Meditasi Dhammakāya

| Bagian dari seri tentang |
| Buddhisme Theravāda |
|---|
| Buddhisme |
Meditasi Dhammakāya (juga dikenal sebagai meditasi Sammā Arahaṁ) adalah sebuah metode meditasi Buddhis yang dikembangkan dan diajarkan oleh guru meditasi Thailand Luang Pu Sodh Candasaro (1885–1959).[note 1] Di Thailand, metode ini dikenal sebagai Vijjā dhammakāya, yang diterjemahkan sebagai "pengetahuan tentang tubuh-Dhamma". Metode Meditasi Dhammakāya dianggap sebagai salah satu yang paling menonjol di Thailand dan bagian lain di Asia Tenggara. Metode ini telah digambarkan sebagai kebangkitan kembali praktik meditasi "samatha" (ketenangan) dan "vipassanā" (pandangan terang) di Thailand.
Tradisi Dhammakāya percaya bahwa metode ini sama dengan metode asli yang digunakan Sang Buddha untuk mencapai pencerahan, yang telah hilang dan kemudian ditemukan kembali oleh Luang Pu Sodh pada tahun 1910-an. Aspek terpenting dari metode meditasi ini adalah fokus pada pusat tubuh, yang mengarah pada pencapaian Dhammakāya, tubuh-Dhamma, yang ditemukan di dalam diri setiap manusia. Mirip dengan tradisi meditasi lainnya, Tradisi Dhammakāya percaya bahwa teknik meditasi ini mengarah pada pencapaian Nirwana, dan pada tahap-tahap lanjut, dapat memberikan meditator berbagai kemampuan supernatural, atau abhiññā.
Meditasi Dhammakāya diajarkan di beberapa vihara dalam tradisi ini, dan terdiri dari tahap samatha (ketenangan) dan vipassanā (pandangan terang), mengikuti struktur kitab Visuddhimagga, sebuah panduan standar Theravāda abad ke-5 tentang meditasi. Dalam metode ini, tahapan-tahapan tersebut dijelaskan dalam istilah tubuh-tubuh batiniah (Pali: kāya), tetapi juga dalam istilah penyerapan meditatif (Pali: jhāna).
Para cendekiawan telah mengusulkan beberapa kemungkinan asal-usul metode ini, dengan tradisi Yogāvacara sebagai sumber yang paling mungkin, serta mengakui bahwa Luang Pu Sodh mungkin telah mengembangkannya secara mandiri melalui pengalaman batinnya sendiri.
Meditasi Dhammakāya telah menjadi subjek diskusi dan perdebatan yang cukup besar di kalangan umat Buddha mengenai keaslian dan kemanjurannya, dan juga telah menjadi subjek beberapa penelitian ilmiah.
Nomenklatur
Meditasi Dhammakāya juga disebut sebagai Vijja thammakai atau Vijjā dhammakāya.[4][5][6] Kata vijjā berasal dari istilah Sanskerta vidyā atau pengetahuan, sedangkan dhammakāya berarti "tubuh-Dhamma".[7][5][6] Bersama-sama, ini bermakna 'pengetahuan tentang tubuh-Dhamma'. Tradisi ini sendiri, seperti yang diungkapkan dalam buku-buku Wat Phra Dhammakaya, mendefinisikan Vijjā Dhammakāya sebagai "Pengetahuan jernih yang muncul dari pandangan terang melalui visi dan pengetahuan tentang Dhammakāya."[8]
Sejarah
Gerakan reformasi Thailand abad ke-19
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Thailand, persepsi publik terhadap praktik Buddhisme berubah. Awalnya, orang Thailand melihat meditasi sebagian besar sebagai praktik pribadi dan cukup esoteris. Menanggapi ancaman kekuatan kolonial, raja-raja Thailand dan ordo Dhammayuttika Nikāya yang telah direformasi berupaya memodernisasi Buddhisme. Praktik Mahāyāna dan Tantra dianggap "devosional dan merosot", sementara tradisi Theravāda yang ortodoks dianggap sebagai tradisi yang lebih sah dengan kitab-kitab kanonik yang tertutup.[9]
Keluarga kerajaan Thailand berupaya mereformasi Buddhisme Thailand dengan praktik ritual dan mistisnya, alih-alih mendorong studi langsung dan kepatuhan pada kitab-kitab kanonik Pali dan kitab komentar. Usaha ini, sebagian, mirip dengan tradisi Protestan Eropa, yang kembali ke kitab-kitab normatif, dalam hal ini kitab Visuddhimagga abad ke-5 karya Buddhaghosa. Dalam proses ini, tradisi meditasi mengalami devaluasi di kalangan monastik karena studi kitab suci lebih dihargai. Vihara-vihara Thailand dalam ordo Mahānikāya dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan reformasi baru, termasuk metode meditasi yang digunakan dan diajarkan.[10] Pendidikan dalam doktrin Buddhis distandarisasi dan dipusatkan, dan beberapa garis silsilah meditasi lokal seperti Ajahn Mun secara bertahap mati.[11]
Tradisi-tradisi meditasi merespons dengan mereformasi metode mereka, dan mencari dukungan tekstual untuk sistem meditasi mereka dalam kitab suci Buddhis, dalam upaya untuk membangun ortodoksi dan kesintasan. Meditasi menjadi kurang esoteris karena tradisi vihara dan guru-guru lokal mereka beradaptasi dengan tekanan ini untuk praktik meditasi ortodoks yang seragam.[12]
Luang Pu Sodh

Menurut biografi yang diterbitkan oleh vihara-vihara terkait Tradisi Dhammakāya, prinsip-prinsip meditasi Dhammakāya ditemukan kembali oleh Luang Pu Sodh di Wat Botbon, di Provinsi Nonthaburi sekitar antara tahun 1915–1917.[note 2] Tradisi ini dimulai oleh Luang Pu Sodh Candasaro pada awal abad ke-20.[16][17]
Suatu malam, setelah tiga jam bermeditasi dengan mantra sammā arahaṁ,[note 3] "batinnya [tiba-tiba] menjadi diam dan mapan di pusat tubuhnya," dan ia mengalami "bola Dhamma yang terang dan bersinar di pusat tubuhnya, diikuti oleh bola-bola baru, masing-masing 'lebih terang dan lebih jernih'."[18] Menurut Luang Pu Sodh, inilah tubuh-Dhamma yang sejati, atau Dhammakāya, "esensi spiritual dari Buddha dan Nibbāna [yang] ada sebagai realitas harfiah di dalam tubuh manusia,"[18] yang kemudian dikenal sebagai pencapaian Dhammakāya,[14][22] Kebuddhaan abadi di dalam semua makhluk. Dhammakāya adalah Nibbāna, dan Nibbāna disamakan dengan Diri Sejati seseorang (sebagai lawan dari tanpa-diri).[23][note 4]
Asal-usul Yogāvacara
Pendekatan Luang Pu Sodh mungkin berakar pada tradisi Yogāvacara (juga dikenal sebagai Theravāda tantrik atau borān kammaṭṭhāna; bedakan dari subaliran Yogācāra dalam Mahāyāna).[25][26][27] Metode meditasi Dhammakāya berhasil bertahan dari tekanan untuk mereformasi Buddhisme di Thailand modern.[28] Leluhur dari metode ini mungkin terkait dengan sistem meditasi Somdet Suk dan dengan Wat Ratchasittharam, bekas kediaman Saṅgharāja Suk Kaitheun, "pewaris ajaran master meditasi Ayutthaya,"[29][note 5] dan vihara tempat Luang Pu Sodh biasa mempelajari sistem Suk sebelum ia melanjutkan untuk mengembangkan meditasi Dhammakāya.[31][32]
Menurut Mackenzie, gagasan Yogāvacara adalah pengaruh yang paling mungkin pada sistem meditasi Dhammakāya, meskipun ini tidak terbukti secara pasti.[17] Menurut seorang cendekiawan studi Buddhis, Catherine Newell, "tidak ada keraguan bahwa meditasi Dhammakāya didasarkan pada tradisi Yogāvacara yang lebih luas." Dia menyajikan bukti peminjaman sistem Dhammakāya Luang Pu Sodh dari sistem meditasi Somdet Suk.[25] Dia dan cendekiawan studi Asia, Phibul Choompolpaisal, yakin bahwa asal-usul Yogāvacara adalah yang paling mungkin.[25][33] Jika kasusnya begitu, maka metode meditasi tradisi ini menjadi versi eksoteris (diajarkan secara terbuka) dari apa yang awalnya merupakan tradisi esoteris.[34] Cendekiawan Studi Thailand, Barend Jan Terwiel, telah berargumen adanya hubungan antara meditasi Dhammakāya dan praktik meditasi Thailand sejak periode Ayutthaya (1350–1776), dengan bola kristal di pusat tubuh memainkan peran kunci. Dia mendasarkan kesimpulannya pada penggambaran Nirwana dalam manuskrip teks Trai Phum Phra Ruang. Ia yakin bahwa tradisi ini dapat diidentifikasi sebagai Yogāvacara.[35] Choompolpaisal mendaftar sejumlah kesamaan antara meditasi Dhammakāya dan praktik Yogāvacara dari 56 guru meditasi Ayutthaya anonim. Beberapa metode ini berfokus pada titik serupa di tubuh, dan menampilkan objek yang sama yang digunakan dalam visualisasi, yaitu citra Buddha dan bola kristal. Pengalaman meditatif yang mengikuti setelah visualisasi juga serupa sifatnya antara 56 guru dan Dhammakāya. Dalam keduanya, kata-kata bola dhamma (duangtham) dan dhammakāya digunakan untuk menggambarkan beberapa pengalaman tersebut. Akhirnya, para guru Ayutthaya merujuk pada tubuh-tubuh batiniah dalam beberapa teknik mereka, yang memiliki fitur serupa dengan beberapa tubuh batiniah dalam sistem Dhammakāya.[36]
Teori alternatif menunjukkan asal-usul dari Buddhisme Tibet atau bentuk lain dari Buddhisme Mahāyāna.[37][38][39][38] Menurut Mackenzie, teori tersebut mungkin saja benar, tetapi tidak mungkin bahwa seseorang yang mengetahui metode meditasi Tibet bertemu dan berbagi pengetahuan itu dengan Luang Pu Sodh pada awal 1910-an.[17] Ada kesamaan antara kedua sistem meditasi tersebut, kata Mackenzie, serta dengan konsep-konsep yang mirip tetapi tidak sepenuhnya sama dengan chakra (pusat psiko-fisik tantra), "bola kristal", dan Vajra.[17] Meskipun kesamaan ini diterima secara luas, belum ada bukti yang muncul tentang persilangan praktik Buddhis Tibet ke dalam sistem Dhammakāya.[17] Crosby meragukan hubungan tersebut karena kedua sistem menggunakan terminologi yang berbeda.[40]
Selain itu, juga "sangat mungkin" bahwa Luang Pu Sodh mengembangkan pendekatan meditasi Dhammakāya melalui "pengalaman batinnya" sendiri, dalam kata-kata Mackenzie,[41] atau sebagian didasarkan pada tradisi yang lebih tua, dan sebagian lagi didasarkan pada penemuan baru.[25]
Pertumbuhan dan popularisasi

Setelah menemukan metode meditasi Dhammakāya, Luang Pu Sodh Candasaro pertama kali mengajarkannya kepada orang lain di Wat Bangpla, di Provinsi Nakhon Pathom.[42] Luang Pu Sodh diberi posisi pertamanya sebagai kepala wihara di Wat Paknam Bhasicharoen, sebuah vihara yang telah dikaitkan dengan meditasi Dhammakāya sejak saat itu.
Pada tahun 1931, Luang Pu Sodh mendirikan apa yang disebutnya 'lokakarya meditasi' (Thai: โรงงานทำวิชชา, romanized: ronggan tham vicha) dengan praktisi meditasi bermeditasi dalam shift enam jam sepanjang hari.[43] Menurut buku teks salah satu vihara, lokakarya meditasi diperuntukkan bagi praktisi berbakat yang mampu mempraktikkan meditasi Dhammakāya pada tingkat yang lebih tinggi.[43][22][44] Tujuan lokakarya ini adalah menggunakan meditasi untuk mempelajari subjek-subjek tertentu, yang mencakup pemahaman sifat dunia dan alam semesta, "untuk mempelajari kebenaran tentang dunia dan galaksi".[45]
Sejak kemangkatan Luang Pu Sodh pada tahun 1959, meditasi Dhammakāya telah diajarkan oleh murid-muridnya di beberapa vihara besar, termasuk Wat Paknam Bhasicharoen, Wat Phra Dhammakaya di Pathum Thani, Wat Luang Por Sodh Dhammakayaram di Distrik Damnoen Saduak, Provinsi Ratchaburi, dan Wat Rajorasaram di Distrik Bang Khun Thian, Bangkok, serta di pusat-pusat cabang vihara-vihara ini di seluruh dan di luar Thailand.[46][47][48] Dari jumlah tersebut, Wat Phra Dhammakaya dan Wat Luang Por Sodh Dhammakayaram telah menerbitkan buku instruksi tentang meditasi Dhammakāya dalam bahasa Inggris. Keduanya juga menawarkan retret pelatihan untuk umum.[49][48] Metode ini telah menjadi sangat populer di Thailand dan bagian lain di Asia Tenggara,[50] dan telah digambarkan sebagai kebangkitan kembali meditasi samatha (ketenangan) di Thailand.[51]
Metode
Meditasi Dhammakāya mencakup tiga teknik, yaitu konsentrasi pada napas, pengucapan berulang mantra sammā arahaṁ, dan konsentrasi pada objek yang terang.[21] Jenis-jenis praktik, seperti visualisasi atau penggunaan mantra, tidak khas untuk meditasi Dhammakāya,[21] tetapi metode spesifiknya untuk praktik adalah metode yang khas.[21]
Meditasi Dhammakāya memiliki tahap samatha dan vipassanā, seperti tradisi Buddhis lainnya.[52] Proses konsentrasi dalam meditasi Dhammakāya berkorelasi dengan deskripsi meditasi samatha dalam kitab Visuddhimagga, khususnya meditasi kasiṇa.[37][53][54]
Esensial dalam meditasi Dhammakāya adalah "pusat tubuh," yang digambarkan oleh Luang Pu Sodh berada pada titik dua jari di atas pusar setiap orang.[55] Pusat tubuh juga telah digambarkan sebagai "ujung napas", titik di perut tempat napas bolak-balik.[56][57] Menurut tradisi Dhammakāya, batin hanya dapat mencapai tingkat pandangan terang yang lebih tinggi melalui pusat ini dan di sinilah letak Dhammakāya, tubuh-Dhamma. Ia memiliki bentuk seperti Buddha yang duduk di dalam diri seseorang.[55][54] Pusat ini juga diyakini memainkan peran mendasar dalam kelahiran dan kematian seorang individu.[54]
Tahap samatha

Seperti praktik samatha tradisional pada umumnya, langkah pertama meditasi Dhammakāya pada tingkat samatha adalah mengatasi rintangan batin terhadap konsentrasi.[58] Ini memungkinkan meditator untuk fokus dan mengakses pusat meditatif.[58]
Berfokus pada pusat
Ada beberapa teknik yang diajarkan oleh Tradisi Dhammakāya untuk membantu memfokuskan perhatian pada pusat tubuh.[59][60][13] Praktisi memvisualisasikan gambaran mental di pusat tubuh–lazimnya, bola kristal atau citra Buddha yang jernih.[55] Penggunaan bola kristal sebagai bantuan meditasi dalam praktik Dhammakāya telah dibandingkan dengan meditasi pada objek terang (kasiṇa) di Visuddhimagga,[54][21][53] dan bola kristal telah menjadi simbol suci dari tradisi meditasi ini.[61][62] Menurut seorang cendekiawan studi Buddhis, Potprecha Cholvijarn, objek lain untuk mempertahankan fokus di pusat juga dapat digunakan. Misalnya, Wat Phra Dhammakaya telah mengajar orang-orang di Kepulauan Solomon untuk memvisualisasikan kelapa, dan telah mengajar Muslim untuk memvisualisasikan simbol-simbol agama seperti bulan bintang untuk mempertahankan fokus di pusat.[63] Tujuan dari praktik ini, kata Scott, digambarkan sebagai pencapaian samādhi atau keterpusatan pikiran, dengan terungkapnya beberapa bola dan kemudian berbagai tubuh-batiniah, yang pada akhirnya mengungkapkan "diri sejati, batin sejati, Dhammakāya."[64]

Praktisi biasanya mengulang mantra sammā arahaṁ,[65][66] kemudian memvisualisasikan gambaran mental kristal atau cahaya terang, dan kemudian memindahkan gambaran mental itu ke dalam melalui tujuh landasan batin, yaitu:[66]
- lubang hidung (kanan untuk laki-laki, kiri untuk perempuan),
- pangkal hidung (kanan untuk laki-laki, kiri untuk perempuan),
- pusat kepala,
- langit-langit mulut,
- pusat tenggorokan,
- tengah perut setinggi pusar dan
- dua lebar jari di atas titik sebelumnya, sebagai tempat mempertahankan perhatian mereka.
Dalam konteks ini, pusat tubuh sering disebut "landasan ketujuh atau terakhir",[67][68] dan disebut tempat peristirahatan terakhir batin.[66] Meditator terus mengulang mantra sambil mengalihkan fokus ke pusat bola dan lapisan-lapisan bola konsentris di dalamnya.[69][70]
Penggunaan pusat psiko-fisik dalam meditasi Dhammakāya ini mirip dengan chakra dalam praktik tantra Buddhisme Tibet, kata Mackenzie.[71] Namun, simbolisme terperinci yang ditemukan dalam tradisi Tibet tidak ditemukan dalam tradisi Dhammakāya.[71] Dalam tradisi ini, enam landasan pertama memfasilitasi visualisasi, tetapi tidak diperlukan, karena meditator tingkat lanjut dapat langsung memvisualisasikan landasan ketujuh.[71]
Setelah meditator memvisualisasikan pergerakan bola kristal melalui landasan-landasan hingga berhenti di landasan final ketujuh, praktisi membayangkan tubuh sebagai tanpa organ, darah, dan segala sesuatu kecuali bola kristal.[64]
Gambaran bola-bola
Ketika batin terkonsentrasi di pusat tubuh, "Jalan Pertama/Permulaan" (pathama-magga), atau bola dhamma (duangtham), dapat dilihat oleh orang yang bajik, tetapi tidak terlihat oleh orang yang tidak bajik atau mereka yang tidak memiliki kekuatan konsentrasi yang cukup, menurut ajaran Dhammakāya.[70] Penampakan pertama dari "bola kristal terang" ini dianggap sebagai langkah pertama yang penting.[70] Tahap pertama dari jalan ini oleh Luang Pu Sodh disebut 'Jalan Permulaan' (Thai: ปฐมมรรค, romanized: pathommamak).[54] Para guru meditasi menyatakan bahwa dengan keterampilan yang cukup, atau jika ada simpanan jasa yang memadai, meditator melihat jalan ini sebagai "bola yang bersinar".[60] Menurut Tanabe, keadaan ini juga digambarkan sebagai munculnya cahaya terang di pusat tubuh.[72] Menurut Skilton dan Choompolpaisal, praktik ini terkadang mengarah pada keadaan kegembiraan (pīti), atau pengalaman kemerindingan positif seketika atau respons fisik lainnya.[73]
Dari keadaan yang telah disebutkan sebelumnya, muncul bola yang lebih terang, yakni bola sīla (sila, moralitas), diikuti oleh bola samādhi (konsentrasi mental) yang lebih terang dan lebih halus. Menurut Jayamaṅggalo, mantan kepala wihara Wat Luang Phor Sodh Dhammakayaram, ini adalah tahap pertama penyerapan (absorpsi) meditatif (jhāna), sebagai landasan untuk dimulainya meditasi pandangan terang (vipassanā).[70] Selanjutnya, muncul bola paññā (kebijaksanaan, pandangan terang), dan kemudian bola pembebasan (vimutti). Akhirnya, "bola pengetahuan dan visi/penglihatan pembebasan" (vimutti-ñanadassana) muncul – istilah yang biasanya digunakan untuk Kearahatan, menurut ajaran meditasi Dhammakāya.[74]
Tubuh-tubuh batiniah

Ketika praktisi berkonsentrasi lebih jauh pada "bola pengetahuan dan visi/penglihatan pembebasan" (vimutti-ñāṇadassana), serangkaian delapan tubuh batiniah muncul dari bola ini, yang secara berturut-turut lebih halus (paṇīta-manussakāya), dan datang berpasangan, dimulai dengan "bentuk manusia kasar".[75][60][76][note 6] Masing-masing tubuh ini didahului oleh beberapa bola cahaya.[78][75] Delapan tubuh batiniah dimulai dalam bentuk yang identik dengan meditator, tetapi lebih halus.[79][80] Setelah tubuh manusia kasar, muncul "tubuh manusia halus" dan kemudian "tubuh dewa kasar" dan "tubuh dewa halus". Setelah meditator mencapai tubuh dewa halus, ini memberi jalan kepada "tubuh Brahma berbentuk kasar". Ini diikuti oleh "tubuh Brahma berbentuk halus", "tubuh Brahma tak berbentuk kasar", dan "tubuh Brahma tak berbentuk halus". Sekali lagi, seperti tubuh batiniah sebelumnya, tubuh-tubuh ini memiliki bentuk normal dan halus.[81]
Menurut Mackenzie, "Rangkaian [empat] tubuh ini tampaknya secara umum sesuai dengan pengembangan meditatif hingga empat jhāna", melaluinya, dan kemudian empat pencapaian meditatif tanpa bentuk (arūpa-jhāna).[82] Empat pasang tubuh batiniah terakhir disebut Dhammakāya, dan disamakan dengan empat tingkat pencerahan, yang mengarah ke tahap akhir pencerahan (arahat).[80] Di antaranya adalah keadaan Dhammakāya perantara 'peralihan-garis-keturunan' (Pali: gotrabhū).[75][83][note 7] Menurut Newell, mengutip Jayamaṅggalo, keadaan ini adalah tubuh batiniah kesembilan, dan ditandai dengan "lebar pangkuan, tinggi, dan diameter bola [adalah] 9 meter."[80] Ukuran tubuh Dhammakāya meningkat, seiring kemajuan meditator melalui tahap-tahap perantara ini, dari ketinggian dan lebar pangkuan 9 meter atau lebih hingga 40 meter atau lebih.[85] Menurut Harvey, tubuh batiniah yang divisualisasikan dalam ajaran Dhammakāya dikatakan tampak seperti citra-citra Buddha,[note 8] diikuti oleh tubuh-tubuh Orang Mulia/Ariya, diakhiri dengan bentuk Dhammakāya yang bercahaya dari seorang arahat di dalamnya yang memungkinkan pengalaman Nirwana.[86]
| Keadaan meditasi (kāya)[87][82] | Terjemahan[87][82] | Disamakan dengan[79][88] |
|---|---|---|
| Manussakāya | Tubuh manusia kasar | Tubuh fisik meditator |
| Panīta-manussakāya | Tubuh manusia halus | Penyerapan (jhāna) pertama |
| Dibbakāya | Tubuh dewa kasar | Penyerapan (jhāna) kedua |
| Panīta-dibbakāya | Tubuh dewa halus | Penyerapan (jhāna) kedua |
| Rūpabrahmakāya | Tubuh Brahma berbentuk kasar | Penyerapan (jhāna) ketiga |
| Panīta-rūpabrahmakāya | Tubuh Brahma berbentuk halus | Penyerapan (jhāna) ketiga |
| Arūpabrahmakāya | Tubuh Brahma tak berbentuk kasar | Penyerapan (jhāna) keempat |
| Panīta-arūpabrahmakāya | Tubuh Brahma tak berbentuk halus | Penyerapan (jhāna) keempat |
| Dhammakāya-gotrabhū (kasar) | Tubuh-Dhamma Peralihan-garis-keturunan kasar | Istilah tradisional untuk berada di ambang tingkat pencerahan pertama (sotāpanna) |
| Dhammakāya-gotrabhū (halus) | Tubuh-Dhamma Peralihan-garis-keturunan halus | Istilah tradisional untuk berada di ambang tingkat pencerahan pertama (sotāpanna) |
| Dhammakāya-sotāpatti-magga (kasar) | Tubuh-Dhamma Pemasuk-arus kasar | Jalan Pemasuk-arus (sotāpatti-magga) |
| Dhammakāya-sotāpatti-phala (halus) | Tubuh-Dhamma Pemasuk-arus halus | Buah Pemasuk-arus (sotāpatti-phala) |
| Dhammakāya-sakadāgāmi-magga (kasar) | Tubuh-Dhamma Yang-kembali-sekali kasar | Jalan Yang-kembali-sekali (sakadāgāmi-magga) |
| Dhammakāya-sakadāgāmi-phala (halus) | Tubuh-Dhamma Yang-kembali-sekali halus | Buah Yang-kembali-sekali (sakadāgāmi-phala) |
| Dhammakāya-anāgāmi-magga (kasar) | Tubuh-Dhamma Yang-tidak-kembali kasar | Jalan Yang-tidak-kembali (anāgāmi-magga) |
| Dhammakāya-anāgāmi-phala (halus) | Tubuh-Dhamma Yang-tidak-kembali halus | Buah Yang-tidak-kembali (anāgāmi-phala) |
| Dhammakāya-arahatta-magga (kasar) | Tubuh-Dhamma Arahant kasar | Jalan Arahat (arahatta-magga), Nirwana tanpa sisa (anupādisesa-nibbāna) |
| Dhammakāya-arahatta-phala (halus) | Tubuh-Dhamma Arahant halus | Buah Arahat (arahatta-phala), Nirwana tanpa sisa (anupādisesa-nibbāna) |
Tahap vipassanā
Meditasi Dhammakāya dimulai dengan metode samatha (konsentrasi) dengan bola kristal sebagai bantuan untuk memperoleh Dhammakāya, yang diyakini ada di dalam diri setiap orang.[52] Meskipun beberapa cendekiawan Thailand dan tradisi meditasi telah mengkritik meditasi Dhammakāya sebagai metode samatha saja, Cholvijarn menyatakan bahwa Luang Pu Sodh memang menekankan tahap vipassanā (pandangan terang), yang dilakukan dengan merenungkan tiga corak umum (anicca dukkha anattā) dari tubuh-tubuh batiniah duniawi yang lebih rendah.[89] Tahap vipassanā adalah tahapan ketika meditator dapat memperoleh pandangan-terang tentang kebenaran melalui pengamatan proses fisik dan mental mereka sendiri.[52][90] Diyakini mereka dapat memahami kelahiran, kematian, dan penderitaan pada tingkat yang lebih dalam, ketika mereka melihat esensi harfiah dari fenomena-fenomena ini melalui pencapaian meditatif.[91] Pengetahuan yang lebih tinggi dan kebijaksanaan transendental dalam tahap vipassanā adalah "di luar pencapaian Dhammakāya" dari tahap samatha.[92]
Menurut Scott, metode Dhammakāya cenderung menekankan aspek meditasi samatha, daripada meditasi vipassanā.[53] Metode meditasi Dhammakāya kontras dengan tradisi Buddhis lainnya yang menganggap tahap samatha sebagai langkah awal untuk mengembangkan "keterpusatan pikiran" (samādhi), lalu dilanjutkan oleh tahap vipassanā yang "dengan sendirinya membawa meditator ke pembebasan penuh dan akhir (Nibbāna) dalam pandangan Buddhis".[93]
Tradisi vipassanā Wat Mahathat mengklaim bahwa Luang Pu Sodh diduga mengaku kepada para pejabat di Wat Mahathat bahwa ia telah salah menekankan meditasi Dhammakāya karena vipassanā Wat Mahathat adalah metode terbaik.[94][95] Tradisi Dhammakāya menolak klaim ini, menyatakan bahwa Luang Pu Sodh hanya mempelajari metode Wat Mahathat sebagai isyarat niat baik dan tidak pernah membuat pengakuan seperti itu.[95] Cholvijarn menunjuk pada bhikkhuni Voramai Kabilsingh, yang mempelajari dan mengajarkan kedua metode tersebut, sebagai sumber kejelasan objektif atas kontroversi ini. Menurut catatan otobiografinya, bhikkhuni Voramai mempelajari meditasi Dhammakāya dengan Luang Pu Sodh dan telah mencapai dhammakāya. Setelah itu, ia melanjutkan untuk mempelajari metode Wat Mahathat. Setelah menyelesaikan kursus, ia kembali ke Wat Paknam dan memberi tahu Luang Pu Sodh bahwa ia hanya menggunakan tubuh manusia luarnya untuk bermeditasi dengan metode Wat Mahathat, untuk menjaga dhammakāya-nya selama pelatihan. Luang Pu Sodh kemudian memberitahunya untuk menjaga dhammakāya-nya.[96]
Dalam membandingkan meditasi Dhammakāya dengan metode lain yang dipraktikkannya, bhikkhuni Voramai menyatakan bahwa ada empat jenis arahat: satu yang memiliki pembedaan (paṭisambhidā), satu yang memiliki pengetahuan-pengetahuan luhur (abhiññā), satu yang memiliki tiga pengetahuan (tevijjā), dan satu yang memiliki "pandangan-terang kering" (sukkha-vipassanā), yang berarti mereka semua tercerahkan, tetapi tidak memiliki pengetahuan dari tiga yang pertama.[97] Menurut bhikkhuni Voramai, meditasi Dhammakāya dan metode meditasi Buddho yang ia pelajari dari Ajahn Lee memungkinkan seseorang untuk menjadi tiga jenis arahat pertama, sedangkan metode vipassanā yang diajarkan di Wat Mahathat memungkinkan seseorang untuk menjadi tercerahkan dengan cepat, tetapi hanya sebagai arahat "pandangan-terang kering" (sukkha-vipassanā). Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa ini karena dua metode pertama dimulai dengan samatha dan berakhir di vipassanā, yang diperlukan untuk tiga jenis pertama.[98] Cholvijarn membandingkan ini dengan ajaran Ajahn Lee, yang memberikan deskripsi serupa tentang samatha dan vipassanā dalam kaitannya dengan pencerahan.[99]
Puncak meditatif
Praktisi diyakini dapat mencapai pemurnian batin hingga pada akhirnya dapat mencapai Nirwana.[100] Menurut Peter Harvey, dalam ajaran tradisi Dhammakāya, "Nirwana secara kontroversial dipandang sebagai 'Diri' sejati seseorang", dengan ajaran tradisional "tanpa-Diri" (Pali: anattā) ditafsirkan sebagai "melepaskan apa yang bukan Diri, dan menemukan apa yang benar-benar Diri".[86]
Dalam meditasi Dhammakāya, perbedaan dibuat antara "melihat Dhammakāya" dan "menjadi Dhammakāya". Hanya yang terakhir ("menjadi Dhammakāya") yang disamakan dengan pencapaian tingkatan pencerahan pada tingkat yang stabil.[101] Diyakini bahwa semakin jauh praktisi maju melalui tahap-tahap praktik yang berurutan, semakin murni dan halus batin mereka. Menurut Newell, saat meditator mencapai tingkat yang lebih tinggi dari tubuh batiniah Dhammakāya, ia mencapai keadaan akhir dhammakāya-arahatta yang memungkinkannya untuk tercerahkan atau tidak tercerahkan. Mereka yang tercerahkan adalah mereka yang menjadi arahat, sedangkan yang tidak tercerahkan kembali ke keadaan sebelumnya, yakni keadaan sebelum Nirwana tanpa sisa (anupādisesa-nibbāna), dalam sistem meditasi Dhammakāya. Keberhasilan dalam meditasi tingkat tinggi diklaim dapat menciptakan kekuatan adiduniawi seperti kemampuan untuk "mengunjungi surga dan neraka [Buddhis] untuk melihat nasib anggota keluarga yang telah meninggal" dan "mengunjungi Nibbāna (Nirwana) untuk memberikan persembahan kepada Sang Buddha", kata Newell.[80] Menurut Scott, tahap samatha Dhammakāya mencakup "buah dari kekuatan adiduniawi (iddhi) dan pengetahuan tinggi (abhiññā)", sebuah fitur yang umum dalam interpretasi modernis dari Buddhisme lainnya.[93]
Pencapaian Dhammakāya (atau Dhammakāyā secara plural) digambarkan oleh banyak praktisi sebagai keadaan dengan adanya penghentian kekotoran batin (kilesa) dalam pikiran, atau, dalam istilah positif, sebagai kebahagiaan sejati, tertinggi, kekal, sebagaimana dalam "Nirwana adalah kebahagiaan tertinggi" (Pali: nibbānaṁ paramaṁ sukhaṁ).[64] Menurut Scott, "seringnya, pemahaman tentang Nirwana sebagai kebahagiaan tertinggi yang lebih digarisbawahi dalam praktik dhammakāya, alih-alih penggambaran tradisionalnya sebagai penghentian keserakahan, kebencian, dan delusi (lobha dosa moha)", meskipun terkadang kedua deskripsi ini digabungkan. Deskripsi positif tentang Nirwana sebagai keadaan kebahagiaan tertinggi ini mungkin telah berkontribusi pada popularitas Wat Phra Dhammakaya bagi anggota baru, kata Scott.[53] Pandangan tentang Nirwana dalam sistem meditasi Dhammakāya ini kontras dengan deskripsi via negativa (dipandang dari sudut pandang negatif) Theravāda ortodoks tentang Nirwana sebagai "bukan samsara'".[102]
Dhammakāya dianggap sebagai "unsur termurni" dan sifat Buddha yang kekal dan esensial.[64] Unsur termurni ini memiliki bentuk sosok Buddha bercahaya yang duduk di dalam diri seseorang.[23] Menurut Scott, realisasi penuh dari ontologi Dhammakāya telah digambarkan dalam tradisi Dhammakāya sebagai Nirwana.[64] Menurut Newell, Dhammakāya terkadang digambarkan dalam Tradisi Dhammakāya sebagai keadaan yang dicapai lebih mudah dan oleh lebih banyak meditator daripada keadaan Nirwana. Sebuah publikasi Wat Luang Pho Sodh Dhammakayaram menyatakan sehubungan dengan program retret mereka, mengutip Newell, "Hasil masa lalu menunjukkan bahwa setengah dari peserta [retret] dapat melampaui Dhammakaya dan seperempatnya dapat mencapai kunjungan ke Nirwana." Wat Luang Pho Sodh Dhammakayaram telah mengklaim retret meditasi mereka dapat mengarah pada pencapaian Nirwana yang cepat, dengan testimoni yang mengklaim 'mengunjungi Nirwana dalam dua minggu', atau dalam suatu kasus dijelaskan bahwa dapat mencapai Nirwana hanya dalam 'satu minggu'."[103]
Nirwana digambarkan oleh tradisi Dhammakāya sebagai bola (lingkaran) halus, merujuk pada "landasan" (Pali: āyatana).[100][104] "Bola Nirwana" diyakini oleh praktisi Dhammakāya muncul sebagai alam fisik/materi halus tempat "makhluk tercerahkan eksis secara abadi sebagai individu dengan kesadaran diri", kata Harvey, dan dapat diakses oleh arahat dari dalam tubuh mereka sendiri.[86] Dalam beberapa garis silsilah tradisi Dhammakāya, para praktisi secara ritual mempersembahkan makanan kepada makhluk-makhluk tercerahkan ini di Nirwana.[86][105] Cholvijarn berpendapat bahwa ajaran Dhammakāya tentang Nirwana dipengaruhi oleh dua guru meditasi awal Luang Pu Sodh, yang mengajarkan pemahaman serupa tentang Nirwana.[106] Pandangan serupa juga diajarkan oleh Saṅgharāja Thailand abad ke-19, dan juga umum dalam Tradisi Hutan Thailand yang didirikan oleh Ajahn Mun, dengan beberapa siswa terhormat Ajahn Mun memberikan deskripsi serupa tentang Nirwana, kata Cholvijarn.[107] Pandangan semacam itu dapat ditemukan dalam teks-teks borān kammaṭṭhana juga.[108]
Perbedaan antarvihara
Berbagai vihara Dhammakāya memiliki harapan dan penekanan yang berbeda, kata Newell.[109] Sistem meditasi di Wat Paknam diajarkan melalui pendekatan upacara keagamaan; Wat Phra Dhammakaya dan Wat Luang Phor Sodh Dhammakayaram menggunakan pendekatan retret meditasi; Wat Luang Phor Sodh Dhammakayaram menekankan tahap penyerapan (jhāna) yang lebih tinggi untuk mencapai Dhammakāya dalam publikasi mereka, sementara Wat Phra Dhammakaya menekankan pengembangan ketenangan (samatha) dan konsentrasi (samādhi).[110] Beberapa vihara Dhammakāya lebih esoteris dalam pandangannya terkait metode ini daripada yang lain. Misalnya, menurut Mackenzie, para biku Wat Paknam dan Wat Phra Dhammakaya tidak secara terbuka membahas praktik meditasi mereka yang terkait dengan mengalahkan Māra.[34] Wat Luang Phor Sodh Dhammakayaram secara terbuka mendorong meditasi di tingkat yang lebih tinggi, sementara Wat Phra Dhammakaya secara terbuka berfokus pada tingkat dasar, serta mengadaptasi versi teknik yang disederhanakan sesuai dengan usia dan budaya, mengajarkan meditasi tingkat yang lebih tinggi hanya kepada individu terpilih.[63]
Validasi kitabiah
Vihara-vihara dari tradisi ini sebagian besar merujuk pada Mahāsatipaṭṭhāna Sutta (DN 22), Ānāpānasati Sutta (MN 118), dan kitab Visuddhimagga untuk landasan teoretis meditasi Dhammakāya.[111] Menurut Cholvijarn, Luang Pu Sodh menjadikan Mahāsatipaṭṭhāna Sutta dan empat satipaṭṭhāna (landasan perhatian-penuh) sebagai pusat sistem meditasi Dhammakāya, menjadi salah satu master meditasi pertama di masanya yang melakukannya.[112] Menurut Mackenzie, Luang Pu Sodh menafsirkan frasa yang biasanya ditafsirkan sebagai 'merenungkan tubuh sebagai tubuh' sebagai merenungkan tubuh di dalam tubuh.[18] Mahāsatipaṭṭhāna Sutta berisi serangkaian ungkapan untuk merenungkan tubuh sebagai tubuh, perasaan sebagai perasaan, dll. tetapi secara harfiah diterjemahkan dari Pali sebagai "di dalam" bukan "sebagai". Menurut Cholvijarn, Luang Pu Sodh menganggap frasa tersebut memiliki beberapa makna berdasarkan tingkat pemahaman individu. Luang Pu Sodh memang memahami frasa "tubuh di dalam tubuh" sebagai berarti perhatian pada tubuh, tetapi juga memahaminya sebagai memperluas perhatian ke tubuh-tubuh batiniah bagi praktisi yang dapat melihatnya dengan pencapaian meditatif, sebuah interpretasi harfiah dari "di dalam".[113] Pengalaman Luang Pu Sodh juga dipahami dalam biografi sebagai makna yang lebih dalam dari Jalan Tengah (Jalan Mulia Berunsur Delapan), sebuah ajaran yang dijelaskan dalam Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56.11), sebuah diskursus (sutta) Buddhis awal.[114]
Berkenaan dengan Ānāpānasati Sutta, Cholvijarn menunjuk pada khotbah Luang Pu Sodh yang menggambarkan bagaimana praktik perhatian pada napas menenangkan tubuh, ucapan, dan pikiran dalam kaitannya dengan empat satipaṭṭhāna.[115] Jayamaṅggalo menghubungkan fokus meditasi Dhammakāya pada pusat tubuh dengan praktik ānāpānasati (perhatian-penuh pada napas) sesuai dengan Visuddhimagga. Visuddhimagga menginstruksikan meditator untuk mengamati jalannya napas pada satu titik tetap, daripada mengikuti napas masuk dan keluar, yang akan mengagitasi batin. Menurut Jayamaṅggalo, meditasi Dhammakāya mengikuti instruksi ini dengan berfokus pada titik di dekat ujung napas, dengan napas masuk dan keluar dipisahkan di perut.[116] Penggunaan tradisional bola kristal dalam meditasi Dhammakāya untuk mempertahankan fokus di pusat juga telah dibandingkan dengan penggunaan objek terang (kasiṇa) seperti yang dijelaskan dalam Visuddhimagga.[117] Praktik memvisualisasikan objek di ujung napas di perut telah ditemukan di beberapa manual meditasi Thailand kuno juga, kata Cholvijarn.[118]
Penerimaan
Tradisi Dhammakāya percaya bahwa meditasi Dhammakāya adalah metode yang digunakan Sang Buddha untuk mencapai pencerahan, dan bahwa pengetahuan tentang metode itu hilang lima ratus tahun setelah kemangkatan Sang Buddha, tetapi ditemukan kembali oleh Luang Pu Sodh pada tahun 1910-an.[14][119] Menurut Suwanna Satha-Anand, tradisi ini percaya bahwa meditasi dan pencapaian dhammakāya adalah satu-satunya jalan menuju Nirwana.[120]
Metode
Seperti metode meditasi lain yang menekankan samatha, para penentang yang menulis dari sudut pandang modernis telah mengkritik metode ini. Para kritikus ini menunjuk pada penekanan pada perasaan menyenangkan (sukha-vedanā) sebagai lawan dari pandangan terang (vipassanā).[121] Mereka menentang dimensi mistis dari praktik meditasi, mengatakan bahwa kebahagiaan dalam meditasi adalah rintangan untuk pandangan terang. Menurut Scott, pada masa Luang Pu Sodh, metode ini dikritik oleh beberapa orang karena "ekstra-kanonikal" (tambahan di luar Tripitaka Pali yang kanonik),[122] meskipun cendekiawan studi Asia Edwin Zehner menyatakan tidak ada kritik yang meluas.[123] Meditasi dalam kelompok besar, seperti yang umum dalam kegiatan Wat Phra Dhammakaya, kontras dengan penekanan sebagian besar vihara Thailand pada meditasi dalam kesendirian. Vihara ini menekankan pentingnya bermeditasi sebagai kelompok untuk menyeimbangkan negativitas di dunia.[124]
Diskusi di dalam komunitas monastik Thailand mengarah pada inspeksi kontroversial di Wat Paknam, tetapi tidak ada kesalahan yang dapat ditemukan dalam metode Luang Pu Sodh.[22] Cendekiawan agama Donald Swearer menyebut metode meditasi ini "metode meditasi unik yang melibatkan teknik visualisasi yang tidak berbeda dengan yang terkait dengan bentuk-bentuk meditasi yogik atau tantra tertentu, dan mudah diajarkan kepada kelompok besar orang".[125] Mackenzie menyimpulkan bahwa metode meditasi Dhammakāya berada dalam standar Buddhisme Thailand, dan bahwa kritik terhadap metode tersebut sebagian besar berasal dari orang-orang yang tidak menyetujui status terkenal dan praktik penggalangan dana Wat Phra Dhammakaya, daripada ketidaksetujuan yang tulus terhadap metode meditasi itu sendiri.[126]
Interpretasi
Interpretasi tentang Diri Sejati oleh tradisi Dhammakāya telah dikritik oleh beberapa cendekiawan Buddhis Thailand seperti Phra Payutto, dan telah menyebabkan perdebatan sengit di Thailand.[86] Sebagian besar tokoh Buddhisme Theravāda Thailand menolak ajaran Diri Sejati Dhammakāya, dan bersikeras pada tanpa-diri (anattā) absolut sebagai ajaran Buddha yang sebenarnya.[127]
| Kelompok | Pañcakkhandha (lima gugusan) |
Abhidhamma Theravāda | |||
|---|---|---|---|---|---|
| Paramattha-sacca (realitas hakiki) | |||||
| nāma (batin) |
viññāṇakkhandha (gugusan kesadaran) |
89/121 citta (kesadaran) |
81 duniawi 8/40 adiduniawi | ||
| vedanākkhandha (gugusan perasaan) |
52 cetasika (cetasika) |
1 vedanācetasika (cetasika perasaan) | |||
| saññākkhandha (gugusan persepsi) |
1 saññācetasika (cetasika persepsi) | ||||
| saṅkhārakkhandha (gugusan formasi) |
50 lainnya | ||||
| rūpa (rupa) |
rūpakkhandha (gugusan rupa) |
28 rūpa (rupa) |
4 unsur pokok 24 unsur turunan | ||
-
|
Nibbāna (Nirwana) | ||||
| Catatan: | |||||
Para pendukung tradisi ini mengutip beberapa teks Pāli, seperti satu teks yang menyatakan bahwa Nirwana adalah kebahagiaan sejati, dan berpendapat bahwa Diri Sejati adalah kesimpulan logis yang mengikuti dari teks-teks ini. Para pendukung lain merasa bahwa masalahnya lebih merupakan masalah praktik daripada perdebatan.[128][129] Mendiang kepala wihara Wat Luang Por Sodh Dhammakayaram, Luang Por Sermchai, berpendapat bahwa cenderung memanglah para "cendekiawan" yang memegang pandangan tanpa-diri (anattā) absolut, sedangkan, klaimnya, "beberapa biku petapa hutan terkemuka" seperti Luang Pu Sodh, Ajahn Mun, dan Ajahn Maha Bua menganggap Nirwana sebagai Diri Sejati karena mereka telah "mengonfirmasi keberadaan Diri yang Lebih Tinggi atau Nyata (attā)" melalui realisasi mereka sendiri.[130][131] Kendati demikian, tidak ada catatan eksplisit bahwa Ajahn Mun secara khusus menyatakan bahwa "Nirwana adalah atta". Murid utamanya, Ajahn Maha Bua, menyatakan bahwa sifat sejati citta (bukan "Nirwana") adalah 'mutlak murni, pada dasarnya terang dan jernih, tidak tunduk pada hukum-hukum [dari anicca, dukkha, dan anattā], ada secara alami sendirian, dan selamanya independen dari waktu dan ruang'.[note 9]
Kata dhammakāya dalam pengertian ortodoksnya (dalam Tripitaka Pali) umumnya dipahami sebagai istilah kiasan, yang berarti "tubuh" atau keseluruhan ajaran Sang Buddha.[135][136] Gagasan tentang tubuh pencapaian spiritual (dhammakāya) ini memang dapat ditemukan dalam Tripitaka Pali, tetapi digambarkan sebagai "tubuh yang dicapai oleh pikiran" (Pali: manomayakāya), dan tidak terhubung langsung dengan pencapaian Nirwana. Cendekiawan studi Buddhis Chanida Jantrasrisalai, bagaimanapun, berpendapat bahwa istilah itu awalnya lebih terkait dengan proses pencerahan daripada penafsiran sebagai metode-metode yang baru muncul belakangan. Jantrasrisalai menyatakan bahwa "dalam semua referensi ke dhammakāya dalam penggunaan Buddhis awal, tampak bahwa dhammakāya selalu terkait dengan proses pencerahan dalam satu atau lain cara. Hubungannya dengan para mulia dari semua jenis terbukti dalam kitab-kitab Buddhis awal. Dengan kata lain, dhammakāya tidak hanya terbatas pada Sang Buddha saja. Penggunaan istilah ini dalam arti ajaran (Dhamma) juga tampaknya merupakan skema yang muncul belakangan, alih-alih merupakan gagasan umum Buddhis awal sebagaimana dipahami secara umum."[137]
Konsep Dharmakāya telah dikembangkan lebih jauh dalam Buddhisme Mahāyāna,[138] dan interpretasi tradisi Dhammakāya sehubungan dengan Diri Sejati telah dibandingkan dengan gagasan Mahāyāna tentang Benih Kebuddhaan,[86] tetapi gagasan bahwa interpretasi mereka telah dipengaruhi Mahāyāna telah ditolak oleh Tradisi Dhammakāya sendiri.[139]
Pengaruh
Meditasi Dhammakāya juga telah memengaruhi beberapa guru meditasi di luar tradisi Dhammakāya. Cholvijarn menunjuk pada meditasi Dhammakāya sebagai pengaruh beberapa guru terkemuka di Thailand seperti Luang Pho Ruesi Lingdam, bhikkhuni Voramai Kabilsingh, serta mungkin Phra Ariyakhunathan.[140]
Luang Pho Ruesi Lingdam, seorang tokoh yang sangat dihormati di Thailand, belajar meditasi di bawah Luang Pu Sodh dan beberapa master meditasi terkenal pada tahun 1930-an. Setelah belajar meditasi Dhammakāya di Wat Paknam, ia memasukkannya ke dalam praktiknya, dan akhirnya menjadi kepala wihara Wat Tha Sung, yang kemudian menjadi vihara meditasi utama di wilayah tersebut. Luang Pho Ruesi mengajarkan beberapa teknik meditasi, tetapi yang paling populer adalah metode Manomayiddhi, yang dicatat oleh Cholvijarn memiliki beberapa kesamaan dengan meditasi Dhammakāya.[141] Luang Pho Ruesi juga mengakui bahwa Luang Pu Sodh memengaruhi pandangannya tentang Nirwana, yang dulu ia yakini hampa atau kosong. Namun, setelah mempraktikkan Dhammakāya dan bentuk meditasi lainnya, ia kemudian mengubah pandangannya untuk setuju dengan pandangan Luang Pu Sodh.[142]
Bhikkhuni Voramai Kabilsingh, pendiri Vihara Songdhammakalyani dan tokoh awal dalam gerakan penahbisan bhikkhuni di Thailand, memuji meditasi Dhammakāya karena telah memicu minatnya pada praktik dan meditasi Buddhis.[143] Menurut biografinya, Bhikkhuni Voramai menderita fibroid rahim sebagai umat awam, dan sebelum operasi untuk pengangkatannya, diberitahu oleh seorang siswa Luang Pu Sodh bahwa fibroid telah diangkat melalui meditasi. Yang mengejutkan ia dan ahli bedahnya, fibroid itu ternyata benar-benar hilang. Insiden itu membawanya untuk mempelajari meditasi Dhammakāya di Wat Paknam serta beberapa sekolah meditasi lainnya hingga akhirnya ia ditahbiskan..[144] Menurut Cholvijarn, Bhikkhuni Voramai mengajarkan meditasi Dhammakāya bersama dengan beberapa metode meditasi lainnya sampai kemangkatannya, serta mengajarkan konsep dhammakāya dan Nirwana serupa dengan Luang Pu Sodh.[145] Hingga 2008, meditasi Dhammakāya masih diajarkan sebagai salah satu metode meditasi untuk bhikkhuni di Vihara Songdhammakalyani.[146]
Phra Ariyakhunathan, seorang master meditasi terkenal dari Tradisi Hutan Thailand yang bertanggung jawab atas biografi pertama pendiri garis silsilah Ajahn Mun, juga mungkin telah dipengaruhi oleh Luang Pu Sodh.[140] Meskipun Phra Ariyakhunathan tidak mengakui adanya pengaruh tersebut, Cholvijarn mencatat bahwa pada tahun 1950, Phra Ariyakhunathan, yang saat itu adalah seorang biku administratif ordo Dhammayuttika berpangkat tinggi, dikirim untuk menyelidiki perilaku Luang Pu Sodh saat reputasinya di Thailand tumbuh. Setelah pertemuan itu, Phra Ariyakhunathan kembali dengan laporan positif, dan kemudian menerbitkan sebuah buku yang menjelaskan konsep dhammakāya dengan cara yang sama seperti Luang Pu Sodh.[147] Menurut Cholvijarn, pemahamannya tentang dhammakāya kemungkinan berasal dari diskusi dengan master meditasi seperti Luang Pu Sodh dan Ajahn Mun, meskipun Cholvijarn menyatakan bahwa ia juga mungkin mendapatkan gagasan ini dari teks-teks borān kammaṭṭhāna.[148]
Efek meditatif

Praktisi metode ini menyatakan bahwa metode ini mampu mengubah orang menjadi lebih baik, dan memiliki efek positif dalam kehidupan sehari-hari mereka.[121] Meditasi Dhammakāya telah dipromosikan sebagai metode meditasi cepat untuk para profesional dengan sedikit waktu, cukup mudah untuk dipelajari oleh anak-anak, yang mampu "memengaruhi perubahan radikal dalam hidup seseorang jika dipraktikkan secara teratur".[149][150]
Menurut Mackenzie, meditasi Dhammakāya diduga "meningkatkan kemampuan meditator untuk mencapai tujuan, mendapatkan pandangan-terang (vipassanā) tentang sifat sejati segala sesuatu", serta mengembangkan "berbagai kekuatan batin dan penyembuhan".[151] Klaim semacam itu ditemukan dalam tradisi meditasi lain juga, kata Mackenzie.[151]
Meditasi Dhammakāya adalah bentuk praktik spiritual yang "cocok dengan gaya hidup sibuk dan konsumtif". Meskipun metode ini tidak lebih sederhana daripada metode lain, kata Mackenzie, daya tariknya adalah bahwa manfaatnya tampaknya lebih mudah dialami oleh para penganutnya daripada model yang lebih ortodoks.[150] Menurut Mackenzie, praktik meditasi Dhammakāya mencakup meditasi tingkat biasa dan meditasi tingkat tinggi. Manfaat yang diklaim dari meditasi tingkat yang lebih rendah termasuk "pemurnian spiritual, kebijaksanaan, dan kesuksesan", sementara meditasi tingkat tinggi diduga memunculkan berbagai pengetahuan dan kekuatan khusus.[43]
Pengetahuan dan kekuatan adiduniawi
Menurut Newell, meditasi Dhammakāya pada tingkat yang lebih tinggi diyakini oleh para penganutnya dapat memunculkan abhiññā, atau kekuatan batin. Melalui kekuatan tersebut, kata Newell, praktisi percaya bahwa mereka dapat melihat alam-alam yang berbeda di kosmos yang dijelaskan dalam kosmologi Buddhis.[152] Teknik meditasi Dhammakāya diklaim, pada tahap lanjutnya, memungkinkan meditator untuk mengunjungi alam eksistensi alternatif, tempat seseorang dapat memengaruhi keadaannya saat ini.[153] Menurut cendekiawan Studi Thailand Jeffrey Bowers, meditasi tingkat tinggi diyakini menghasilkan berbagai kemampuan supernatural seperti memungkinkan "seseorang untuk mengunjungi kehidupan lampaunya sendiri, atau kehidupan orang lain, menemukan tempat seseorang telah dilahirkan kembali dan mengetahui alasan mengapa orang tersebut dilahirkan kembali di sana, menyembuhkan diri sendiri atau orang lain dari penyakit apa pun, persepsi ekstrasensorik, pengendalian pikiran, dan pencapaian serupa lainnya".[154] Mackenzie menggambarkan kemampuan ini sejalan dengan kekuatan batin (Pali: iddhi) yang diperoleh melalui meditasi yang dirinci dalam Tripitaka Pali.[43]
Contohnya termasuk cerita-cerita yang dikenal di Thailand tentang Luang Pu Sodh melakukan "penyembuhan ajaib" dan mengembangkan berbagai kekuatan supernatural "seperti kemampuan untuk membaca pikiran dan melayang".[155][156][157][158] Kemampuan-kemampuan yang diduga dimiliki Luang Pu Sodh ini dipercaya bahkan oleh orang Thailand yang bukan pengikutnya.[159] Menurut Mackenzie, Wat Paknam adalah tempat perlindungan bom yang populer bagi orang-orang di daerah sekitarnya pada Perang Dunia II karena cerita tentang kemampuan Luang Pu Sodh, dan laporan berita Thailand mencakup beberapa penampakan mae chi (perempuan monastik) dari vihara yang melayang dan mencegat bom selama pengeboman Sekutu di Bangkok.[158][160] Menurut publikasi Dhammakāya, Luang Pu Sodh menyadari bahwa Sekutu berencana untuk menjatuhkan bom atom di Bangkok selama Perang Dunia II karena pendudukan Jepang di Thailand. Dia dan siswa tingkat lanjutnya diduga telah menggunakan meditasi Dhammakāya untuk mengubah pikiran Sekutu dan mencegah serangan itu.[157][161] Menurut Newell, banyak orang Thailand mencoba mengakses kekuatan yang diduga dari meditasi Dhammakāya secara tidak langsung melalui amulet. Seperti banyak vihara, Wat Paknam mengeluarkan amulet untuk mendanai proyek-proyek Buddhis ketika Luang Pu Sodh menjadi kepala wihara. Amulet-amulet ini akhirnya mendapatkan reputasi sebagai "sangat kuat" dan sangat dihargai di Thailand karena alasan ini.[162]
Praktisi juga percaya bahwa meditasi Dhammakāya dapat digunakan untuk memadamkan kekuatan negatif di kosmos (Māra),[86] yang telah sangat memengaruhi sikap praktisi di vihara-vihara tradisi Dhammakāya, yang karenanya berpendapat bahwa meditasi Dhammakāya tidak hanya penting bagi individu, tetapi juga bagi kosmos secara keseluruhan.[67][163][164] Kekuatan semacam itu diyakini dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat luas.[158][152] Menurut para praktisinya, meditasi yang dilaksanan secara berkelompok diyakini lebih kuat dalam mengalahkan Māra.[165] Kaitan teknik meditasi ini dengan dunia supernatural, dan keterampilan kepemimpinan tradisi untuk menavigasinya, juga merupakan dasar bagi ritual "pindapata kepada Sang Buddha di Nirwana" yang dilaksanakan pada hari Minggu pertama setiap bulannya.[166]
Studi ilmiah
Sudsuang, Chentanez, dan Veluvan (1990), yang mempelajari 52 pria yang mempraktikkan meditasi Dhammakāya versus kelompok kontrol 30 pria yang tidak berlatih meditasi, menyimpulkan bahwa meditasi Dhammakāya mengurangi kadar kortisol serum, tekanan darah, denyut nadi, kapasitas vital, volume tidal, ventilasi volunter maksimum, dan waktu reaksi.[167] Pada tingkat psikologis, orang yang secara teratur berlatih meditasi Dhammakāya ditemukan mendapat skor tinggi pada tipe kepribadian ISFJ dari Myers–Briggs Type Indicator, yang dalam skala tersebut didefinisikan sebagai orisinalitas dan dorongan untuk menerapkan ide dan mencapai tujuan.[168]
Lihat juga
Catatan
- ^ Beberapa sumber menyatakan 1884 sebagai tahun lahir.[2][3]
- ^ Terdapat perbedaan waktu terjadinya hal ini. Beberapa cendekiawan mengindikasikan 1915,[13] beberapa lainnya 1916[14] atau 1917.[15]
- ^ Menurut Mackenzie, mantranya bermakna "Pencapaian Mutlak benar yang dapat dicapai manusia".[18] Scott menyatakan bahwa ini merujuk pada "orang yang tercerahkan sepenuhnya", sebuah frasa yang secara tradisional digunakan untuk memuji Sang Buddha. Frasa ini ditemukan dalam lantunan tradisi Theravāda yang umum seperti, "Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammā Sambuddhassa".[19][20] Pelantunan berulang dari mantra "sammā arahaṁ" juga ditemukan dalam praktik meditasi di Thailand Utara.[21]
- ^ Dalam beberapa hal, ajarannya menyerupai ajaran Benih Kebuddhaan dari Buddhisme Mahāyāna. Paul Williams berkomentar bahwa pandangan Buddhisme ini mirip dengan gagasan yang ditemukan dalam ajaran shentong dari aliran Jonang Tibet yang dipopulerkan oleh Dolpopa Sherab Gyaltsen.[24]
- ^ Dinamai berdasarkan biku Thailand dari Kerajaan Ayutthaya. Pengaruh mereka meluas hingga ke Sri Lanka, tempat kebangkitan meditasi Buddhis terjadi pada tahun 1750-an.[30]
- ^ Mackenzie membandingkannya dengan boneka Rusia yang bersarang satu sama lain.[77]
- ^ Ini adalah keadaan peralihan antara belum tercerahkan dan empat tahap pencerahan.[84]
- ^ Newell mengutip Jayamaṅggalo, bahwa ini adalah "seperti patung Buddha berlian, dimahkotai dengan bunga teratai yang sedang mekar".[80]
- ^ Ajahn Maha Bua menulis: "Sifat sejati citta selalu ada; tetapi ia belum pernah menampilkan dirinya dengan cara ini kepada tubuh dan batin yang sadar." (The citta’s true nature always existed; but it had never displayed itself in this manner to the body and the conscious mind.)[132] Beliau kemudian melanjutkan: "Pada dasarnya terang dan jernih, citta selalu siap untuk melakukan kontak dengan segala sesuatu dari segala sifat. Meskipun semua fenomena terkondisi tanpa kecuali diatur oleh tiga hukum universal anicca, dukkha, dan anattā, sifat sejati citta tidak tunduk pada hukum-hukum ini. Citta terkondisi oleh anicca, dukkha, dan anattā hanya karena hal-hal yang tunduk pada hukum-hukum ini datang berputar untuk terlibat dengan citta dan menyebabkannya berputar bersama mereka." (Being intrinsically bright and clear, the citta is always ready to make contact with everything of every nature. Although all conditioned phenomena without exception are governed by the three universal laws of anicca, dukkha, and anattā, the citta’s true nature is not subject to these laws. The citta is conditioned by anicca, dukkha, and anattā only because things that are subject to these laws come spinning in to become involved with the citta and so cause it to spin along with them.)[133] Akhirnya, beliau menjelaskan: "Ketika citta telah dibersihkan sehingga benar-benar murni dan bebas dari semua keterlibatan, barulah kita akan melihat citta yang tanpa rasa takut. Kemudian, baik rasa takut maupun keberanian tidak muncul, hanya sifat sejati citta, yang ada secara alami sendirian, selamanya independen dari waktu dan ruang." (When the citta has been cleansed so that it is absolutely pure and free of all involvement, only then will we see a citta devoid of all fear. Then, neither fear nor courage appear, only the citta’s true nature, existing naturally alone on its own, forever independent of time and space.)[134]
Referensi
- ^ Newell 2008, hlm. 238–9.
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 23.
- ^ Scott 2009, hlm. 52.
- ^ Scott 2009, hlm. 66.
- ^ a b Mackenzie 2007, hlm. 37, 216 dengan catatan 24.
- ^ a b Zehner 1990, hlm. 406 dengan catatan kaki.
- ^ Rhys Davids & Stede 1921, entri untuk Dhamma, Vijjā dan Kāya.
- ^ Dhammachai International Research Institute of Australia and New Zealand. Tham-top kho songsai rueang Thammakai ถาม-ตอบ ขอสงสัยเรื่องธรรมกาย [Answering questions about Dhammakaya]. Vol. 1. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 10 Juni 2021. Diakses tanggal 10 Juni 2021.
- ^ Newell 2008, hlm. 177, 212.
- ^ Newell 2008, hlm. 268.
- ^ Newell 2008, hlm. 212, 227.
- ^ Newell 2008, hlm. 178, 212, 219, 224–8.
- ^ a b Harvey 2013, hlm. 389.
- ^ a b c Newell 2008, hlm. 82.
- ^ Awirutthapanich, Pichit; Pantiya, Punchai (2017). หลักฐาน ธรรมกายในคัมภีร์พุทธโบราณ ฉบับวิชาการ 1 [Dhammakaya Evidence in Ancient Buddhist Books, Academic Version 1]. Songklanakarin Journal of Social Sciences and Humanities. 23 (2). Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 10 Maret 2018. Diakses tanggal 9 Maret 2018.
- ^ Sirikanchana 2010, hlm. 885.
- ^ a b c d e Mackenzie 2007, hlm. 112–113, 224n15.
- ^ a b c d Mackenzie 2007, hlm. 31.
- ^ Scott 2009, hlm. 210 with note 62.
- ^ Newell 2008, hlm. 238 with footnote 10.
- ^ a b c d e Newell 2008, hlm. 238.
- ^ a b c Fuengfusakul 1998, hlm. 24.
- ^ a b Williams 2009, hlm. 126.
- ^ Williams 2009, hlm. 237.
- ^ a b c d Newell 2008, hlm. 256–7.
- ^ Williams 2009, hlm. 327 n.73.
- ^ Crosby 2000, hlm. 141–143, 149–153, 160.
- ^ Newell 2008, hlm. 268-70.
- ^ Crosby 2012, hlm. 121.
- ^ Crosby, Skilton & Gunasena 2012.
- ^ Newell 2008, hlm. 263.
- ^ Crosby, Skilton & Gunasena 2012, hlm. 178 n.1.
- ^ Skilton & Choompolpaisal 2017, hlm. 87 n.10.
- ^ a b Mackenzie 2007, hlm. 95.
- ^ Terwiel 2019, hlm. 12–14.
- ^ Choompolpaisal 2019, hlm. 25–26.
- ^ a b Newell 2008, hlm. 256.
- ^ a b Fuengfusakul 1998, hlm. 90–1.
- ^ Bowers 1996.
- ^ Newell 2008, hlm. 257 with footnote 62.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 113, 224n15.
- ^ Dhammakaya Foundation 1996, hlm. 48.
- ^ a b c d Mackenzie 2007, hlm. 32.
- ^ Dhammakaya Open University 2010, hlm. 139.
- ^ Dhammakaya Open University 2010, hlm. 39, 97.
- ^ "Worldwide Coordination centers". Dhammakaya Foundation. 2016. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 21 Juni 2016. Diakses tanggal 22 Juni 2016.
- ^ Newell 2008, hlm. 117–9, 235.
- ^ a b Schedneck 2016, hlm. 5–6.
- ^ Schedneck 2015.
- ^ McDaniel 2010, hlm. 661.
- ^ Bechert 1994, hlm. 259.
- ^ a b c Tanabe 2016, hlm. 127–8.
- ^ a b c d Scott 2009, hlm. 80.
- ^ a b c d e Fuengfusakul 1998, hlm. 84.
- ^ a b c Tanabe 2016, hlm. 127.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 149, 268, 388.
- ^ Skilton & Choompolpaisal 2015, hlm. 222, n. 51.
- ^ a b Harvey 2013, hlm. 389–390.
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 82–4.
- ^ a b c Zehner 2005, hlm. 2325.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 14.
- ^ Chattinawat 2009, hlm. 57.
- ^ a b Cholvijarn 2019, hlm. 225-226.
- ^ a b c d e Scott 2009, hlm. 79–80.
- ^ Harvey 2013, hlm. 3890.
- ^ a b c Newell 2008, hlm. 238–239.
- ^ a b Hutter 2016.
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 82.
- ^ Newell 2008, hlm. 238–240.
- ^ a b c d Mackenzie 2007, hlm. 102.
- ^ a b c Mackenzie 2007, hlm. 108.
- ^ Tanabe 2016, hlm. 128.
- ^ Skilton & Choompolpaisal 2017, hlm. 94 n.21.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 102-103.
- ^ a b c Mackenzie 2007, hlm. 103.
- ^ Newell 2008, hlm. 83.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 103, 107, 113.
- ^ Newell 2008, hlm. 239.
- ^ a b Fuengfusakul 1998, hlm. 87, Diagram 4.
- ^ a b c d e Newell 2008, hlm. 240–1.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 103, "... seperti halnya tubuh-tubuh sebelumnya, tubuh-tubuh ini memiliki bentuk yang normal dan halus. (... as with the previous bodies, these bodies have both a normal and refined form.)".
- ^ a b c Mackenzie 2007, hlm. 102–3.
- ^ Newell 2008, hlm. 240.
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 85, 87, Diagram 4.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 103–104.
- ^ a b c d e f g Harvey 2013, hlm. 390.
- ^ a b Newell 2008, hlm. 239–41.
- ^ Mongkhonthēpphamunī (Sodh) 2008, hlm. 40–51.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 58-59.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 111.
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 85, 88.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 216 note 24.
- ^ a b Scott 2009, hlm. 81.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 112, 225 note 32.
- ^ a b Cholvijarn 2019, hlm. 201.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 202-203, 202 footnote 194.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 252.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 251-253.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 253-254.
- ^ a b Fuengfusakul 1998, hlm. 85–8.
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 85.
- ^ Scott 2009, hlm. 80b, "Perwujudan penuh dari ontologi tertinggi ini disamakan oleh banyak praktisi dengan pencapaian Nirwana, penghentian keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan delusi (moha), serta pencapaian kebahagiaan tertinggi dan abadi (nibbānaṃ paramaṃ sukhaṃ). " ... "Seseorang mungkin berpendapat bahwa deskripsi Nirwana dalam istilah positif — Nirwana sebagai kebahagiaan tertinggi — alih-alih melalui penafsiran via negativa dari Nirwana — Nirwana itu bukan samsara — mungkin menjadi salah satu alasan keberhasilan besar gerakan ini dalam menarik anggota baru untuk mempraktikkannya. (The full realization of this ultimate ontology is equated by many practitioners with the attainment of nirvāna, the cessation of greed, hatred, and delusion, and the attainment of ultimate and permanent happiness (nibbānaṃ paramaṃ sukhaṃ)." ... "One might argue that the description of nirvana in positive terms — nirvana as supreme happiness — rather than through a via negativa rendering of nirvana — nirvana is not samsara — may be one reason for the enormous success of the movement in drawing new members to its practice.)"
- ^ Newell 2008, hlm. 247.
- ^ Terwiel 2019, hlm. 14.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 313-316.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 65-81.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 85-86, 295-296.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 85-86.
- ^ Newell 2008, hlm. 248.
- ^ Newell 2008, hlm. 238, 246–8.
- ^ Lihat (Schedneck 2015),(Hutter 2016), (Newell 2008, hlm. 249–50), dan (Cholvijarn 2019, hlm. 13).
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 25.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 50-55.
- ^ Dhammakaya Foundation 1996, hlm. 46.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 39-40.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 268-269.
- ^ Lihat (Tanabe 2016, hlm. 127), (Fuengfusakul 1998, hlm. 84), (Newell 2008, hlm. 238), dan (Scott 2009, hlm. 80).
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 135-136, 149.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 76.
- ^ Satha-Anand, Suwanna (1 Januari 1990). "Religious Movements in Contemporary Thailand: Buddhist Struggles for Modern Relevance". Asian Survey. 30 (4): 395–408. doi:10.2307/2644715. JSTOR 2644715.
- ^ a b Scott 2009, hlm. 81–2.
- ^ Scott 2009, hlm. 82.
- ^ Zehner 2005, hlm. 2324.
- ^ Litalien 2010, hlm. 159.
- ^ Swearer 1991, hlm. 660.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 112.
- ^ Seeger 2010, hlm. 71, n.39–40.
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 92–3.
- ^ Chalermsripinyorat, Rungrawee (2002). "Doing the Business of Faith: The Capitalistic Dhammakaya Movement and the Spiritually-thirsty Thai Middle Class" (PDF). Manusya: Journal of Humanities. 5 (1): 14–20. doi:10.1163/26659077-00501002. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 18 September 2016. Diakses tanggal 9 Maret 2018.
- ^ Williams 2009, hlm. 127–8.
- ^ Seeger 2009, hlm. 13 footnote 40.
- ^ Maha Boowa 2005, hlm. 86-87.
- ^ Maha Boowa 2005, hlm. 99.
- ^ Maha Boowa 2005, hlm. 100.
- ^ Reynolds, Frank E. (1977). "The Several Bodies of Buddha: Reflections on a Neglected Aspect of Theravada Tradition". History of Religions. 16 (4): 374–389. doi:10.1086/462774. JSTOR 1062637. S2CID 161166753. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 26 Mei 2021. Diakses tanggal 26 Mei 2021.
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 89.
- ^ Jantrasrisalai, Chanida (2008). Early Buddhist Dhammakaya: Its Philosophical and Soteriological Significance (PDF) (PhD thesis). Sydney: Department of Studies in Religion, University of Sydney. hlm. 288. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 2 November 2018. Diakses tanggal 23 November 2020.
Dalam semua referensi tentang dhammakāya dalam penggunaan Buddhis awal, tampak jelas bahwa dhammakāya selalu dikaitkan dengan proses pencerahan dalam satu atau lain cara. Hubungannya dengan para mulia Buddhis dari semua jenis tampak jelas dalam teks-teks Buddhis awal. Artinya, dhammakāya tidak eksklusif untuk Sang Buddha. Tampaknya juga bahwa penggunaan istilah tersebut dalam arti ajaran merupakan skema yang lebih baru, alih-alih menjadi gagasan umum Buddhis awal sebagaimana dipahami secara umum. (In all references to dhammakāya in early Buddhist usage, it is apparent that dhammakāya is linked always with the process of enlightenment in one way or another. Its relation with the Buddhist noble ones of all types is evident in the early Buddhist texts. That is to say, dhammakāya is not exclusive to the Buddha. It appears also that the term's usage in the sense of teaching is a later schema rather than being the early Buddhist common notions as generally understood.)
- ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 90.
- ^ Williams 2009, hlm. 126–7.
- ^ a b Cholvijarn 2019, hlm. 229-230.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 230-240.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 239-240.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 250.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 250-251.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 251-255.
- ^ Newell 2008, hlm. 246-247.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 242-243.
- ^ Cholvijarn 2019, hlm. 242-247.
- ^ Newell 2008, hlm. 242.
- ^ a b Mackenzie 2007, hlm. 65.
- ^ a b Mackenzie 2007, hlm. 113.
- ^ a b Newell 2008, hlm. 241.
- ^ Zehner 1990, hlm. 406–407.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 32 mengutip Bowers (1996).
- ^ Scott 2009, hlm. 80–1.
- ^ Newell 2008, hlm. 95.
- ^ a b Scott 2009, hlm. 68-69.
- ^ a b c Mackenzie 2007, hlm. 34–5.
- ^ Newell 2008, hlm. 94.
- ^ Scott, Rachelle M. (2016). "Contemporary Thai Buddhism". Dalam Jerryson, Michael (ed.). The Oxford Handbook of Contemporary Buddhism. Oxford University Press. hlm. 203. ISBN 978-0-19-936238-7.
- ^ Cheng & Brown 2015.
- ^ Newell 2008, hlm. 95-96.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 32–3.
- ^ Falk, Monica Lindberg (2007). Making fields of merit: Buddhist female ascetics and gendered orders in Thailand (Edisi 1st). Copenhagen: NIAS Press. hlm. 182. ISBN 978-87-7694-019-5.
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 33–4, Mengutip: "Semakin banyak orang yang bermeditasi pada saat yang sama, semakin kuat pula daya yang dihasilkan. Inilah salah satu alasan mengapa meditasi Dhammakaya biasanya dilakukan secara berkelompok, alih-alih para meditator yang berlatih sendiri-sendiri. (The greater the number of people who are meditating at the same time, the more powerful the resultant force. This is one reason why Dhammakaya meditation is normally conducted in a group rather than meditators practising by themselves.)".
- ^ Mackenzie 2007, hlm. 68–9.
- ^ Sudsuang, Chentanez & Veluvan 1990, hlm. 544.
- ^ Thanissaro 2021, hlm. 594.
Daftar pustaka
- Bechert, H. (1994), "Buddhist Modernism: Present Situation and Current Trends", Buddhism Into the Year 2000, Khlong Luang, Patumthani: Dhammakaya Foundation, ISBN 978-9748920931, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 26 Mei 2021, diakses tanggal 26 Mei 2021
- Bowers, J. (1996), Dhammakaya Meditation in Thai Society, Thai Studies Section Faculty of Arts
- Chattinawat, Nathathai (2009), สถานภาพของแม่ชี: กรณีศึกษาแม่ชีวัดปากน้ําภาษีเจริญ กรุงเทพฯ [Nun's status: A Case Study of Wat Paknam Bhasicharoen] (M.A. thesis) (dalam bahasa Thai), College of Interdisciplinary Studies, Thammasat University, diarsipkan dari asli tanggal 23 Maret 2016
- Cheng, Tun-jen; Brown, Deborah A. (2015), Religious Organizations and Democratization: Case Studies from Contemporary Asia, Routledge, ISBN 978-1-317-46105-0, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 26 Mei 2021, diakses tanggal 26 Mei 2021
- Cholvijarn, P. (2019), The Origins and Development of Sammā Arahaṃ Meditation: From Phra Mongkhon Thepmuni (Sot Candasaro) to Phra Thep Yan Mongkhon (Sermchai Jayamaṅgalo) (PhD thesis), University of Bristol, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 6 Mei 2022, diakses tanggal 9 Juli 2020
- Choompolpaisal, P. (22 Oktober 2019), "Nimitta and Visual Methods in Siamese and Lao Meditation Traditions from the 17th Century to the Present Day", Contemporary Buddhism, 20 (1–2): 152–183, doi:10.1080/14639947.2018.1530836, S2CID 210445830
- Crosby, Kate (2000), "Tantric Theravada: A Bibliographic Essay on the Writings of Francois Bizot and Others on the Yogavacara Tradition", Contemporary Buddhism, I (2)
- Crosby, Kate; Skilton, Andrew; Gunasena, Amal (12 Februari 2012), "The Sutta on Understanding Death in the Transmission of Borān Meditation From Siam to the Kandyan Court", Journal of Indian Philosophy, 40 (2): 177–198, doi:10.1007/s10781-011-9151-y, S2CID 170112821
- Crosby, Kate (2012), Sasson, Vanessa R. (ed.), Little Buddhas: Children and Childhoods in Buddhist Texts and Traditions, Oxford University Press
- Dhammakaya Foundation (1996), The Life & Times of Luang Phaw Wat Paknam, Bangkok: Dhammakaya Foundation, ISBN 978-974-89409-4-6
- Dhammakaya Open University (2010), Exemplary conduct of the principal teachers of Vijja Dhammakaya (PDF), California, USA: Dhammakaya Open University, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 8 Agustus 2016, diakses tanggal 19 April 2016
- Fuengfusakul, Apinya (1998), ศาสนาทัศน์ของชุมชนเมืองสมัยใหม่: ศึกษากรณีวัดพระธรรมกาย [Religious Propensity of Urban Communities: A Case Study of Phra Dhammakaya Temple] (PDF) (PhD thesis) (dalam bahasa Thai), Buddhist Studies Center, Chulalongkorn University, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 28 Februari 2017, diakses tanggal 28 Juli 2017
- Harvey, Peter (2013), An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices, Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-85942-4
- Hutter, M. (2016), "Buddhismus in Thailand und Laos" [Buddhism in Thailand and Laos], dalam Hutter, M.; Loseries, A.; Linder, J. (ed.), Theravāda-Buddhismus und Tibetischer Buddhismus (dalam bahasa Jerman), Kohlhammer, ISBN 978-3-17-028499-9, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 29 Mei 2021, diakses tanggal 26 Mei 2021
- Litalien, Manuel (Januari 2010), Développement social et régime providentiel en thaïlande: La philanthropie religieuse en tant que nouveau capital démocratique [Social development and a providential regime in Thailand: Religious philanthropy as a new form of democratic capital] (PDF) (PhD thesis) (dalam bahasa Prancis), Université du Québec à Montréal, diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 6 Juni 2018, diakses tanggal 14 Maret 2017
- Mackenzie, Rory (2007), New Buddhist Movements in Thailand: Towards an Understanding of Wat Phra Dhammakaya and Santi Asoke, Routledge, ISBN 978-1-134-13262-1
- Maha Boowa (2005), Arahattamagga, Arahattaphala: the Path to Arahantship – A Compilation of Venerable Acariya Maha Boowa's Dhamma Talks about His Path of Practice (PDF), diterjemahkan oleh Bhikkhu Silaratano, Thailand: Silpa Siam Packaging & Printing Co., ISBN 974-93100-1-2, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 27 Maret 2009, diakses tanggal 16 Maret 2009
- McDaniel, J.T. (2010), "Buddhists in Modern Southeast Asia", Religion Compass, 4 (11): 657–668, doi:10.1111/j.1749-8171.2010.00247.x
- Mongkhonthēpphamunī (Sodh), Phra (2008), Visuddhivācā, 60th Dhammachai Education Foundation, ISBN 9789743498152, OCLC 988643495
- Newell, C.S. (2008), Monks, meditation and missing links: continuity, "orthodoxy" and the vijjā dhammakāya in Thai Buddhism (PhD thesis), Department of the Study of Religions, School of Oriental and African Studies, University of London, doi:10.25501/SOAS.00007499, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 18 Maret 2017, diakses tanggal 18 Februari 2018
- Rhys Davids, Thomas W.; Stede, William (1921), The Pali-English Dictionary (Edisi 1st), Chipstead: Pali Text Society, ISBN 978-81-208-1144-7, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 27 Februari 2021, diakses tanggal 20 Februari 2021
- Schedneck, B. (15 Mei 2015), Thailand's International Meditation Centers: Tourism and the Global Commodification of Religious Practices, Routledge, ISBN 978-1-317-44938-6, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 16 Maret 2017, diakses tanggal 20 September 2016
- Schedneck, B. (11 Juli 2016), "Thai Meditation Lineages Abroad: Creating Networks of Exchange", Contemporary Buddhism, 17 (2): 427–438, doi:10.1080/14639947.2016.1205767, S2CID 148501731
- Scott, Rachelle M. (2009), Nirvana for Sale? Buddhism, Wealth, and the Dhammakāya Temple in Contemporary Thailand, Albany: State University of New York Press, ISBN 978-1-4416-2410-9
- Seeger, Martin (2009), "Phra Payutto and Debates 'On the Very Idea of the Pali Canon' in Thai Buddhism", Buddhist Studies Review, 26 (1): 1–31, doi:10.1558/bsrv.v26i1.1
- Seeger, M. (2010), "Theravāda Buddhism and Human Rights, Perspectives from Thai Buddhism" (PDF), Buddhist Approaches to Human Rights, hlm. 63–92, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 29 November 2018
- Sirikanchana, Pataraporn (2010), "Dhammakaya Foundation", dalam Melton, J. Gordon; Baumann, Martin (ed.), Religions of the World: A Comprehensive Encyclopedia of Beliefs and Practices (Edisi 2), ABC-CLIO
- Skilton, A.T.; Choompolpaisal, P. (2015), "The Ancient Meditation System, Boran Kammaṭṭhāna, of Theravāda: Ānāpānasati in Kammatthan Majjima Baeb Lamdub", Buddhist Studies Review, 32 (2): 207–229, doi:10.1558/bsrv.v32i2.28172
- Skilton, A.T.; Choompolpaisal, P. (2017), "The Old Meditation (boran kammatthan), a pre-reform Theravāda meditation system from Wat Ratchasittharam: The piti section of the kammatthan matchima baep lamdap", Aséanie, 33: 83–116, doi:10.3406/asean.2014.2320
- Sudsuang, Ratree; Chentanez, Vilai; Veluvan, Kongdej (16 November 1990), "Effect of buddhist meditation on serum cortisol and total protein levels, blood pressure, pulse rate, lung volume and reaction time", Physiology & Behavior, 50 (3): 543–8, doi:10.1016/0031-9384(91)90543-W, PMID 1801007, S2CID 32580887
- Swearer, Donald K. (1991), "Fundamentalistic Movements in Theravada Buddhism", dalam Marty, M.E.; Appleby, R.S. (ed.), Fundamentalisms Observed, The Fundamentalism Project, vol. 1, Chicago, London: University of Chicago Press, ISBN 978-0-226-50878-8, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 13 Agustus 2021, diakses tanggal 26 Mei 2021
- Tanabe, Shigeharu (2016), "Resistance through Meditation: Hermits of King's Mountain in Northern Thailand", dalam Oscar Salemink (ed.), Scholarship and Engagement in Mainland Southeast Asia: A festschrift in honor of Achan Chayan Vaddhanaphuti, Silkworm Books, ISBN 9786162151187, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 26 Mei 2021, diakses tanggal 26 Mei 2021
- Terwiel, Barend Jan (31 Maret 2019), "The City of Nibbāna in Thai Picture Books of the Three Worlds", Contemporary Buddhism, 20 (1–2): 184–199, doi:10.1080/14639947.2018.1524625, S2CID 151086161
- Thanissaro, P. N. (2021), "Psychological type among Dhammakāya meditators in the West", Mental Health, Religion & Culture, 24 (6): 594–611, doi:10.1080/13674676.2020.1758648
- Williams, Paul (2009), Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations (Edisi 2nd), Taylor & Francis e-Library, ISBN 978-0-203-42847-4
- Zehner, Edwin (1990), "Reform Symbolism of a Thai Middle–Class Sect: The Growth and Appeal of the Thammakai Movement", Journal of Southeast Asian Studies, 21 (2): 402–426, doi:10.1017/S0022463400003301, JSTOR 20071200
- Zehner, Edwin (2005), "Dhammakāya Movement", dalam Jones, Lindsay (ed.), Encyclopedia of Religion, vol. 4 (Edisi 2nd), Farmington Hills: Thomson Gale

