • Peter Lo Sui Yin
  • Abang Openg
  • Stephen Kalong Ningkan
  • Yusof Ishak
  • Lee Kuan Yew
  • Omar Ali Saifuddien III
  • Harold Macmillan
  • Alec Douglas-Home
  • Harold Wilson
  • Rodney Moore
  • Walter Walker
  • Soekarno
  • Indonesia Soebandrio
  • Chaerul Saleh
  • Omar Dhani
  • Ahmad Yani
  • R. E. Martadinata
  • A. H. Nasution
  • Soeharto
  • D.N. Aidit
  • Wen Ming Chyuan
  • Lam Wah Kwai
  • Bong Kee Chok
  • Ang Cho Teng
  • A. M. Azahari
  • Yassin Affandi
Korban

Militer:

  • 114 tewas[7][8]
  • 181 terluka[7][8]

Sipil:

  • 36 tewas[7][8]
  • 53 terluka[7][8]
  • 4 ditangkap[7][8]

140 tewas (termasuk 44 gurkha)[9]
52 terluka[butuh rujukan]

23 tewas[10]
8 terluka[10]
12 tewas[11]
16 terluka[butuh rujukan]
9 tewas[12]
beberapa terluka

Gurkha 44 tewas[butuh rujukan]
83 terluka[butuh rujukan]

Jumlah:

  • 590 tewas[7]
  • 222 terluka[7][8]
  • 771 ditangkap[7]
  • l
  • b
  • s
Konfrontasi Indonesia–Malaysia
  • Pemberontakan Brunei
  • Limbang
  • Long Jawai
  • Labis
  • Krisis Selat Sunda
  • Aksi 13 Desember 1964
  • Sungai Kesang
  • Pontian
  • Plaman Mapu
  • Sungei Koemba
  • Kindau
  • Babang
  • Operasi Claret
  • Bau
Bagian dari seri artikel mengenai
Sejarah Malaysia
Kemerdekaan Malaya dan proklamasi penggabungan Borneo Utara dan Serawak untuk membentuk Malaysia.
Prasejarah Malaysia
Prasejarah Malaysia sebelum abad ke-6
Kerajaan Awal
Gangga Negara abad ke-2–11
Langkasuka abad ke-2–14
Chi Tu abad ke-2–6
Pan Pan abad ke-3–5
Kedah Tua abad ke-5–9
Pahang Tua abad ke-5–15
Melayu abad ke-6
Srivijaya 650–1288
Majapahit 1293–1500
Kebangkitan Negara-Negara Muslim
Kesultanan Kedah 1136–sekarang
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kesultanan Brunei 1368–sekarang
Kesultanan Malaka 1402–1511
Kesultanan Sulu 1450–1899
Kesultanan Pahang 1470–1623
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kesultanan Pattani 1516–1902
Kesultanan Perak 1528–sekarang
Kesultanan Johor 1528–sekarang
Kesultanan Sarawak 1599–1641
Kesultanan Selangor 1745–sekarang
Kerajaan Besut 1780–1899
Kerajaan Setul 1808–1916
Kerajaan Reman 1810–1902
Kerajaan Kubang Pasu 1839–1864
Dinasti Jamalullail 1843–sekarang
Era Kolonial
Malaka Portugis 1511–1641
Perang Belanda-Portugis 1601–1661
Malaka Belanda (VOC di Malaysia (1641-1795), Hindia Belanda (1818-1825) ) 1641–1824
Kerajaan Pahang 1770–1881
Negeri-Negeri Selat 1786–1946
Invasi Siam ke Kedah 1821–1826
Perjanjian Inggris-Belanda1824
Perjanjian Burney1826
Perang Naning 1831–1832
Kerajaan Sarawak 1841–1946
Koloni Mahkota Labuan 1848–1946
Perang Saudara Pahang 1857–1863
Peperangan Larut 1861–1874
Perang Klang 1867–1874
Perjanjian Pangkor 1874
Perang Perak1875–1876
Malaya Britania / Borneo 1874–1946
Perang Saudara Jementah 1879
Borneo Utara 1882–1946
Negeri-Negeri Melayu Bersekutu 1895–1946
Perjanjian Inggris-Siam1909
Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu 1909–1946
Pertempuran Penang1914
Pemberontakan Kelantan1915
Perang Dunia II
Pendudukan Jepang di Malaya / Borneo

1941–1945
Kampanye Malaya 1941–1942
Kampanye Borneo 1941–1942
Pertempuran Muar 1942
Pembantaian Parit Sulong 1942
Pertempuran Singapura 1942
Sook Ching 1942
Syburi 1942
Pawai Kematian Sandakan 1942–1945
Si Rat Malai 1943–1945
Pemberontakan Jesselton 1943–1944
Era Formatif
AMB Malaya/Borneo 1945–1946
Koloni Mahkota Borneo Utara 1946–1963
Koloni Mahkota Sarawak 1946–1963
Gerakan Anti-penyerahan 1946–1963
Uni Malaya 1946–1948
Federasi Malaya 1948–1963
Kedaruratan Malaya 1948–1960
Perundingan Baling 1955
Kemerdekaan Malaya 1957
Pemerintahan Sendiri Singapura 1959
Pemerintahan Sendiri Borneo Utara 1963
Konfrontasi 1963–1966
Pemerintahan Sendiri Sarawak 1963
Pembentukan Malaysia 1963
Singapura di Malaysia 1963–1965
Deklarasi ASEAN 1967
Pemberontakan Komunis Kedua 1968–1989
Kebijakan Ekonomi Baru 1971–1990
Perjanjian Damai Hat Yai 1989
Era Barisan Nasional
Wilayah Federal Kuala Lumpur 1974
Sengketa Pedra Branca 1979–sekarang
Sengketa Laut Tiongkok Selatan (Kepulauan Spratly)
1980–sekarang
Wilayah Federal Labuan 1984
Peristiwa Memali 1985
Operasi Lalang 1987
Krisis Konstitusional 1987–1988
Kebijakan Pembangunan Nasional1990–2000
Visi 2020 1991–2020
Amandemen Kekebalan Kerajaan 1993
Krisis Finansial 1997–1998
Pesta Olahraga Persemakmuran 1998 1998
Gerakan Reformasi 1998–sekarang
Wabah Virus Nipah Malaysia 1998–1999
Pembukaan Menara Kembar 1999
Wilayah Federal Putrajaya 2001
Pandemi H1N1 di Malaysia 2009–2010
Konsep 1Malaysia 2009–2018
Skandal 1MDB 2015–sekarang
Deklarasi Rakyat Malaysia 2016
Era Pakatan-Perikatan
PU14 – Perubahan Pemerintahan 2018
Konflik Air Singapura 2018
Protes ICERD 2018
RUU Status Negara Bagian Borneo 2019
Penurunan takhta Muhammad V 2019
Amandemen Pemungutan Suara18 2019
Visi Kesejahteraan Bersama 2030 2019–2030
Pandemi COVID-19 2020–sekarang
Langkah Sheraton 2020–sekarang
Perintah Kendali Pergerakan 2020–sekarang
Sengketa Sabah 2020 2020
Pemilu Awal Sabah 2020
Keadaan Darurat 2021 2021
Vaksinasi COVID-19 2021–sekarang
Insiden
Pemberontakan Brunei 1962–1966
Sengketa Borneo Utara (Serangan Militan Filipina) 1962–sekarang
Kerusuhan Rasial Singapura 1964
Klaim Limbang Brunei 1967–2009
Kerusuhan Penang Hartal 1967
Insiden 13 Mei 1969
Sengketa Sipadan dan Ligitan 1969–2002
Krisis Polusi Asap Malaysia 1972–sekarang
Krisis Sandera Gedung AIA 1975
Pengeboman Tugu Negara 1975
Kebakaran Kompleks Perbelanjaan Campbell 1976
Kecelakaan Sabah Air GAF Nomad 1976
Insiden MH653 1977
Kedaruratan Kelantan 1977
Serangan Fajar 1981
Penyergapan Lahad Datu 1985 1985
Peristiwa Memali 1985
Kedaruratan Sabah 1986
Peristiwa Ming Court 1987
Kebakaran Madrasah Taufiqiah Al-Khairiah 1989
1989
Badai Tropis Greg 1996
Insiden Al-Ma'unah 2000
Kerusuhan Kampung Medan 2001 2001
Tsunami 2004 di Malaysia 2004
Pembunuhan Altantuyaa 2006
Himpunan Bersih 2007–2016
Himpunan HINDRAF 2007
Rapat Anti ISA 2009
Serangan terhadap Gereja di Malaysia 2010 2010
Himpunan Kebangkitan Rakyat 2013 2013
Himpunan Black-Out 2013
Kebuntuan Lahad Datu 2013
Insiden MH370 2014
Insiden MH17 2014
Banjir Malaysia 2014–15 2014–2015
Gempa bumi Sabah 20152015
Himpunan Martabat Melayu 2015
Serangan granat Movida Bar 2016
Pembunuhan
Kim Jong-nam

2017
Kebakaran Madrasah Darul Quran Ittifaqiyah
2017
Kerusuhan Kuil Sri Maha Mariamman 2018
Protes ICERD 2018
Banjir Malaysia 2020–21 2021
Protes Undi-18 2021
Tabrakan Kereta LRT 2021
Kontrak Dokter Hartal 2021
Banjir Malaysia 2021–2022 2021–sekarang
Per Topik
  • Komunikasi
  • Ekonomi
  • Militer
  • Portal Malaysia
  • l
  • b
  • s
Bagian dari seri mengenai
Sejarah Indonesia
Prasejarah
Manusia Jawa 1.000.000 BP
Manusia Flores 94.000–12.000 BP
Bencana alam Toba 75.000 BP
Kebudayaan Buni 400 SM
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Kutai 400–1635
Kerajaan Kalingga 424–782
Tarumanagara 450–900
Kerajaan Melayu 671–1347
Sriwijaya 671–1028
Kerajaan Sunda 662–1579
Kerajaan Galuh 669–1482
Kerajaan Bima 709–1621
Mataram Kuno 716–1016
Kerajaan Bali 914–1908
Kerajaan Kahuripan 1019–1046
Kerajaan Janggala 1042–1135
Kerajaan Kadiri 1042–1222
Kerajaan Singasari 1222–1292
Majapahit 1293–1478
Kerajaan Islam
Lihat: Penyebaran Islam di Nusantara
Kesultanan Peureulak 840–1292
Kerajaan Haru 1225–1613
Kesultanan Ternate 1257–1914
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kesultanan Bone 1300–1905
Kerajaan Kaimana 1309–1963
Kesultanan Gowa 1320–sekarang
Kesultanan Limboto 1330–1863
Kerajaan Pagaruyung 1347–1833
Kesultanan Brunei 1368–1888, sekarang Brunei
Kesultanan Gorontalo 1385–1878
Kesultanan Melaka 1405–1511
Kesultanan Sulu 1405–1851
Kesultanan Cirebon 1445–1677
Kesultanan Demak 1475–1554
Kerajaan Giri 1481–1680
Kesultanan Bolango 1482–1862
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kerajaan Balanipa 1511–sekarang
Kesultanan Banten 1526–1813
Kesultanan Banjar 1526–sekarang
Kerajaan Kalinyamat 1527–1599
Kesultanan Johor 1528–1877
Kesultanan Pajang 1568–1586
Kesultanan Mataram 1586–1755
Kerajaan Fatagar 1600–1963
Kesultanan Jambi 1615–1904
Kesultanan Bima 1620–1958
Kesultanan Palembang 1659–1823
Kesultanan Sumbawa 1674–1958
Kesultanan Kasepuhan 1679–1815
Kesultanan Kanoman 1679–1815
Kesultanan Siak 1723–1945
Kesunanan Surakarta 1745–sekarang
Kesultanan Yogyakarta 1755–sekarang
Kesultanan Kacirebonan 1808–1815
Kesultanan Deli 1814–1946
Kesultanan Lingga 1824–1911
Negara lainnya
Lihat: Kerajaan-kerajaan Kristen di Nusantara
Kerajaan Soya 1200–sekarang
Kerajaan Bolaang Mongondow 1320–1950
Kerajaan Manado 1500–1670
Kerajaan Siau 1510–1956
Kerajaan Larantuka 1515–1962
Kerajaan Sikka
Kerajaan Tagulandang 1570–1942
Kerajaan Manganitu 1600–1944
Republik Lanfang 1777–1884
Kerajaan Lore 1903–sekarang
Kolonialisme Eropa
Portugis 1512–1850
VOC 1602–1800
Jeda kekuasaan Prancis dan Britania 1806–1815
Hindia Belanda 1800–1949
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional 1908–1942
Pendudukan Jepang 1942–1945
Revolusi Nasional 1945–1949
Kemerdekaan
Revolusi Nasional Indonesia 1945–1949
Masa Kemerdekaan 1945–1949
Republik Indonesia Serikat 1949–1950
Demokrasi Liberal 1950–1959
Demokrasi Terpimpin 1959–1965
Transisi 1965–1966
Orde Baru 1966–1998
Reformasi 1998–sekarang
Menurut topik
  • Arkeologi
  • Mata uang
  • Ekonomi
  • Militer
Garis waktu
 Portal Indonesia
  • l
  • b
  • s

Konfrontasi Indonesia–Malaysia atau Konfrontasi Borneo (dikenal sebagai Konfrontasi di Indonesia, Malaysia dan Singapura) adalah konflik bersenjata dari tahun 1963 hingga 1966 yang bermula dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia. Setelah presiden Indonesia Soekarno digulingkan pada tahun 1966, perselisihan berakhir secara damai dan negara Malaysia terbentuk.

Pembentukan Malaysia adalah penggabungan Federasi Malaya (sekarang Semenanjung Malaysia), Singapura dan koloni mahkota Inggris di Borneo Utara dan Sarawak (secara kolektif dikenal sebagai Borneo Inggris, sekarang Malaysia Timur) pada September 1963.[13] Perintis penting konflik tersebut termasuk kebijakan konfrontasi Indonesia melawan Nugini Belanda dari Maret–Agustus 1962 dan Pemberontakan Brunei pada Desember 1962. Malaysia mendapat dukungan militer langsung dari Britania Raya, Australia, dan Selandia Baru. Indonesia mendapat dukungan tidak langsung dari Uni Soviet dan Tiongkok, sehingga menjadikannya salah satu bagian Perang Dingin di Asia.

Konflik tersebut merupakan perang yang tidak diumumkan dengan sebagian besar aksi terjadi di daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia Timur di pulau Kalimantan. Konflik tersebut ditandai dengan pertempuran darat yang terkendali dan terisolasi, diatur dalam taktik brinkmanship tingkat rendah. Pertempuran biasanya dilakukan oleh operasi seukuran kompi atau peleton di kedua sisi perbatasan. Kampanye infiltrasi Indonesia ke Kalimantan berusaha untuk mengeksploitasi keragaman etnis dan agama di Sabah dan Sarawak dibandingkan dengan Malaya dan Singapura, dengan maksud mengungkap negara yang diusulkan Malaysia.

Medan hutan Kalimantan dan kurangnya jalan yang melintasi perbatasan Malaysia-Indonesia memaksa pasukan Indonesia dan Persemakmuran untuk melakukan patroli jarak jauh. Kedua belah pihak mengandalkan operasi infanteri ringan dan transportasi udara, meskipun pasukan Persemakmuran menikmati keuntungan dari penyebaran helikopter yang lebih baik dan pasokan ke pangkalan operasi yang akan datang. Sungai juga digunakan sebagai metode transportasi dan infiltrasi. Meskipun operasi tempur terutama dilakukan oleh pasukan darat, pasukan lintas udara memainkan peran pendukung yang vital dan pasukan angkatan laut memastikan keamanan sisi-sisi laut. Inggris memberikan sebagian besar upaya pertahanan, meskipun pasukan Malaysia terus meningkatkan kontribusi mereka, dan ada kontribusi berkala dari pasukan Australia dan Selandia Baru dalam gabungan Cadangan Strategis Timur Jauh yang ditempatkan saat itu di Malaysia Barat dan Singapura.[14]

Serangan awal Indonesia ke Malaysia Timur sangat bergantung pada sukarelawan lokal yang dilatih oleh Angkatan Darat Indonesia. Seiring waktu, pasukan infiltrasi menjadi lebih terorganisir dengan masuknya komponen pasukan Indonesia yang lebih substansial. Untuk mencegah dan mengganggu kampanye infiltrasi yang berkembang di Indonesia, Inggris merespons pada tahun 1964 dengan meluncurkan operasi rahasia mereka sendiri ke Kalimantan (Indonesia) dengan nama sandi Operasi Claret. Bertepatan dengan Soekarno mengumumkan "tahun penuh bahaya" dan kerusuhan rasial Singapura 1964, Indonesia meluncurkan kampanye operasi yang diperluas ke Malaysia Barat pada 17 Agustus 1964, meskipun tanpa keberhasilan militer.[15] Penumpukan pasukan Indonesia di perbatasan Kalimantan pada bulan Desember 1964 membuat Inggris mengerahkan pasukan yang signifikan dari Komando Strategis Angkatan Darat yang berbasis di Inggris dan Australia dan Selandia Baru mengerahkan pasukan tempur roulement dari Malaysia Barat ke Kalimantan pada tahun 1965–66. Intensitas konflik mulai mereda menyusul kudeta Oktober 1965 dan jatuhnya kekuasaan Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Negosiasi perdamaian yang serius antara Indonesia dan Malaysia dimulai pada Mei 1966, dan kesepakatan damai terakhir ditandatangani pada 11 Agustus 1966 dengan Indonesia secara resmi mengakui Malaysia.[16]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Situasi politik

[sunting | sunting sumber]

Sebelum Konfrontasi, Sukarno berupaya mengembangkan kebijakan luar negeri Indonesia yang mandiri, dengan fokus utama menganeksasi Nugini Belanda untuk menyudahi Perang Kemerdekaan Indonesia, serta membangun kredibilitas Indonesia sebagai kekuatan internasional dengan agenda tersendiri yang berbeda dari Dunia Pertama dan Dunia Kedua. Indonesia adalah negara penting dalam perkembangan Gerakan Non-Blok, dan menjadi tuan rumah Konferensi Bandung pada tahun 1955. Indonesia secara gigih memperjuangkan akuannya atas Nugini Belanda dari tahun 1950 hingga 1962, meskipun menghadapi berbagai penentangan di Majelis Umum PBB untuk mendapatkan pengakuan klaimnya dari dunia internasional.

Setelah dilanda krisis separatisme pada tahun 1958, termasuk terjadinya pemberontakan Permesta di Indonesia timur dan deklarasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, Indonesia muncul sebagai kekuatan militer yang berpengaruh dan berkembang di Asia Tenggara.[17] Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), melalui anak organisasinya yang berbasis di Taiwan, Civil Air Transport (CAT), secara diam-diam memberikan dukungan kepada pemberontak di pulau-pulau terpencil, dengan tujuan untuk melemahkan atau menggulingkan rezim Presiden Sukarno. Sejak tahun 1957, CIA semakin kerap berhubungan dengan para pemimpin militer di Sumatra dan Sulawesi yang kritis terhadap rezim Sukarno. Menjelang akhir tahun 1957, pengiriman senjata dan amunisi ke Sumatra dengan menggunakan kapal dagang dan kapal selam Amerika semakin sering terjadi. Namun, Amerika percaya bahwa agar bantuan rahasia tersebut efektif, operasi semacam itu memerlukan bantuan dari pangkalan militer Inggris di Singapura untuk mengisi bahan bakar dan mendukung misi CAT yang diluncurkan dari Bangkok, Taiwan, atau Filipina.[18] Dengan masuknya bantuan senjata dari Soviet, Indonesia makin gencar mengajukan klaimnya atas Nugini Belanda. Pertikaian diplomatik mencapai puncaknya pada tahun 1962 ketika Indonesia meluncurkan upaya penyusupan besar-besaran melalui udara dan laut ke Nugini Belanda. Meskipun pasukan penyusup dikalahkan oleh pasukan Belanda dan Papua, Indonesia menunjukkan ancaman serius akan ambisinya untuk menginvasi Nugini Belanda. Belanda, yang menghadapi tekanan diplomatik yang makin meningkat dari Indonesia, serta dari Amerika yang ingin memastikan bahwa Indonesia tidak berpihak pada Komunis, akhirnya menyerah dan sepakat untuk mengadakan perundingan diplomatik. Kesepakatan tersebut memungkinkan Indonesia menguasai wilayah Papua Barat melalui jajak pendapat penentuan nasib sendiri (Penentuan Pendapat Rakyat) di wilayah tersebut pada tahun 1969. Dengan demikian, pada akhir tahun 1962, Indonesia meraih kemenangan diplomatik yang signifikan, yang makin memperkuat persepsi dirinya sebagai kekuatan regional yang penting. Dalam konteks kemenangan diplomatik inilah Indonesia lalu mengarahkan perhatiannya pada rencana Inggris yang hendak membentuk negara Malaysia bersatu.

Sebelum pemerintah Inggris mengumumkan kebijakan Timur Suez pada tahun 1968, mereka sudah mulai mengevaluasi ulang komitmennya untuk mempertahankan keberadaan pasukannya di Timur Jauh sejak akhir 1950-an. Di Asia Tenggara, Inggris berusaha menggabungkan koloninya di Borneo Utara dengan Federasi Malaya (yang telah merdeka dari Inggris pada tahun 1957), dan Singapura (yang telah memiliki pemerintahan sendiri sejak 1959). Pada bulan Mei 1961, pemerintah Inggris dan Malaya mengusulkan pembentukan federasi yang lebih besar bernama Malaysia, yang mencakup Malaya, Borneo Utara, Sarawak, Brunei, dan Singapura. Awalnya, Indonesia mendukung federasi yang diusulkan ini, meskipun Partai Komunis Indonesia (PKI) menentangnya dengan tegas.[1]

Di Brunei, tidak jelas apakah Sultan Omar Ali Saifuddien III akan mendukung Brunei bergabung dengan negara Malaysia bentukan Inggris, karena dengan bergabungnya Brunei, kewenangan politik Sultan akan berkurang, serta didukung oleh pendapatan minyak Brunei yang memastikan Brunei tetap mampu secara finansial jika memilih merdeka. Selain itu, seorang politisi Brunei bernama Dr. AM Azahari bin Sheikh Mahmud, meskipun mendukung penyatuan Borneo Utara, menentang penggabungan Brunei ke dalam Federasi Malaysia. Pada tahun 1961, ia menjajaki peluang memperoleh bantuan dari Indonesia untuk melatih prajurit Borneo. Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian setuju untuk memberikan dukungan moral, dan Soebandrio, menteri luar negeri Indonesia sekaligus kepala intelijen, memberi isyarat untuk memberikan bantuan yang lebih substansial. Azahari adalah seorang tokoh sayap kiri yang pernah bertempur di Indonesia saat perang kemerdekaan. Setelah pertemuan tersebut, Indonesia mulai melatih pasukan sukarelawan kecil yang disebut Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) di Kalimantan.[1]

Pada tanggal 8 Desember 1962, TNKU melancarkan Pemberontakan Brunei. Pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan total, karena pasukan yang tidak terlatih dan dipersenjatai dengan buruk tidak mampu mencapai tujuan utamanya untuk menangkap Sultan Brunei, mengambil alih ladang minyak Brunei, atau menyandera orang Eropa. Dalam hitungan jam setelah pemberontakan dilancarkan, pasukan Inggris yang bermarkas di Singapura segera dikerahkan untuk menanggapi pemberontakan tersebut. Kegagalan pemberontakan tersebut terlihat jelas dalam waktu 30 jam ketika pasukan Gurkha yang diterbangkan dari Singapura mengambil alih kota-kota di Brunei dan memastikan keselamatan Sultan.

Dukungan Indonesia untuk TNKU masih menjadi perdebatan. Meskipun pada saat itu Indonesia menyangkal keterlibatannya secara langsung, Indonesia mendukung tujuan TNKU untuk menggagalkan terbentuknya Federasi Malaysia. Setelah kegagalan militer TNKU di Brunei, pada tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio mengumumkan bahwa Indonesia akan menerapkan kebijakan Konfrontasi dengan Malaysia, bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang mendukung rencana Inggris. Kebijakan tersebut disusul oleh penyusupan pasukan Indonesia ke wilayah Malaysia pada tanggal 12 April 1963, ketika sebuah kantor polisi di Tebedu, Sarawak, diserang.[19]

Kondisi medan

[sunting | sunting sumber]
Setelah berakhirnya konflik, Borneo terbagi antara Brunei, Indonesia, dan Malaysia. Penguasaan atas pulau ini menjadi isu utama yang memicu perang pada masa itu.

Pada tahun 1961, Pulau Borneo terbagi menjadi empat wilayah terpisah. Kalimantan, yang terdiri dari empat provinsi Indonesia, berada di bagian selatan pulau tersebut. Di bagian utara, terdapat Kesultanan Brunei (sebuah protektorat Inggris) serta dua koloni Inggris, yakni Borneo Utara (kelak dinamai Sabah) dan Sarawak.

Tiga wilayah Inggris di Borneo memiliki populasi sekitar 1,5 juta orang, dengan separuhnya adalah suku Dayak. Sarawak memiliki populasi sekitar 900.000 jiwa, Sabah sekitar 600.000, dan Brunei sekitar 80.000. Sedangkan penduduk non-Dayak di Sarawak, 31% adalah etnis Tionghoa dan 19% adalah Melayu. Di Sabah, 21% non-Dayak adalah etnis Tionghoa dan 7% adalah Melayu, sedangkan di Brunei, populasi non-Dayak terdiri dari 28% etnis Tionghoa dan 54% Melayu. Ada juga sejumlah besar orang Indonesia di Tawau, Sabah selatan, serta komunitas Tionghoa yang besar dan aktif secara ekonomi di Sarawak. Meskipun jumlah penduduk Dayak banyak, mereka tersebar di seluruh wilayah di daerah pelosok dan tidak memiliki organisasi politik yang terstruktur. Sarawak terbagi menjadi lima wilayah administratif, sementara Sabah, yang ibu kotanya terletak di Jesselton (sekarang Kota Kinabalu) di pesisir utara, terbagi menjadi beberapa residensi; residensi pedalaman dan Tawau berbatasan dengan Indonesia.

Selain di bagian ujung perbatasan, batas wilayah koloni Inggris dengan Indonesia umumnya mengikuti perbukitan di sepanjang perbatasannya, dengan ketinggian mencapai hampir 2.500 meter di Divisi Kelima. Di Divisi Pertama, terdapat beberapa jalan, termasuk satu jalan utama dari Kuching menuju Brunei dan kemudian terhubung ke Sandakan di pesisir timur Sabah. Tidak ada jalan di Divisi Keempat dan Kelima atau di Residensi Pedalaman, dan di Divisi Ketiga hanya terdapat jalan pesisir yang berjarak sekitar 150 mil dari perbatasan. Pemetaan wilayah ini umumnya kurang memadai, dengan peta Inggris hanya menampilkan detail topografi yang minim. Peta Indonesia bahkan lebih buruk; hanya "selembar kertas hitam putih menampakkan seluruh Kalimantan yang diambil dari buku pelajaran sekolah" pada tahun 1964.[20]

Kalimantan dibagi menjadi empat provinsi, dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat berbatasan dengan Borneo Inggris. Ibu kota Kalimantan Barat adalah Pontianak di pantai barat, berjarak sekitar 160 km dari perbatasan, dan ibu kota Kalimantan Timur adalah Samarinda di pantai selatan, sekitar 350 km dari perbatasan. Tidak ada jalan di sepanjang wilayah perbatasan kecuali jalan-jalan setapak di bagian barat, dan tidak ada jalan yang menghubungkan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.[butuh rujukan]

Kurangnya infrastruktur jalan dan jalur kendaraan yang layak di kedua sisi perbatasan membuat pergerakan pasukan terbatas pada jalur jalan setapak yang umumnya tidak tertera di peta, serta pengangkutan pasukan melalui jalur air dan udara. Ada banyak sungai besar di kedua sisi perbatasan yang menjadi sarana utama pergerakan. Terdapat pula sejumlah padang rumput kecil yang cocok untuk digunakan sebagai tempat pendaratan pesawat ringan dan helikopter yang memasok suplai melalui udara.[butuh rujukan]

Garis khatulistiwa melintas kira-kira 160 kilometer di sebelah selatan Kuching, dan sebagian besar wilayah utara Kalimantan menerima curah hujan lebih dari 3.000 mm (120 inci) setiap tahunnya. Secara alami, Kalimantan tertutup oleh hutan hujan tropis yang melingkupi daerah pegunungan dan dilalui oleh banyak sungai dengan tebing-tebing curam serta puncak bukit yang lebarnya hanya beberapa meter. Curah hujan yang tinggi menciptakan sungai-sungai besar, yang menjadi jalur transportasi utama sekaligus penghalang taktis yang kuat. Hutan bakau lebat yang menutupi dataran pasang surut yang luas, dengan banyak sungai kecil, adalah ciri khas pada kebanyakan wilayah pesisir, termasuk Brunei dan kedua ujung perbatasan. Ada juga daerah pertanian di lembah-lembah dan sekitar desa-desa, serta hutan rimba yang lebat di sekitar pemukiman suku-suku pedalaman.[butuh rujukan]

Pemberontakan Sarawak

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1946, Raja Sarawak, Charles Vyner Brooke, menyerahkan negara bagian tersebut kepada Kerajaan Inggris dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan menjadi keputusan terbaik bagi rakyat Sarawak setelah berakhirnya Perang Dunia II.[21] Sarawak kemudian menjadi koloni Kerajaan Inggris, yang dikelola oleh Kantor Kolonial di London, yang kemudian mengirimkan seorang gubernur untuk membawahi Sarawak. Gerakan anti-penyatuan yang didominasi oleh suku Melayu, yang menolak pengambilalihan Sarawak oleh Inggris, diduga menjadi cikal bakal lahirnya gerakan anti-Malaysia di Sarawak, yang kemudian dipimpin oleh Ahmad Zaidi Adruce.[butuh rujukan]

Menurut Vernon L. Porritt dan Hong-Kah Fong, sejumlah gerakan sayap kiri dan komunis sudah ada di kalangan penduduk Tionghoa di perkotaan Sarawak sejak tahun 1930-an dan 1940-an. Beberapa kelompok komunis paling awal di Sabah di antaranya adalah Liga Anti-Fasis, yang kemudian berubah menjadi Tentara Pembebasan Ras, dan Liga Anti-Jepang Borneo, yang terdiri dari Liga Anti-Jepang Kalimantan Utara dan Liga Anti-Jepang Kalimantan Barat. Organisasi tersebut dipimpin oleh Wu Chan, yang dideportasi oleh pemerintah kolonial Sarawak ke Tiongkok pada tahun 1952. Kelompok komunis lainnya di Sarawak termasuk Asosiasi Pemuda Tionghoa Luar Negeri yang dibentuk pada tahun 1946, dan Liga Pembebasan beserta sayap pemudanya, Asosiasi Pemuda Maju, yang muncul pada tahun 1950-an. Organisasi-organisasi tersebut kemudian menjadi inti dari dua gerakan gerilya Komunis: Tentara Rakyat Kalimantan Utara anti-Malaysia (PARAKU) dan Gerilyawan Rakyat Sarawak (PGRS). Berbagai kelompok komunis ini oleh media Barat disebut sebagai Organisasi Komunis Klandestin (CCO) atau Organisasi Komunis Sarawak (SCO).[22]

Anggota Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berfoto bersama untuk menandai hubungan erat antara mereka ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan Sukarno.

SCO didominasi oleh etnis Tionghoa, tetapi juga mendapat dukungan dari suku Dayak. Namun, SCO hanya mendapat sedikit dukungan dari suku Melayu dan suku asli lainnya di Sarawak. Pada puncaknya, SCO memiliki sekitar 24.000 anggota.[5] Sepanjang tahun 1940-an dan 1950-an, pengaruh Maoisme menyebar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa di Sarawak. Setelah Perang Dunia II, pengaruh Komunis juga merambah gerakan buruh dan Partai Persatuan Rakyat Sarawak (SUPP), yang mayoritas anggotanya berasal dari etnis Tionghoa dan merupakan partai politik pertama di negara bagian tersebut, yang didirikan pada bulan Juni 1959. Pemberontakan Sarawak dimulai setelah Pemberontakan Brunei pada tahun 1962, dan SCO berperang bersama para pemberontak Brunei dan pasukan Indonesia pada masa Konfrontasi Indonesia–Malaysia.[22][23]

SCO dan para pemberontak Brunei mendukung dan menyebarkan gagasan penyatuan seluruh wilayah Borneo Inggris untuk membentuk negara Kalimantan Utara yang merdeka dan berhaluan kiri. Ide ini awalnya diusulkan oleh A. M. Azahari, pemimpin Partai Rakyat Brunei, yang telah menjalin hubungan dengan gerakan nasionalis Sukarno, bersama dengan Ahmad Zaidi, di Jawa pada tahun 1940-an. Meskipun demikian, Partai Rakyat Brunei mendukung bergabungnya Brunei dengan Malaysia dengan syarat penyatuan tiga wilayah Borneo utara yang dipimpin oleh sultan tersendiri, sehingga menolak adanya dominasi oleh Malaya, Singapura, penguasa Melayu, atau pedagang Tionghoa.[4]

Rencana pembentukan Negara Kesatuan Borneo Utara dipandang sebagai alternatif penyatuan Malaya oleh oposisi lokal. Penolakan penguasa lokal di seluruh wilayah Borneo umumnya didasarkan pada perbedaan ekonomi, politik, sejarah, dan budaya antar negari-negari Borneo dan Malaya, serta penolakan untuk tunduk di bawah dominasi politik semenanjung. Baik Azahari maupun Zaidi melarikan diri ke Indonesia semasa Konfrontasi. Meskipun Zaidi kemudian kembali ke Sarawak dan status politiknya dipulihkan, Azahari tetap berada di Indonesia hingga meninggal pada tanggal 3 September 2002.

Setelah Pemberontakan Brunei ditumpas, sisa-sisa Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) melarikan diri ke Indonesia. Lantaran takut akan pembalasan dari Inggris, ribuan komunis Tionghoa juga melarikan diri dari Sarawak. Rekan-rekan mereka yang tinggal di Sarawak dikenal sebagai CCO oleh Inggris, tetapi disebut sebagai PGRS—Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak—oleh Indonesia. Soebandrio bertemu dengan pemimpin kelompok tersebut di Bogor, dan A.H Nasution mengirim tiga pelatih dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Batalyon 2 ke Nangabadan, dekat perbatasan Sarawak, di mana terdapat kira-kira 300 peserta pelatihan. Beberapa bulan kemudian, dua letnan juga diutus ke sana.[1]

PGRS beranggotakan kurang lebih 800 orang, yang bermarkas di Batu Hitam, Kalimantan Barat, dengan 120 penasihat berasal dari dari badan intelijen Indonesia dan sejumlah kecil kader yang dilatih di Tiongkok. Partai Komunis Indonesia juga terlibat, yang dipimpin oleh seorang revolusioner beretnis Arab bernama Sofyan. PGRS melancarkan sejumlah serangan ke Sarawak, tetapi lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk membangun basis pendukung di Sarawak. Sementera itu, militer Indonesia tidak mendukung PGRS yang berhaluan kiri.[2]

Konflik

[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Operasi tempur tahun 1963 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia, Operasi tempur tahun 1964 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia, Operasi tempur tahun 1965 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia, dan Militer Australia dalam konfrontasi Indonesia–Malaysia

Awal pertikaian

[sunting | sunting sumber]

Motif Sukarno untuk memulai konfrontasi masih menjadi bahan perdebatan. Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Ide Anak Agung Gde Agung, berpendapat bahwa Sukarno sengaja meredam keberatan Indonesia atas pembentukan negara Malaysia saat Indonesia tengah fokus mengklaim Irian Barat. Setelah kemenangan diplomatik Indonesia dalam sengketa Irian Barat, Sukarno terdorong untuk memperluas dominasi Indonesia terhadap negara-negara tetangga yang lebih lemah. Sebaliknya, Sukarno diduga terpaksa mengalihkan perhatian terhadap konflik luar negeri baru karena adanya tekanan dari PKI dan akibat ketidakstabilan politik di Indonesia.

Pada akhir 1950-an, Sukarno berpendapat bahwa Malaysia adalah negara boneka Inggris, sebuah eksperimen neokolonial, dan perluasan Malaysia akan meningkatkan kontrol Inggris di wilayah tersebut, yang berdampak pada keamanan nasional Indonesia. Sukarno dengan tegas menentang rencana dekolonisasi Inggris, termasuk pembentukan Federasi Malaysia, yang menyatukan Semenanjung Malaya dan Borneo Inggris. Sukarno menuduh Malaysia sebagai negara boneka Inggris yang bertujuan untuk memberlakukan imperialisme dan kolonialisme baru di Asia Tenggara, serta membatasi ambisi Indonesia untuk menjadi kekuatan regional di kawasan tersebut.[24]

Ada pula yang berpendapat bahwa kampanye Sukarno menentang pembentukan Malaysia dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk memisahkan Malaya, Kalimantan Utara, Sarawak, dan Singapura sebagai satu negara tersendiri, sehingga tidak mau tunduk terhadap usulan Inggris untuk melakukan dekolonisasi dengan menyebutnya sebagai neokolonialisme yang dilakukan oleh negara Inggris sebagai salah satu cara untuk melebarkan hegemoni Inggris di kawasan tersebut.[25][26] Di saat bersamaan, Filipina mengklaim Borneo Utara bagian timur sebagai miliknya, dengan alasan bahwa koloni Borneo tersebut memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Sukarno

Meskipun Sukarno tidak secara langsung mengklaim wilayah Borneo bagian utara untuk digabungkan ke dalam Kalimantan Indonesia, ia melihat pembentukan Malaysia sebagai hambatan bagi Maphilindo, sebuah gagasan persatuan iredentis nonpolitis yang mencakup Malaya, Filipina, dan Indonesia. Presiden Filipina, Diosdado Macapagal, awalnya tidak menentang gagasan ini dan bahkan memprakarsai Persetujuan Manila. Meskipun tidak terlibat dalam pertikaian tersebut, Filipina menunda pengakuannya atas Malaysia sebagai penerus negara Malaya. Akibatnya, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Filipina.

Indonesia bersikukuh bahwa pembentukan Malaysia memungkinkan Inggris untuk mempertahankan hak istimewa terkait penggunaan pangkalan militernya di Singapura, dan dengan demikian makin memperkuat pertahanan Inggris di Asia Tenggara, yang dianggap sebagai ancaman tersirat. Subandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia, menjelaskan kepada Duta Besar Amerika Serikat, Howard P. Jones, bahwa kebijakan konfrontasi ini berkaitan dengan Malaya, bukan Malaysia, dan merupakan reaksi Indonesia atas kebijakan anti-Djakarta dan dukungan terhadap aksi pemberontakan yang diterapkan oleh Malaya dan Inggris pada tahun 1958.[18]

Pada bulan April 1963, penyusupan mata-mata dan serangan pertama yang tercatat terjadi di Borneo. Pasukan penyusup yang berlatih di Nangabadan dibagi dua dan dipersiapkan untuk melancarkan operasi pertama. Pada tanggal 12 April 1963, sekelompok penyusup menyerang dan merebut kantor polisi di Tebedu di Divisi 1 Sarawak, kira-kira 64 km dari Kuching dan 3,2 km dari perbatasan dengan Kalimantan.[27] Kelompok lainnya menyerang desa Gumbang, di sebelah barat daya Kuching, pada akhir bulan yang sama. Hanya sekitar separuh dari mereka yang kembali. Dari perspektif militer, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia bisa dikatakan dimulai setelah penyerangan Tebedu.[28]

Sebelum pernyataan resmi konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963, Komisi Cobbold telah melaporkan mengenai kelayakan pembentukan negara Malaysia pada tahun 1962, dengan menyimpulkan bahwa adanya dukungan yang cukup besar di koloni Borneo untuk pembentukan negara Malaysia. Namun, lantaran meningkatnya penentangan dari Indonesia dan Filipina terhadap rencana pembentukan Malaysia, fase negosiasi baru diusulkan untuk mendengarkan keberatan dari kedua negara tersebut. Untuk menyelesaikan sengketa ini, negara-negara calon anggota Federasi Malaysia bertemu dengan perwakilan Indonesia dan Filipina di Manila pada tanggal 30 Juli 1963. Beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, pada 27 Juli 1963, Sukarno melanjutkan retorikanya yang semakin memanas, menyatakan bahwa ia akan "mengganyang Malaysia." Dalam pertemuan di Manila, Filipina dan Indonesia secara resmi sepakat untuk menerima pembentukan Malaysia jika mayoritas penduduk Borneo Utara dan Sarawak mendukungnya dalam referendum yang diselenggarakan oleh PBB.[29]

Sebelum pertemuan di Manila, Pemerintah Malaya telah menetapkan tanggal 31 Agustus sebagai tanggal pembentukan negara Malaysia (kelak diperingati sebagai hari kemerdekaan Malaya). Namun, dalam negosiasi di Manila, pemerintah Malaya dibujuk oleh pemerintah Indonesia dan Filipina untuk menunda peresmian Malaysia hingga tanggal 15 September 1963, ketika putusan PBB telah dikeluarkan. Setelah perundingan di Manila, Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman, mengumumkan bahwa negara Malaysia akan terbentuk pada 16 September 1963, terlepas dari hasil putusan PBB.[30]

Borneo Utara dan Sarawak, yang memperkirakan bahwa putusan PBB akan mendukung pembentukan Malaysia, memproklamirkan diri sebagai bagian dari Malaysia pada tanggal 31 Agustus 1963, sebelum putusan PBB dipublikasikan. Pada 14 September, putusan PBB diterbitkan, yang memberikan dukungan bagi pembentukan negara Malaysia. Malaysia secara resmi berdiri pada 16 September 1963. Indonesia langsung bereaksi dengan mengusir Duta Besar Malaysia dari Jakarta. Dua hari kemudian, perusuh yang diorganisir oleh PKI membakar Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Ratusan perusuh merusak Kedutaan Besar dan rumah diplomat Singapura di Jakarta . Di Malaysia, mata-mata Indonesia ditangkap, dan massa menyerbu Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur.[31]

Upaya penyusupan

[sunting | sunting sumber]

Sewaktu perundingan perdamaian masih berlangsung alot, Indonesia tetap melanjutkan kampanye penyusupannya. Pada tanggal 14 Agustus, seorang kepala desa melaporkan adanya penyusupan di Divisi ke-3, dan tindak lanjut menunjukkan bahwa jumlah penyusup kira-kira 50 orang. Serangkaian kontak terjadi saat pasukan 2/6 Gurkha melakukan patroli dan penyergapan; setelah sebulan, 15 orang tewas dan tiga tertangkap. Gurkha melaporkan bahwa para penyusup terlatih dengan baik dan dipimpin secara profesional, tetapi penguasaan senjata mereka buruk. Para tahanan melaporkan adanya 300 penyusup dalam waktu seminggu dan 600 dalam dua minggu.[32] Pertempuran Long Jawai merupakan penyusupan besar pertama di pusat Divisi ke-3, yang dipimpin oleh Mayor RPKAD Mulyono Soerjowardojo,[33] yang dikirim ke Nangabadan pada awal tahun. Proklamasi kemerdekaan Malaysia pada September 1963 menandai dikerahkannya satuan-satuan Angkatan Bersenjata Malaysia ke Borneo (sekarang Malaysia Timur).[34]

Serangan oleh angkatan bersenjata Indonesia terhadap pasukan Malaysia tidak meningkatkan kredibilitas "antiimperialis" Sukarno. Indonesia juga mengerahkan Azahari, yang mengklaim bahwa angkatan bersenjata Indonesia tidak terlibat dalam operasi aktif. Sukarno kemudian meluncurkan usulan perdamaian, dan pada akhir Januari, ia menyatakan bahwa Indonesia siap untuk gencatan senjata. Negosiasi kemudian dimulai di Bangkok, tetapi pelanggaran perbatasan terus berlanjut, dan negosiasi tersebut gagal. Negosiasi dilanjutkan pada pertengahan 1964 di Tokyo dan juga berakhir dengan kegagalan.[35]

Sementara itu, angkatan bersenjata Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Ahmad Yani makin khawatir dengan memburuknya situasi dalam negeri di Indonesia dan mulai diam-diam menghubungi pemerintah Malaysia, sembari berusaha mengurangi konfrontasi hingga ke tingkat minimal.[36] Langkah tersebut diambil untuk melindungi angkatan bersenjata yang kewalahan usai melancarkan Operasi Trikora di Irian Barat, sekaligus mempertahankan posisi politiknya di dalam negeri, terutama terhadap Partai Komunis Indonesia, yang merupakan pendukung fanatik konfrontasi.[37]

Perluasan konflik ke Semenanjung Malaysia

[sunting | sunting sumber]
Sarawak Rangers (kelak menjadi bagian dari Malaysian Rangers) yang beranggotakan suku Iban melompat dari helikopter Bell UH-1 Iroquois Angkatan Udara Australia untuk menjaga perbatasan Malaysia–Thailand.

Selagi perseteruan berkecamuk, pada tanggal 3 Mei 1964, Sukarno mengesahkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Dwikora berisi seruan Sukarno agar rakyat membela Revolusi Indonesia dan mendukung revolusi di Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia. Bertepatan dengan pengumuman Sukarno tentang 'hidup penuh bahaya' sewaktu perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, angkatan bersenjata Indonesia memulai kampanye penyusupan udara dan laut ke Semenanjung Malaysia pada tanggal 17 Agustus 1964.[38] Pada 19 Agustus 1964, sekelompok pasukan laut, yang terdiri dari Pasukan Gerak Cepat, KKO, dan selusin komunis Malaysia, menyeberangi Selat Malaka dengan perahu, berlabuh di Pontian dalam tiga rombongan pada malam hari. Namun, mereka disergap oleh tentara Persemakmuran, dan hampir semua penyusup tertangkap.[39] Pada 2 September, tiga pesawat Lockheed C-130 Hercules berangkat dari Jakarta menuju Semenanjung Malaysia, terbang rendah untuk menghindari deteksi radar. Malam berikutnya, dua dari C-130 berhasil mencapai tujuannya, dan pasukan PGT melompat dan mendarat di dekat Labis di Johor. C-130 yang tersisa jatuh ke Selat Malaka saat berupaya menghindari penyergapan oleh RAF Javelin FAW 9 yang diluncurkan dari RAF Tengah. Akibat badai petir, penerjunan 96 pasukan payung tidak tentu arah, sehingga mereka mendarat di dekat pangkalan militer 1/10 Gurkhas, yang bergabung dengan Batalyon Pertama, Resimen Persemakmuran, yang ditempatkan di sekitar Malaka.[38][40][41][42]

Perluasan konflik Indonesia ke Semenanjung Malaysia memicu Krisis Selat Sunda, dengan berlayarnya kapal induk Inggris HMS Victorious dan dua kapal perusak melintasi Selat Sunda. Angkatan bersenjata Persemakmuran bersiap untuk melancarkan serangan udara terhadap wilayah yang menjadi basis penyusup Indonesia di Sumatra jika aksi penyusupan Indonesia masih terus berlanjut. Terjadi ketegangan selama tiga minggu sebelum krisis tersebut diselesaikan secara damai.[43]

Pada bulan-bulan terakhir tahun 1964, konflik kedua negara mulai mencapai kebuntuan. Angkatan bersenjata Persemakmuran berhasil mencegah upaya penyusupan Indonesia ke Borneo dan Semenanjung Malaysia untuk sementara waktu. Namun, situasi kembali berubah pada bulan Desember 1964 ketika intelijen Persemakmuran mulai melaporkan adanya aksi penyusupan besar-besaran oleh Indonesia melalui wilayah Kalimantan di seberang Kuching, yang berpotensi memperuncing pertikaian. Dua batalyon Inggris kemudian dikerahkan ke Borneo.[44][45] Sementara itu, karena operasi pendaratan di Malaysia dan aksi penyusupan pasukan Indonesia yang berkelanjutan, Australia dan Selandia Baru juga mulai mengerahkan pasukan tempur ke Borneo pada awal tahun 1965.[46]

Operasi Claret

[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Operasi Claret
Tentara Inggris sedang melakukan patroli untuk melacak keberadaan musuh di belantara Brunei.

Operasi Claret adalah serangkaian serangan lintas batas yang dilakukan secara rahasia oleh pasukan Persemakmuran Inggris di Borneo dari bulan Juni 1964 hingga awal 1966. Serangan ini dilakukan oleh pasukan khusus—termasuk Special Air Service Inggris , Special Air Service Regiment Australia, dan New Zealand Special Air Service—serta infanteri reguler. Pada fase awal konflik, tentara Persemakmuran Inggris dan Malaysia hanya berupaya mengontrol perbatasan dan melindungi pusat-pusat penduduk dari serangan Indonesia. Namun, pada tahun 1965, mereka memutuskan untuk mengambil tindakan lebih agresif, melintasi perbatasan untuk memperoleh informasi dan memburu para penyusup Indonesia yang mundur hingga ke perbatasan.[28] Pertama kali disetujui pada bulan Mei 1965, kemudian diekspansi sehingga termasuk penyerangan lintas batas pada bulan Juli.[47]

Operasi ini, yang disepakati pertama kali pada bulan Mei 1965, kemudian diperluas dengan melancarkan penyergapan lintas batas pada bulan Juli. Patroli rahasia ini dilakukan oleh tim pengintaian kecil yang melintasi perbatasan dari negara bagian Sarawak atau Sabah di Malaysia ke Kalimantan di Indonesia untuk menyergap tentara Indonesia yang akan memasuki Malaysia Timur. Awalnya, wilayah patroli dibatasi hingga 2.700 m, tetapi kemudian diperluas hingga 5.500 m, dan kemudian diperluas lagi hingga 9.100 m setelah pecahnya Pertempuran Plaman Mapu pada bulan April 1965. Tentara konvensional diarahkan untuk menyergap tentara Indonesia, baik saat mereka melintasi perbatasan maupun saat masih berada di wilayah Kalimantan.[47][48] Operasi Claret dilancarkan oleh tentara Persemakmuran Inggris, yang menyebabkan jatuhnya banyak korban di pihak Indonesia dan membuatnya tetap dalam posisi bertahan di sisi perbatasan. Operasi ini baru diumumkan kepada publik oleh Inggris pada tahun 1974, sedangkan pemerintah Australia tidak mengakui keterlibatannya secara resmi hingga tahun 1996.[49][50]

Akhir konfrontasi

[sunting | sunting sumber]
Demonstrasi anti-Indonesia oleh sekelompok perempuan Malaysia pada tahun 1965.

Menjelang akhir 1965, konflik antar kedua negara mengalami kebuntuan. Presiden baru Filipina, Ferdinand Marcos, berupaya meredakan ketegangan, dan berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menggalakkan klaim Filipina atas Sabah Utara secara gigih. Untuk menengahi pertikaian, Filipina berencana untuk mengakui Federasi Malaysia. Pada tanggal 5 Februari 1965, Filipina memberitahu Indonesia mengenai normalisasi hubungannya dengan Kuala Lumpur. Sukarno menentang dan mengecam tindakan Marcos dalam pidatonya, yang mengejutkan Manila. Pidato Sukarno memicu gelombang baru masyarakat yang mendukung konfrontasi, dan organisasi pemuda serta keagamaan mengecam rencana Marcos.[51]

"Jika Marcos ingin membantu Malaysia, itu urusannya, tetapi kami akan terus menghancurkan Malaysia, bahkan jika kami harus bertempur sendirian."

— Sukarno, menanggapi tindakan Marcos, [51]

Pada malam tanggal 30 September 1965, terjadi percobaan kudeta di Jakarta. Enam pemimpin militer senior Indonesia dibunuh, sementara Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dari para penculiknya. Di tengah kebingungan, Sukarno setuju untuk membiarkan Suharto mengambil alih komando darurat dan mengendalikan Jakarta serta angkatan bersenjata yang ditempatkan di sana. Dalang upaya kudeta tersebut dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), dan dalam beberapa minggu dan bulan berikutnya, upaya penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI terjadi di Jakarta dan seluruh penjuru Indonesia. Dengan makin kuatnya citra Suharto, skala dan intensitas upaya penyusupan Indonesia ke Borneo mulai mereda. Rentetan peristiwa yang dipicu oleh kegagalan kudeta tersebut menyebabkan menguatnya kekuasaan Suharto secara bertahap dan makin terpinggirnya Sukarno. Pada saat yang sama, pembersihan antikomunis menyebar di seluruh Indonesia. Penguatan kekuasaan Suharto setelah peristiwa 30 September memungkinkannya untuk membentuk pemerintahan baru dan pada bulan Maret 1967, Suharto membentuk kabinet baru.[52]

Pada tanggal 28 Mei 1966, dalam konferensi di Bangkok, pemerintah Malaysia dan Indonesia menyatakan bahwa konflik telah berakhir. Namun, kewaspadaan di Borneo belum bisa dilonggarkan. Berkat upaya Suharto, perjanjian damai ditandatangani pada tanggal 11 Agustus dan diratifikasi dua hari kemudian.[7] Pada awal pemerintahan Suharto, Operasi Claret terus berlanjut, dan pada bulan Maret 1966, batalion Gurkha terlibat dalam sejumlah pertempuran sengit di Kalimantan.Tindakan konfrontasi kecil oleh tentara Indonesia terus berlanjut di daerah perbatasan.[53]

Pada awal 1966, dengan makin stabilnya perpolitikan di Indonesia, RPKAD bekerja sama dengan PGRS membentuk pasukan gerilya di Sabah dan Sarawak. Pasukan di Sabah tidak pernah melintasi perbatasan, tetapi dua kelompok pasukan memasuki Sarawak pada bulan Februari dan Mei dan mendapatkan dukungan dari simpatisan lokal. Kelompok pertama berhasil bertahan hingga bulan Juni dan dievakuasi setelah Konfrontasi berakhir. Para penyintas dari kelompok kedua juga berhasil kembali ke Indonesia.[54]

Daftar pertempuran
  • Pertempuran Long Jawai, 28 September 1963. Long Jawai. Kalimantan. Kemenangan Indonesia, kemenangan inggris (serangan balik)
  • Pendaratan di Pontian. 17 Agustus 1964, Distrik Pontian, Malaysia. Kemenangan Malaysia
  • Krisis Selat Sunda. 27 Agustus – 10 September 1964. Selat Sunda, Indonesia. Keberhasilan dua belah pihak dalam Menghindari Konflik
  • Pendaratan di Labis, September–Oktober 1964. Labis, Johor, Malaysia. Kemenangan Persemakmuran
  • Pendaratan di Sungai Kesang. 29 Oktober 1964. Johor, Malaysia. Kemenangan Britania Raya
  • Aksi 13 Desember 1964. 13 Desember 1964. Selat Singapura. Australia menang
  • Pertempuran Plaman Mapu. 27 April 1965, Plaman Mapu, Sarawak, Borneo. Malaysia. Kemenangan inggris
  • Pertempuran Sungei Koemba. 27 Mei – 12 Juni 1965, Sungei Koemba, Kalimantan. Kemenangan Australia
  • Pertempuran Kindau. 15 June 1965. Kindau, Kalimantan, Indonesian. Kemenangan Australia
  • Pertempuran Babang, 12 July 1965. Babang, Kalimantan, Indonesian. Kemenangan Australia
  • Pertempuran Bau, 21 November 1965. Bau, Sarawak. Kemenangan taktis Britania Raya

Penyelesaian damai

[sunting | sunting sumber]

Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30 September. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

Pada 28 Mei 1966, dalam sebuah perundingan di Bangkok, Malaysia dan Indonesia mengumumkan perdamaian setelah Soeharto mengutus Adam Malik sebagai wakil untuk berunding dengan Tunku Abdul Rahman. Aksi kekerasan berakhir pada bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian. Indonesia secara resmi mengakhiri konfrantasi terhadap Malaysia pada tahun 1967.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  • Sejarah Indonesia
  • Sejarah Malaysia
  • Pengeboman MacDonald House
  • Komando Tertinggi Operasi Ekonomi

Catatan

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sebelum Federasi, tiga entitas terpisah Malaya, Sarawak, dan Kalimantan Utara berpartisipasi secara mandiri
  2. ^ Sampai 1965

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Conboy 2003, hlm. 93–95.
  2. ^ a b Conboy 2003, hlm. 156.
  3. ^ Fowler 2006, hlm. 11, 41
  4. ^ a b Pocock 1973, hlm. 129.
  5. ^ a b Corbett 1986, hlm. 124.
  6. ^ Sejarah Indonesia : "The Sukarno Years". Retrieved 30 May 2006.
  7. ^ a b c d e f g h i Carver 1986, hlm. 806.
  8. ^ a b c d e f Moulton 1967, hlm. 349.
  9. ^ UK Armed Forces Operational deaths post World War II (PDF). Ministry of Defence. 2015. hlm. 4.
  10. ^ a b "Indonesian Confrontation, 1963–66 | Australian War Memorial". www.awm.gov.au.
  11. ^ "NZ and Confrontation in Borneo – Confrontation in Borneo | NZHistory, New Zealand history online". nzhistory.govt.nz.
  12. ^ "Speech by the President of the SAF Veterans' League, Brigadier-General (NS) Winston Toh, At the Konfrontasi Memorial Ceremony on 10 March 2016, 1825hrs |" (PDF). Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 26 March 2023. Diakses tanggal 17 February 2022.
  13. ^ Mackie 1974, hlm. 36–37 & 174.
  14. ^ Dennis & Grey 1996, hlm. 25.
  15. ^ Edwards 1992, hlm. 306.
  16. ^ Dennis & Grey 1996, hlm. 318.
  17. ^ Cain 1997, hlm. 67.
  18. ^ a b Jones, M. (1999-11-01). "'Maximum disavowable aid': Britain, the United States and the Indonesian rebellion, 1957–58". The English Historical Review (dalam bahasa Inggris). 114 (459): 1179–1216. doi:10.1093/ehr/114.459.1179. ISSN 0013-8266.
  19. ^ Easter 2004, hlm. 46.
  20. ^ Conboy 2003, hlm. 102.
  21. ^ Reece 1993, hlm. 72.
  22. ^ a b Fong 2005, hlm. 183–192.
  23. ^ Kheng 2009, hlm. 132–152.
  24. ^ Hitoshi Hirakawa; Hiroshi Shimizu (24 June 1999). Japan and Singapore in the World Economy: Japan's Economic Advance Into Singapore 1870–1965. Routledge. hlm. 180. ISBN 978-1-134-65174-0.
  25. ^ "Juni 1964: Konfrontasi Indonesia-Malaysia". Asumsi.co. 4 March 2021. Diakses tanggal 29 October 2024.
  26. ^ "Bukan Ingin Rebut Sabah dan Sarawak, Ini Alasan Presiden Soekano Perang Lawan Malaysia 1964". Dayak International Organization. 20 September 2022. Diakses tanggal 23 October 2024.
  27. ^ Pocock 1973, hlm. 153.
  28. ^ a b Dennis et al. 2008, hlm. 152.
  29. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Tun Hanif Omar 2007
  30. ^ Mackie 1974, hlm. 174–175.
  31. ^ Pocock 1973, hlm. 173.
  32. ^ Pocock 1973, hlm. 170.
  33. ^ van der Bijl 2007, hlm. 80–85.
  34. ^ Majid 2007, hlm. 154.
  35. ^ Pocock 1973, hlm. 179–181, 188.
  36. ^ Weinstein, Franklin B. (2007). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 9789793780566.
  37. ^ Crouch, Harold (2007). The Army and Politics in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 9789793780504.
  38. ^ a b Conboy 2003, hlm. 161.
  39. ^ James & Sheil-Small 1971, hlm. 146.
  40. ^ van der Bijl 2007, hlm. 135–138.
  41. ^ James & Sheil-Small 1971, hlm. 148–150.
  42. ^ Pugsley 2003, hlm. 206–213.
  43. ^ Edwards 1992, hlm. 319.
  44. ^ Gregorian 1991, hlm. 55.
  45. ^ Jones 2002, hlm. 272.
  46. ^ van der Bijl 2007, hlm. 165.
  47. ^ a b Pugsley 2003, hlm. 255.
  48. ^ Horner 2002, hlm. 83–84.
  49. ^ Forbes, Mark (23 March 2005). "Truth still a casualty of our secret war". The Age. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 2 September 2006. Diakses tanggal 27 April 2009.
  50. ^ Coates 2006, hlm. 333.
  51. ^ a b Weinstein, Franklin B. (2009). Indonesia Abandons Confrontation: An Inquiry Into the Functions of Indonesian Foreign Policy (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-602-8397-45-2.
  52. ^ Pocock 1973, hlm. 215.
  53. ^ Pocock 1973, hlm. 213–214.
  54. ^ Conboy 2003, hlm. 158–161.

Pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Van der Bijl, Nicholas (2007). Confrontation: the war with Indonesia, 1962-1966. Pen & Sword Military. ISBN 9781844155958. OL 22546200M.{{cite book}}: Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)

Pustaka lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Wikisource logo Karya yang berkaitan dengan Resolusi Majelis Umum PBB 1514 mengenai Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Masyarakat dan Negara terjajah di Wikisource
  • (Inggris) Easter, D. Britain and the Confrontation with Indonesia, 1961-1965, (2004, London) I.B.Tauris, ISBN 1-85043-623-1
  • (Inggris) Jones, M. Conflict and Confrontation in South East Asia, 1961-1965: Britain, the United States and the Creation of Malaysia. (2002, Cambridge) Cambridge University Press. ISBN 0-521-80111-7
  • (Inggris) Mackie, J.A.C. Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (1974, Kuala Lumpur) Oxford University Press.
  • (Inggris) Subritzky, J. Confronting Soekarno: British, American, Australian and New Zealand Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961-1965, (2000, London) Palgrave. ISBN 0-312-22784-1

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  • Atlas - Internal and external tensions: land reform and confrontation with Malaysia Diarsipkan 2012-11-13 di Wayback Machine.
  • (Inggris) Konfrontasi Indonesia di National Army Museum
  • l
  • b
  • s
Hubungan Indonesia dengan Malaysia
Politik
  • Ambalat
  • Insiden penyerempetan kapal 2005
  • Konfrontasi Indonesia-Malaysia
  • Sipadan dan Ligitan
  • Sentimen anti-Malaysia di Indonesia
Budaya
  • Indon
  • Rasa Sayange
  • Reog (Ponorogo)
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Konfrontasi_Indonesia–Malaysia&oldid=27041771"
Kategori:
  • Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan
  • Kolonialisme
  • Imperialisme
  • Perang yang melibatkan Indonesia
  • Perang yang melibatkan Malaysia
  • Perang dalam tahun 1962
  • Perang dalam tahun 1963
  • Perang dalam tahun 1964
  • Perang dalam tahun 1965
  • Perang dalam tahun 1966
Kategori tersembunyi:
  • Halaman dengan kesalahan referensi
  • Pages using the JsonConfig extension
  • CS1 sumber berbahasa Inggris (en)
  • Wikipedia pages with incorrect protection templates
  • Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan
  • Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan Maret 2025
  • Templat webarchive tautan wayback
  • Halaman yang menggunakan pranala magis ISBN

Best Rank
More Recommended Articles