More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Kampanye Sulawesi Selatan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kampanye Sulawesi Selatan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kampanye Sulawesi Selatan

  • English
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pembantaian Westerling)
Untuk penaklukan kerajaan pribumi Sulawesi selatan oleh Belanda tahun 1905–06, lihat Ekspedisi Sulawesi Selatan.
Kampanye Sulawesi Selatan
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia
Tanggal10 Desember 1946 – 21 Februari 1947
(2 bulan, 2 minggu dan 4 hari)
LokasiSulawesi Selatan, Hindia Belanda
Hasil Kemenangan Belanda
Pihak terlibat
 Indonesia  Belanda
Tokoh dan pemimpin
Sam Ratulangi
Andi Abdullah Bau Massepe †
Andi Mattalata
Letnan Latief (POW)
Kapten Westerling
Kolonel De Vries
Pasukan
Tentara Republik Indonesia (TRI)
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)
Berbagai pasukan tempur lokal yang tidak teratur
Depot Speciale Troepen (DST)
Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL)
Satuan polisi
Penjaga desa
Kekuatan
100 pasukan TRI 123 pasukan DST
Korban
Tidak diketahui 3 pasukan DST tewas
Jumlah prajurit KNIL, anggota satuan polisi dan penjaga desa yang tewas tidak diketahui
Sekitar 3.100 hingga 3.500 warga sipil dibunuh oleh pasukan Belanda, beberapa di antaranya dieksekusi tanpa pengadilan, dan sekitar 1.500 dibunuh oleh pasukan TRI.[1][2][3]
Bagian dari seri mengenai
Sejarah Indonesia
Prasejarah
Manusia Jawa 1.000.000 BP
Manusia Flores 94.000–12.000 BP
Bencana alam Toba 75.000 BP
Kebudayaan Buni 400 SM
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Kutai 400–1635
Kerajaan Kalingga 424–782
Tarumanagara 450–900
Kerajaan Melayu 671–1347
Sriwijaya 671–1028
Kerajaan Sunda 662–1579
Kerajaan Galuh 669–1482
Kerajaan Bima 709–1621
Mataram Kuno 716–1016
Kerajaan Bali 914–1908
Kerajaan Kahuripan 1019–1046
Kerajaan Janggala 1042–1135
Kerajaan Kadiri 1042–1222
Kerajaan Singasari 1222–1292
Majapahit 1293–1478
Kerajaan Islam
Lihat: Penyebaran Islam di Nusantara
Kesultanan Peureulak 840–1292
Kerajaan Haru 1225–1613
Kesultanan Ternate 1257–1914
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kesultanan Bone 1300–1905
Kerajaan Kaimana 1309–1963
Kesultanan Gowa 1320–sekarang
Kesultanan Limboto 1330–1863
Kerajaan Pagaruyung 1347–1833
Kesultanan Brunei 1368–1888, sekarang Brunei
Kesultanan Gorontalo 1385–1878
Kesultanan Melaka 1405–1511
Kesultanan Sulu 1405–1851
Kesultanan Cirebon 1445–1677
Kesultanan Demak 1475–1554
Kerajaan Giri 1481–1680
Kesultanan Bolango 1482–1862
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kerajaan Balanipa 1511–sekarang
Kesultanan Banten 1526–1813
Kesultanan Banjar 1526–sekarang
Kerajaan Kalinyamat 1527–1599
Kesultanan Johor 1528–1877
Kesultanan Pajang 1568–1586
Kesultanan Mataram 1586–1755
Kerajaan Fatagar 1600–1963
Kesultanan Jambi 1615–1904
Kesultanan Bima 1620–1958
Kesultanan Palembang 1659–1823
Kesultanan Sumbawa 1674–1958
Kesultanan Kasepuhan 1679–1815
Kesultanan Kanoman 1679–1815
Kesultanan Siak 1723–1945
Kesunanan Surakarta 1745–sekarang
Kesultanan Yogyakarta 1755–sekarang
Kesultanan Kacirebonan 1808–1815
Kesultanan Deli 1814–1946
Kesultanan Lingga 1824–1911
Negara lainnya
Lihat: Kerajaan-kerajaan Kristen di Nusantara
Kerajaan Soya 1200–sekarang
Kerajaan Bolaang Mongondow 1320–1950
Kerajaan Manado 1500–1670
Kerajaan Siau 1510–1956
Kerajaan Larantuka 1515–1962
Kerajaan Sikka
Kerajaan Tagulandang 1570–1942
Kerajaan Manganitu 1600–1944
Republik Lanfang 1777–1884
Kerajaan Lore 1903–sekarang
Kolonialisme Eropa
Portugis 1512–1850
VOC 1602–1800
Jeda kekuasaan Prancis dan Britania 1806–1815
Hindia Belanda 1800–1949
Munculnya Indonesia
Kebangkitan Nasional 1908–1942
Pendudukan Jepang 1942–1945
Revolusi Nasional 1945–1949
Republik Indonesia
Awal Kemerdekaan 1945–1949
Republik Indonesia Serikat 1949–1950
Demokrasi Liberal 1950–1959
Demokrasi Terpimpin 1959–1965
Transisi 1965–1966
Orde Baru 1966–1998
Reformasi 1998–sekarang
Menurut topik
  • Arkeologi
  • Mata uang
  • Ekonomi
  • Militer
Garis waktu
 Portal Indonesia
  • l
  • b
  • s

Kampanye Sulawesi Selatan (10 Desember 1946 – 21 Februari 1947) adalah sebuah kampanye pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Kampanye ini merupakan serangan kontra-pemberontakan dari pasukan khusus KNIL terhadap infiltrasi Indonesia dari Jawa dan milisi lokal pro-Indonesia. Operasi ini didalangi oleh Raymond Westerling yang kontroversial, seorang kapten KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Operasi Westerling, yang dimulai pada bulan Desember 1946 dan berakhir pada bulan Februari 1947, berhasil menumpas pemberontakan dan melemahkan dukungan lokal terhadap kaum Republik dengan melakukan eksekusi kilat terhadap para pejuang yang dicurigai sebagai musuh.[4]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Antara 1816 sampai 1905, Belanda memperkuat kendalinya atas negara Sulawesi Selatan. Pada tahun 1911, Belanda telah mengintegrasikan wilayah tersebut ke dalam Hindia Belanda.[5] Kekuasaan Belanda diserobot oleh invasi Jepang ke Hindia Belanda pada Perang Dunia II. Waktu itu, Sulawesi dan sebagian besar Indonesia timur berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang berusaha meredam gerakan republik dan nasionalis setempat, berbeda dengan pemerintahan Angkatan Darat di Jawa dan Sumatra.[6] Setelah penyerahan diri Jepang bulan Agustus 1945, gerakan nasionalis di Sulawesi membangun hubungan dengan pemerintahan republik Soekarno di Jawa.[6]

Akan tetapi, karena struktur pasukan nasionalis di Sulawesi lemah, mereka tidak mampu menahan laju pasukan pendudukan Australia dan Belanda yang dengan cepat menguasai seluruh Indonesia Timur tanpa perlawanan. Pada tanggal 5 April 1946, sebagian besar pejabat pemerintahan republik lokal, termasuk Gubernur Sam Ratulangi, ditahan oleh pasukan Belanda. Belanda juga menahan bangsawan pro-republik dan para pendukungnya. Meski begitu, perlawanan terus dilanjutkan oleh kaum intelektual dan gerilya pro-republik, bangsawan, dan militan yang berbasis di Jawa.[6] Belanda mencap pemberontakan lokal sebagai perwujudan komunisme internasional dan dominasi Jawa.[7] Mereka menganggap penduduk pribumi senang dan resisten terhadap perubahan revolusioner.[8]

Meski Konferensi Malino Juli 1946 mewujudkan negara-negara federal lokal di wilayah Indonesia milik Belanda, efektivitas pemerintah di Sulawesi melemah akibat memburuknya ekonomi, gagal panen, dan tidak adanya pemerintahan sipil.[9] Republik Indonesia di Jawa memberikan latihan untuk para gerilyawan Sulawesi dan mengirimkan pasukan dan persediaan ke pelabuhan Polongbangkeng dan Barru.[7] Per Desember 1946, pemerintahan Belanda di pulau ini hanya mencakup Makassar dan berada di ambang pembubaran. Ratusan pejabat pemerintahan dan anggota masyarakat Eurasia dan Tionghoa pro-Belanda diserang dan dibunuh. Garnisun KNIL di pulau ini tidak mampu melindungi mereka.[10]

Metode Westerling

[sunting | sunting sumber]

Kegagalan taktik konvensional memaksa pemerintah Hindia Belanda mengutus pakar kontrapemberontakan Raymond Westerling untuk memulai kampanye pendamaian (pasifikasi) selama tiga bulan sejak Desember 1946 sampai Februari 1947. Taktik-taktik Belanda sebelumnya berfokus pada penahanan sementara dan pembebasan para terduga pemberontak.[11] Bulan November 1946, Westerling yang dilatih Britania ini mengembangkan kontingen komando di dalam KNIL yang dikenal dengan sebutan Depot Special Forces (DST). DST dibentuk khusus untuk peperangan dan interogasi kontrapemberontakan.[12]

Menurut Westerling, mendamaikan Sulawesi tanpa memakan ribuan korban jiwa tak bersalah hanya bisa dicapai dengan memberlakukan pengadilan di tempat terhadap para terduga pejuang musuh yang kemudian dieksekusi. Cara ini dikenal dengan nama "Metode Wsterling". Westerling memeirntahkan pendaftaran semua penduduk suku Jawa yang tiba di Makassar dikarenakan banyaknya warga Jawa yang terlibat dalam pemberontakan Sulawesi. Ia juga mengirim mata-mata ke desa setempat untuk mengidentifikasi para anggota pemberontak.[13]

Berdasarkan informasi dari mereka dan dinas intelijen militer Belanda, DST mengepung satu atau beberapa desa terduga pada malam hari, kemudian menggiring para penduduknya ke lokasi terpusat. Pada pagi hari, operasi dimulai dan biasanya dipimpin langsung oleh Westerling. Para pria dipisahkan dari wanita dan anak-anak. Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, Westerling mengungkap orang-orang yang dicap teroris dan pembunuh. Mereka langsung ditembak tanpa penyelidikan lebih lanjut. Setelah itu, Westerling memaksa masyarakat setempat berhenti mendukung pemberontak dengan bersumpah menggunakan Quran[12] dan membentuk pasukan pertahanan lokal yang anggota-anggotanya adalah mantan pemberontak.[14]

Westerling memimpin sebelas operasi pada kampanye ini. Ia berhasil meredam pemberontakan dan mengurangi dukungan masyarakat terhadap kaum Republik. Aksi-aksinya memperkuat kekuasaan Belanda di Sulawesi selatan. Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda dan komando angkatan darat Belanda menyadari bahwa kekejaman Westerling menuai kritik keras dari masyarakat. Pada bulan April 1947, pemerintah Belanda melakukan penyelidikan resmi terhadap metode-metodenya yang kontroversial. Raymond Westerling dianggap tidak terlibat aktif dan ia dibebastugaskan pada November 1948.[15]

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Korps Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Operasi militer

[sunting | sunting sumber]

Tahap pertama

[sunting | sunting sumber]

Aksi pertama operasi Pasukan Khusus KST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.

Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan pada masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.

Demikianlah "sweeping ala Westerling". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Mongisidi dan Ali Malaka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.

Tahap kedua

[sunting | sunting sumber]

Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polongbangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan Ko'mara. Pasukan lain mengurung Polobangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.

Tahap ketiga

[sunting | sunting sumber]

Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerja sama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Pemberlakuan keadaan darurat

[sunting | sunting sumber]
Westerling

Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal Simon Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktikkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.

Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilanjutkan di Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talabangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di pesisir Tanete, sementara di kampung Pasa Baru Tanete terdapat 48 korban yang ditembak mati, pada tanggal 16 dan 17 Februari di desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di Kulo, Amparita dan Maroangin di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.

Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris, perampok dan pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanete, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di Gowa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia kepada Belanda.

Peristiwa Galung Lombok

[sunting | sunting sumber]

Peristiwa maut di Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma'roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.

Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (kadi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya..

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut Peristiwa Galung Lombok itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro-RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammadiyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan napas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.

Pascaoperasi

[sunting | sunting sumber]

Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda–baik militer maupun sipil–reputasi Pasukan Khusus DST dan Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Pada bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Pada tanggal 5 Januari 1948, nama DST diubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.

Korban

[sunting | sunting sumber]

Jumlah rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Menurut De Jong, jumlah korban sesungguhnya, jika ingin mencoba obyektif memandang sejarah bukanlah 40 ribu melainkan 4 ribu orang.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kedaluwarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.

Kontroversi

[sunting | sunting sumber]

Pemerintah Republik mengklaim bahwa Westerling bertanggung jawab atas kematian puluhan ribu orang. Awalnya perkiraan korban hanya 15.000 jiwa, kemudian naik menjadi 40.000 jiwa. Monumen bernama "Monumen Korban 40.000 Jiwa" dibangun di kota Makassar untuk mengenang para korban kampanye ini. Sejarawan Belanda Jaap de Moor mengatakan jumlah korban jiwa yang besar ini adalah propaganda Republik untuk menarik perhatian dunia terhadap perjuangan diplomatik dan bersenjatanya melawan Belanda. Mohammed Natzir dari Komisi Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga menyebut angka 40.000 ini dibuat-buat dan merupakan propaganda pemerintah Republik terhadap pendudukan Belanda waktu itu.

Dalam buku "De Zuid-Celebes Affaire: Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies", sejarawan Belanda Willem IJzereef memperkirakan aksi DST memakan korban sebanyak 1.500 jiwa. Sekitar 400 di antaranya dieksekusi dalam aksi yang dipimpin Westerling, sedangkan 1.100 sisanya tewas dalam aksi yang dipimpin wakilnya. Aksi oleh unit KNIL lainnya kemungkinan menewaskan 1.500 jiwa lagi. Sekitar 900 warga Indonesia tewas di tangan polisi dan pasukan keamanan desa pro-Belanda. IJzereef percaya bahwa pemberontakan Indonesia menewaskan kurang lebih 1.500 orang.[16]

Pembelaan

[sunting | sunting sumber]

Westerling selalu membela aksi-aksinya dan menolak tuduhan kejahatan perang. Memoarnya yang diterbitkan tahun 1952 memiliki bab khusus berisi pembelaan dirinya: "Mereka menggambarkanku sebagai monster yang haus darah, yang menyerang rakyat Celebes dengan senjata api dan pedang, dan yang memulai kampanye penindasan tanpa ampun terhadap semua orang yang melawan pemerintah Belanda demi meraih kemerdekaan nasional Indonesia". Westerling menyatakan taktik-taktiknya didasarkan pada tugasnya sebagai polisi yang melawan teror: "Aku menangkap teroris bukan karena mereka bertindak sebagai pendukung pemerintah Indonesia... melainkan karena mereka sendiri melakukan kejahatan terbuka... Aku tidak pernah menyuruh mereka [tentara] membombardir desa. Aku pun tidak pernah menembaki rumah orang-orang bersalah. Aku pernah mengeksekusi orang-orang jahat, tetapi tidak ada yang meninggal sia-sia atau tanpa alasan karena tindakan saya.[17]

Pada tahun 1949, perjanjian pengalihan kekuasaan Belanda–Indonesia menegaskan kedua pihak tidak akan menuntut tanggung jawab semasa perang, sehingga otomatis membatalkan semua upaya Indonesia untuk mengekstradisi Westerling.

Permintaan maaf

[sunting | sunting sumber]

Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda melalui Duta Besarnya di Jakarta, Tjeerd de Zwaan, menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh korban pembantaian.[18] "Atas nama Pemerintah Belanda saya meminta maaf atas kejadian-kejadian ini. Hari ini saya juga meminta maaf kepada para janda dari Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Parepare," kata Zwaan.[18]

Selain itu, Pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi kepada 10 janda yang suaminya menjadi korban pembantaian tersebut masing-masing sebesar 20 ribu Euro atau Rp 301 juta.[19]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  • Pembantaian Rawagede

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Onderzoek in Indonesië naar claims executies". Trouw. 14 August 2016.
  2. ^ "How the Netherlands Hid Its War Crimes for Decades". 31 August 2020.
  3. ^ IJzereef (1984), p. 172
  4. ^ Van Dijk, C. (1981). "The Rebellion of South Sulawesi–Disaffected Guerillas". Rebellion under the Banner of Islam. Vol. 94. Brill. hlm. 155–217. JSTOR 10.1163/j.ctvbqs6vx.10.
  5. ^ Tol (2001), p. 136
  6. ^ a b c Kahin (1952), p. 355
  7. ^ a b Westerling (1952), p. 92
  8. ^ Westerling (1952), p. 89
  9. ^ Westerling (1952), p. 90
  10. ^ Westerling (1952), p. 93
  11. ^ Westerling (1952), p. 95
  12. ^ a b "Westerling's War". Jakarta Post. 19 May 2010. Diarsipkan dari asli tanggal 2010-05-20. Diakses tanggal 25 November 2010.
  13. ^ Westerling (1952), p. 96
  14. ^ Westerling (1952), pp. 101–105
  15. ^ Westerling (1952), pp. 98–99
  16. ^ IJzereef (1984), p. 172
  17. ^ Westerling (1952), p. 150
  18. ^ a b Belanda Minta Maaf ke Keluarga Korban Westerling Vivanews, 12 September 2013 diakses 16 September 2013
  19. ^ Belanda Ganti Rugi 20 ribu Euro Kepada 10 Janda Korban Westerling Liputan6.com, diakses 16 September 2013

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • Kahin, George McTurnan (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. ISBN 0-8014-9108-8. ;
  • Ricklefs, M.C. (1993). A History of Modern Indonesia Since c.1300. San Francisco: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-2195-0.
  • Sidarto, Lins (19 May 2010). "Westerling's War". The Jakarta Post. Diarsipkan dari asli tanggal 2010-05-20. Diakses tanggal 25 October 2010.
  • Tol, Roger. "The Fall of the Bugis States." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. pp. 132–133.
  • IJzereef, Willem (1984). De Zuid-Celebes Affaire: Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies. Dieren: De Bataafse Leeuw. ISBN 978-90-6707-030-0 (9067070300).
  • Westerling, Raymond Paul Pierre (1952). Mes Aventures en Indonesie (dalam bahasa French). Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link). Translated from the French to English by Waverley Root as Challenge to Terror. Holyoake Press, 18 May 2008. ISBN 978-1-4097-2448-3.

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Said, Mohammed Natzir (1985). Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. SOB 11 Desember 1946 penyebab banjir darah dan lautan api. Bandung: Alumni.
  • Reid, Anthony (1974). The Indonesian National Revolution 1945–1950. Melbourne: Longman Pty Ltd. ISBN 0-582-71046-4.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  • (Indonesia) Amanat Presiden Sukarno pada Peringatan 40.000 Korban Westerling di Sulawesi Selatan
  • (Indonesia) Pembantaian Westerling I
  • l
  • b
  • s
Revolusi Nasional Indonesia
Awal
  • Hindia Belanda
  • Pendudukan Hindia Belanda oleh Jepang
  • Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Upaya diplomatik
  • Konferensi Malino
  • Perundingan Linggarjati
  • Konferensi Denpasar
  • Perjanjian Renville
  • Perjanjian Roem-Roijen
  • Konferensi Meja Bundar
  • Resolusi 27 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
  • Garis Van Mook
Konflik militer
  • Tentara Nasional Indonesia
  • Angkatan Darat Kerajaan Belanda
  • Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda
  • Pertempuran Surabaya
  • Agresi Militer Belanda I
  • Agresi Militer Belanda II
  • Pertempuran Medan
  • Pertempuran Ambarawa
  • Bandung Lautan Api
  • Kampanye Sulawesi Selatan
  • Pemberontakan PKI 1948
  • Serangan Umum 1 Maret 1949
  • Serangan Umum Surakarta
  • Darul Islam
  • Bersiap
Tokoh
  • Soekarno
  • Mohammad Hatta
  • Soetan Sjahrir
  • Soedirman
  • Abdul Haris Nasution
  • Hamengkubuwono IX
  • Bung Tomo
  • Tan Malaka
  • Hubertus van Mook
  • Simon Spoor
  • Raymond Westerling
  • Sultan Hamid II
Lembaga administratif
  • Republik Indonesia Serikat
  • Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
  • Komite Nasional Indonesia Pusat
  • Hindia Belanda
  • NICA
  • l
  • b
  • s
Sejarah konflik di Indonesia
Konflik politik
  • Revolusi Sosial Sumatra Timur
  • Perang Cumbok
  • Peristiwa Madiun
  • Kudeta APRA
  • Pemberontakan DI/TII
  • Peristiwa Andi Azis
  • Sinterklas Hitam
  • Gerakan 30 September
  • Pembantaian 1965-1966
  • Peristiwa 19 Agustus 1966
  • Pemberontakan di Aceh
  • Konflik Papua
  • Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
  • Permesta
  • Aksi 5 Agustus 1989
  • Peristiwa 27 Juli
  • Kerusuhan Mei 1998
    • Pendudukan Gedung DPR/MPR
    • Peristiwa Cimanggis
    • Peristiwa Gejayan
Konflik sosial
  • Revolusi Sosial Sumatera Timur 1946
  • Kerusuhan Anti Tionghoa di Bandung 1963
  • Peristiwa Mangkuk Merah 1967
  • Peristiwa Malari 1974
  • Kerusuhan Solo 1980
  • Peristiwa Talangsari 1989
  • Kerusuhan Situbondo 1996
  • Kerusuhan Banjarmasin 1997
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Kerusuhan Poso
  • Konflik sektarian Maluku
  • Konflik Sampit 2001
  • Kerusuhan Koja April 2010
  • Kerusuhan Tarakan September 2010
  • Unjuk rasa dan kerusuhan Jakarta 2019
  • Pembatasan penggunaan internet di Indonesia 2019
  • Bentrok Jayanti
  • Kerusuhan Haruku 2022
Konflik sumber daya alam
  • Konflik Wadas
Kejahatan kemanusiaan
  • Pembantaian Rawagede
  • Pembantaian Westerling
  • Tragedi Mergosono
  • Pembantaian Rengat
  • Pembantaian simpatisan komunis 1965/1966
  • Penembakan misterius
  • Peristiwa Tanjung Priok
  • Pembantaian Santa Cruz
  • Peristiwa 27 Juli
  • Penculikan aktivis 1997/1998
  • Tragedi Trisakti
  • Tragedi Semanggi
  • Tragedi Simpang KKA
  • Tragedi Beutong Ateuh
  • Insiden Alastlogo
  • Penembakan Cebongan
  • Unjuk rasa dan kerusuhan Jakarta 2019
  • Unjuk rasa dan kerusuhan Indonesia September 2019
  • Pembatasan penggunaan internet di Indonesia 2019
  • Tragedi Gelora Bandung Lautan Api 2022
  • Tragedi Stadion Kanjuruhan 2022


Lihat pula: Pelanggaran hak asasi manusia oleh Tentara Nasional Indonesia

Terorisme
  • Templat:Terorisme di Indonesia
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kampanye_Sulawesi_Selatan&oldid=27279637"
Kategori:
  • Galat CS1: tanggal ISBN
  • Sejarah Indonesia
  • Revolusi Nasional Indonesia
  • Pembantaian
  • Peristiwa 1946
  • Peristiwa 1947
  • Perang Kemerdekaan Indonesia
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Galat CS1: parameter tidak didukung
  • Galat CS1: parameter kosong tidak dikenal
  • Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui
  • Halaman yang menggunakan pranala magis ISBN

Best Rank
More Recommended Articles