More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

  • العربية
  • Asturianu
  • Batak Toba
  • Banjar
  • Català
  • Deutsch
  • English
  • Español
  • فارسی
  • Français
  • 日本語
  • Jawa
  • ភាសាខ្មែរ
  • Minangkabau
  • Bahasa Melayu
  • Nederlands
  • Română
  • Русский
  • Sunda
  • தமிழ்
  • Українська
  • Tiếng Việt
  • 中文
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Lihat sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Lihat sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Wikimedia Commons
  • Wikisumber
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Proklamasi Kemerdekaan RI)
Artikel ini bukan mengenai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia atau Tujuhbelasan.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia
Soekarno, didampingi oleh Mohammad Hatta (kanan), memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tanggal17 Agustus 1945; 80 tahun lalu (1945-08-17)
Waktu10:00 JST (UTC+9)
TempatRumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, (sekarang Tugu Proklamasi).
LokasiJakarta, Hindia Belanda yang diduduki Jepang → Republik Indonesia
Peserta/Pihak terlibatPenandatangan:
Soekarno
Mohammad Hatta
Dan anggota dari:
PPKI
Peristiwa ini menandai sejarah berdirinya Republik Indonesia dan diperingati sebagai suatu upacara.
Bagian dari seri mengenai
Sejarah Indonesia
Prasejarah
Manusia Jawa 1.000.000 BP
Manusia Flores 94.000–12.000 BP
Bencana alam Toba 75.000 BP
Kebudayaan Buni 400 SM
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Kutai 400–1635
Kerajaan Kalingga 424–782
Tarumanagara 450–900
Kerajaan Melayu 671–1347
Sriwijaya 671–1028
Kerajaan Sunda 662–1579
Kerajaan Galuh 669–1482
Kerajaan Bima 709–1621
Mataram Kuno 716–1016
Kerajaan Bali 914–1908
Kerajaan Kahuripan 1019–1046
Kerajaan Janggala 1042–1135
Kerajaan Kadiri 1042–1222
Kerajaan Singasari 1222–1292
Majapahit 1293–1478
Kerajaan Islam
Lihat: Penyebaran Islam di Nusantara
Kesultanan Peureulak 840–1292
Kerajaan Haru 1225–1613
Kesultanan Ternate 1257–1914
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kesultanan Bone 1300–1905
Kerajaan Kaimana 1309–1963
Kesultanan Gowa 1320–sekarang
Kesultanan Limboto 1330–1863
Kerajaan Pagaruyung 1347–1833
Kesultanan Brunei 1368–1888, sekarang Brunei
Kesultanan Gorontalo 1385–1878
Kesultanan Melaka 1405–1511
Kesultanan Sulu 1405–1851
Kesultanan Cirebon 1445–1677
Kesultanan Demak 1475–1554
Kerajaan Giri 1481–1680
Kesultanan Bolango 1482–1862
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kerajaan Balanipa 1511–sekarang
Kesultanan Banten 1526–1813
Kesultanan Banjar 1526–sekarang
Kerajaan Kalinyamat 1527–1599
Kesultanan Johor 1528–1877
Kesultanan Pajang 1568–1586
Kesultanan Mataram 1586–1755
Kerajaan Fatagar 1600–1963
Kesultanan Jambi 1615–1904
Kesultanan Bima 1620–1958
Kesultanan Palembang 1659–1823
Kesultanan Sumbawa 1674–1958
Kesultanan Kasepuhan 1679–1815
Kesultanan Kanoman 1679–1815
Kesultanan Siak 1723–1945
Kesunanan Surakarta 1745–sekarang
Kesultanan Yogyakarta 1755–sekarang
Kesultanan Kacirebonan 1808–1815
Kesultanan Deli 1814–1946
Kesultanan Lingga 1824–1911
Negara lainnya
Lihat: Kerajaan-kerajaan Kristen di Nusantara
Kerajaan Soya 1200–sekarang
Kerajaan Bolaang Mongondow 1320–1950
Kerajaan Manado 1500–1670
Kerajaan Siau 1510–1956
Kerajaan Larantuka 1515–1962
Kerajaan Sikka
Kerajaan Tagulandang 1570–1942
Kerajaan Manganitu 1600–1944
Republik Lanfang 1777–1884
Kerajaan Lore 1903–sekarang
Kolonialisme Eropa
Portugis 1512–1850
VOC 1602–1800
Jeda kekuasaan Prancis dan Britania 1806–1815
Hindia Belanda 1800–1949
Munculnya Indonesia
Kebangkitan Nasional 1908–1942
Pendudukan Jepang 1942–1945
Revolusi Nasional 1945–1949
Republik Indonesia
Awal Kemerdekaan 1945–1949
Republik Indonesia Serikat 1949–1950
Demokrasi Liberal 1950–1959
Demokrasi Terpimpin 1959–1965
Transisi 1965–1966
Orde Baru 1966–1998
Reformasi 1998–sekarang
Menurut topik
  • Arkeologi
  • Mata uang
  • Ekonomi
  • Militer
Garis waktu
 Portal Indonesia
  • l
  • b
  • s
Rumah Proklamasi lengkap dengan Tugu Proklamasi sekitar tahun 1950-1960 di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi). Rumah Proklamasi kini telah hancur, sementara Tugu Proklamasi masih berdiri di Tugu Proklamasi sekarang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta pada pukul 10:00 Waktu Standar Tokyo hari Jumat, 17 Agustus 1945[a] di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.[1] Pembacaan proklamasi ini menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.[2]

Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta,[3] yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.[4][5]

Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[6] Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya.[7] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.[8] Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[9]

Tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juni 1946.[10]

Latar belakang

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (disingkat BPUPK; Jepang: 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsa-kai), berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat PPKI; Jepang: 独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Iin-kai), untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.[11]

Soekarno dan Hatta selaku pimpinan PPKI serta Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi, pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara dan putra mantan Perdana Menteri Terauchi Masatake. Mereka bertiga dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.[12] Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.[13]

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta, dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI.[11][14] Meskipun demikian, Terauchi menginginkan proklamasi diadakan pada 24 Agustus 1945.[15] Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang.[16] Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.[17] Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak PPKI. Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.[11][18]

Komandan Jepang mendengarkan ketentuan penyerahan diri

Pada tanggal 2 September 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri.[19] Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Namun, kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Achmad Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat dan menjawab bahwa ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari tempat Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI pada pukul 10.00 pagi tanggal 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No. 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.[16]

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10.00 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.[16]

Peristiwa Rengasdengklok

Artikel utama: Peristiwa Rengasdengklok
Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang dijadikan sebagai lokasi "penculikan" Sukarno-Hatta.

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana yang terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Tan Malaka. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) serta Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[20]

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.[21] Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengingat bahwa Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10.00 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda Tadashi untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.[22][23]

Penyusunan naskah

Pada malam hari setelah Peristiwa Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno–Hatta yang diantar oleh Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat "bushido", ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Sukarno–Hatta lantas meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Kediaman Laksamana Tadashi Maeda, lokasi perumusan naskah proklamasi. Sejak 1992, gedung ini dijadikan sebagai museum.[24]

Setelah dari rumah Nishimura, mereka menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No. 1) diiringi oleh Shunkichiro Miyoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.[25] Setelah menyapa Sukarno dan Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Teks proklamasi ditulis di ruang makan laksamana Tadashi Maeda. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Soekarno, Hatta, dan Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M. Diah, Sayuti Melik, Soekarni, dan Soediro.[26][27] Miyoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif.[28] Tentang hal ini, Soekarno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power".[23][25] Hatta, Subardjo, B.M. Diah, Sukarni, Sudiro dan Sayuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima, tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.[29]

Menurut sejarawan Benedict Anderson, kata-kata dan deklarasi proklamasi tersebut harus menyeimbangkan kepentingan kepentingan internal Indonesia dan Jepang yang saling bertentangan pada saat itu.[23] Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung dari pukul dua hingga empat dini hari.[30] Setelah konsep selesai disepakati, Soekarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia,[3] dan Sayuti menyalin dan mengetik naskah tersebut,[31][32] menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[33] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[34] (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 1).

Pembacaan naskah

Soekarno berdoa sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia

Pada pagi hari, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Mohammad Tabrani, dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Setelah itu, Sang Saka Merah Putih, yang telah dijahit oleh Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pengibaran bendera pada 17 Agustus 1945.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera, tetapi ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[34] Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Monumen Nasional.[35]

Tugu Proklamasi di Jalan Proklamasi (dulu Jalan Pegangsaan Timur) tempat dibacakannya Naskah Proklamasi Otentik pada tanggal 17 Agustus 1945

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, tetapi ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[34]

Dikibarkannya bendera Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan Mohammad Hatta terpilih atas usul dari Otto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.[36][37][38]

Isi teks

Artikel utama: Naskah Proklamasi dan Teks Proklamasi
Teks Naskah Proklamasi atau Proklamasi Klad yang ditempatkan di Monumen Nasional

Naskah Proklamasi Klad

Proklamasi Klad adalah naskah asli proklamasi yang merupakan tulisan tangan sendiri oleh Soekarno sebagai pencatat, dan adalah hasil gubahan (karangan) oleh Hatta dan Achmad Soebardjo. Adapun perumus proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia terdiri dari Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima, S. Miyoshi, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo.[39]

Para pemuda yang berada di luar meminta supaya teks proklamasi bunyinya keras. Namun Jepang tak mengizinkan. Beberapa kata yang dituntut adalah "penyerahan", "dikasihkan", diserahkan", atau "merebut". Akhirnya yang dipilih adalah "pemindahan kekuasaan".[39] Setelah dirumuskan dan dibacakan di rumah orang Jepang, isi proklamasi pun disiarkan di radio Jepang.

Berikut isi proklamasi tersebut:

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 - '05
Wakil2 bangsa Indonesia.

Naskah Proklamasi Klad ini ditinggal begitu saja dan bahkan sempat masuk ke tempat sampah di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. B.M. Diah menyelamatkan naskah bersejarah ini dari tempat sampah dan menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari, hingga diserahkan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha pada 29 Mei 1992.[40][41]

Naskah baru setelah mengalami perubahan

Teks Naskah Proklamasi Otentik yang ditempatkan di Monumen Nasional

Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", adalah hasil ketikan Sayuti Melik, seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi, yang isinya adalah sebagai berikut:

P R O K L A M A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.

Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".

Perbedaan teks naskah Proklamasi Klad dan Otentik

Teks Proklamasi yang tercantum pada uang pecahan 100,000 Rupiah.

Di dalam teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan yaitu sebagai berikut:

  • Kata "Proklamasi" diubah menjadi "P R O K L A M A S I",
  • Kata "Hal2" diubah menjadi "Hal-hal",
  • Kata "tempoh" diubah menjadi "tempo",
  • Kata "Djakarta, 17 - 8 - '05" diubah menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05",
  • Kata "Wakil2 bangsa Indonesia" diubah menjadi "Atas nama bangsa Indonesia",
  • Isi naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Sedangkan isi naskah Proklamasi Otentik adalah hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi),
  • Pada naskah Proklamasi Klad memang tidak ditandatangani, sedangkan pada naskah Proklamasi Otentik sudah ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.

Klip suara naskah yang dibacakan oleh Soekarno di studio RRI

Deklarasi kemerdekaan Indonesia 1945

Bermasalah memainkan berkas ini? Lihat bantuan media.

Tempat pembacaan teks naskah Proklamasi Otentik oleh Soekarno untuk pertama kali adalah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 11.30 waktu Nippon. Waktu Nippon adalah patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang kala itu. Namun, perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun video, yang ada hanyalah dokumentasi foto.

Suara asli dari Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang beredar saat ini bukanlah suara yang direkam pada tanggal pada tanggal 17 Agustus 1945, melainkan suara asli Soekarno yang direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI), yang sekarang bertempat di Jalan Medan Merdeka Barat 4–5, Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah Proklamasi oleh Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro.[42]

Pidato Soekarno

Sebelum menyampaikan Proklamasi, Soekarno menyampaikan pidato pembuka yang berisi penjelasan bilamana Indonesia telah merdeka dan bebas dari belenggu penjajahan. Setelah pembacaan pidato pembukaan, Soekarno melanjutkan dengan pembacaan teks Proklamasi. Berikut adalah isi pidato pembukaan Soekarno.

Saudara-saudara sekalian,

Saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjoang, untuk kemerdekaan tanah air kita bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.
Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:
P R O K L A M A S I

Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia,

Soekarno/Hatta.

Penyebaran

Wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas, ditambah dengan hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei di Jakarta (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.[43]

Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.

Tulisan grafiti bertuliskan "Kemerdekaan adalah milik kita (bangsa) Indonesia, Merdeka atau Mati!!".

Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Meskipun menggunakan banyak media dan alat penyebaran, sebelum tahun 2005, pihak Belanda sebagai penjajah Indonesia tak mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (de facto) melainkan tahun 1949 tanggal 27 Desember sebagaimana pengakuan PBB (de jure)[44] sebab mereka berpendapat bahwa pada tahun 1945, kekuasaan di Indonesia diserahkan kepada Sekutu, bukan dibebaskan oleh Jepang. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi:

  • Teuku Mohammad Hassan dari Aceh,
  • Sam Ratulangi dari Sulawesi,
  • Ketut Pudja dari Sunda Kecil (Bali),
  • A.A. Hamidan dari Kalimantan.

Penyebaran foto pembacaan proklamasi

Pada malam 16 Agustus 1945, seorang wartawan Jepang memberi tahu Frans Mendur bahwa besok kemerdekaan akan diumumkan. Pada pagi sebelum fajar, 17 Agustus 1945, Frans Mendur dan Alex Mendur berangkat ke rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, berdua naik mobil, sambil membawa kamera Leica dan beberapa rol film yang diambil dari stok kantor tempat mereka bekerja. Alex saat itu menjadi fotografer kantor berita Jepang, Domei. Sementara adiknya, Frans Mendur, bekerja sebagai fotografer koran Asia Raya. Sesampai di sana, mereka melihat beberapa tokoh dan sekelompok pemuda sudah lebih dulu hadir.

Setelah memotret peristiwa proklamasi, mereka belum bisa segera memublikasikan foto-foto itu karena masih ketatnya pengawasan Jepang. Film negatif Alex disita Jepang, sedangkan Frans berhasil menyembunyikan negatifnya di bawah pohon saat pelaksanaan razia oleh pihak tentara Jepang.

Enam bulan setelah proklamasi, koran Merdeka menerbitkan buku edisi khusus "Nomor Peringatan Enam Bulan Republik" yang terdiri atas 126 halaman pada 17 Februari 1946. Pada edisi itu, dipublikasikan foto pembacaan naskah proklamasi, pengibaran bendera Merah Putih, pidato sejumlah tokoh yang hadir, pembacaan doa oleh Sukarno, serta kedatangan laskar pendukung kemerdekaan.[45]

Sukarno reading the declaration of independence
Sukarno membaca teks proklamasi
Raising the Indonesian flag during the ceremony
Petugas pengibaran bendera
Raising the Indonesian flag in front of the witnesses
Pengibaran sang saka Merah Putih
Soekarno praying during the Proclamation of Indonesian Independence
Sukarno memimpin pembacaan doa
Foto-foto yang diambil oleh Frans Mendur pada 17 Agustus 1945

Peringatan Hari Kemerdekaan

Artikel utama: Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
Pengibaran Bendera Sang Saka Merah Putih pada setiap perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka

Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Upacara militer dilaksanakan di Istana Merdeka. Sementara itu, beragam perlombaan dihadirkan seperti lomba panjat pinang dan makan kerupuk. Seluruh masyarakat ikut berpartisipasi dengan caranya masing-masing.

Peringatan detik-detik proklamasi

Lihat pula: Hormat bendera

Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Upacara dimulai sekitar pukul 10.00 WIB untuk memperingati awal upacara Proklamasi tahun 1945. Seremoni peringatan biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional Indonesia. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Indonesia), pembacaan naskah Proklamasi, dan lain sebagainya. Pada sore hari sekira pukul 17.00 terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.

Kewajiban mengibarkan bendera

Artikel utama: Bendera Indonesia § Peraturan tentang Bendera Merah Putih

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan Pasal 7 ayat (3) mengatur tentang kewajiban mengibarkan bendera Merah Putih bagi setiap warga negara yang memiliki hak penggunaan rumah, gedung kantor, satuan pendidikan, transportasi publik dan transportasi pribadi di wilayah Indonesia, serta kantor perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri pada tanggal 17 Agustus.[46]

Lihat pula

  • Hari Kemerdekaan Indonesia
  • Periode menjelang Kemerdekaan RI
  • Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
  • Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
  • Teks Proklamasi
  • Naskah Proklamasi

Referensi

  1. ^ Gouda 2002, hlm. 119.
  2. ^ Gouda, Frances (2002). American visions of the Netherlands East Indies/Indonesia: US foreign policy and Indonesian nationalism,1920-1949. Amsterdam: Amsterdam University Press. hlm. 36.
  3. ^ a b Anderson, Benedict (2006). Java in a time of revolution: occupation and resistance,1944-1946. Indonesia: Equinox Publishing. hlm. 83.
  4. ^ "Indonesia Proclamation Hero : Mr.Soekarno". 7 Desember 2011.
  5. ^ Anderson, Benedict (2006). Java in a time of revolution: occupation and resistance,1944-1946. Indonesia: Equinox Publishing. hlm. 88.
  6. ^ "Dutch govt expresses regrets over killings in RI". Jakarta Post. 18 Agustus 2005. Diarsipkan dari asli tanggal 7 Juni 2011. Diakses tanggal 23 November 2008.
  7. ^ "ECLI:NL:RBSGR:2011:BS8793, voorheen LJN BS8793, BY9458, Rechtbank 's-Gravenhage, 354119 / HA ZA 09-4171". 14 September 2011.
  8. ^ "Indonesië wil erkenning onafhankelijkheidsdag" (dalam bahasa Belanda). Nederlandse Omroep Stichting. 8 September 2013. Diakses tanggal 15 September 2013.
  9. ^ "The United Nations and Decolonization - Trust and Non-Self-Governing Territories (1945-1999)". United Nations.
  10. ^ Osman 1953, hlm. 621-622.
  11. ^ a b c Kahin 1952, hlm. 127.
  12. ^ Friend, Theodore (2014). The blue-eyed enemy: Japan against the West in Java and Luzon, 1942-1945. New Jersey: Princeton University Press. hlm. 84.
  13. ^ Friend, Theodore (2014). The blue-eyed enemy: Japan against the West in Java and Luzon, 1942-1945. New Jersey: Princeton University Press. hlm. 81.
  14. ^ Ricklefs 2008, hlm. 339-341.
  15. ^ Sluimers, Laszlo (1996). "The Japanese military and Indonesian independence". Journal of Southeast Asian Studies. 27 (1): 34.
  16. ^ a b c Inomata 1952, hlm. 108.
  17. ^ Ricklefs, M.C. (2008) [1981]. A History of Modern Indonesia Since c.1300 (Edisi 4th). London: MacMillan. hlm. 336. ISBN 978-0-230-54685-1.
  18. ^ Ricklefs 2008, hlm. 342.
  19. ^ Feith, Herbert (2006). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Singapore: Equinox Publishing. hlm. 7–8.
  20. ^ Abdurrahman, Muhammad Iman (16 Agustus 2017). "16 Agustus: Menelisik Memori Bersejarah Peristiwa Rengasdengklok". Selasar.com. Diarsipkan dari asli tanggal 2019-08-17. Diakses tanggal 17 Agustus 2019.
  21. ^ Her Suganda (2009). Rengasdengklok - Revolusi dan Peristiwa. Jakarta: Kompas. hlm. 92–96. ISBN 9787977094355. Diakses tanggal 26 Mei 2013.
  22. ^ Isnaeni, Hendri F. (16 Agustus 2015). "Begini Naskah Proklamasi Dirumuskan". historia.id. Diakses tanggal 13 Januari 2019.
  23. ^ a b c Anderson, Benedict (2006). Java in a time of revolution: occupation and resistance,1944-1946. Indonesia: Equinox Publishing. hlm. 82.
  24. ^ "Museum Perumusan Naskah Proklamasi Indonesia". www.museumindonesia.com. Museum Indonesia. 2009. Diakses tanggal 17 Agustus 2019.
  25. ^ a b Ricklefs, M.C. (2008) [1981]. A History of Modern Indonesia Since c.1300 (Edisi 4). London: MacMillan. hlm. 342. ISBN 978-0-230-54685-1.
  26. ^ Anderson, Benedict (2006). Java in a time of revolution: occupation and resistance,1944-1946. Indonesia: Equinox Publishing. hlm. 71.
  27. ^ Gouda, Frances (2002). American visions of the Netherlands East Indies/Indonesia: US foreign policy and Indonesian nationalism,1920-1949. Amsterdam: Amsterdam University Press. hlm. 45.
  28. ^ Nishijima, "The Nationalist in Java, 1943-1945," dalam Reid & Oki, eds. The Japanese Experience in Indonesia hlm. 262.
  29. ^ Touwen-Bouwsma, E. (1996). "The Indonesian Nationalists and the Japanese "Liberation" of Indonesia: Visions and Reactions". Journal of Southeast Asian Studies, 27(1), hlm. 1-18.
  30. ^ Gouda, Frances (2002). American visions of the Netherlands East Indies/Indonesia: US foreign policy and Indonesian nationalism,1920-1949. Amsterdam: Amsterdam University Press. hlm. 119.
  31. ^ "Former governor Ali Sadikin, freedom fighter SK Trimurti die". Jakarta Post. 21 Mei 2008. Diakses tanggal 7 Juni 2008.
  32. ^ Yuliastuti, Dian (21 Mei 2008). "Freedom Fighter SK Trimurti Dies". Tempo Interactive. Diarsipkan dari asli tanggal 27 September 2011. Diakses tanggal 7 Juni 2008.
  33. ^ Zahorka, H. Sejarah dari Tugu Peringatan Pahlawan Jerman di Arca Domas, Indonesia[pranala nonaktif permanen].
  34. ^ a b c Vickers, Adrian (2013). A history of modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. hlm. 2.
  35. ^ Anwar, Ali, ed. (26 Juli 2017). "Bendera Pusaka Disimpan dalam Kaca Antipeluru di Monas". Tempo.co. Diakses tanggal 17 Agustus 2019.
  36. ^ Ricklefs 1991, hlm. 213.
  37. ^ Taylor 2003, hlm. 325.
  38. ^ Reid 1974, hlm. 30.
  39. ^ a b Basyral Hamidy Harahap, Harian KOMPAS edisi 16 Agustus 2001
  40. ^ Fitrian, Herry (16 Agustus 2014). "Fakta Tentang Naskah Proklamasi Republik Indonesia - Media Online Kaltara".
  41. ^ "isbn:9793210052 - Google Search". www.google.com.
  42. ^ Pratama, Sandy Indra (17 Agustus 2015). "Cerita Jusuf dan Terbakarnya Jas Milik Soekarno". CNN Indonesia. Diakses tanggal 17 Agustus 2019.
  43. ^ Anderson, Benedict (2006). Java in a time of revolution: occupation and resistance,1944-1946. Indonesia: Equinox Publishing. hlm. 84.
  44. ^ pengakuan PBB (de jure)
  45. ^ Iwan Setiyawan (19 Agustus 2025) "Cerita di Balik Foto-foto Ikonis Zaman Kemerdekaan" Kompas. hal 13
  46. ^ "Merah Putih Wajib Dikibarkan Di Setiap Rumah pada Hari Kemerdekaan". hukumonline.com. 16 Agustus 2014.
  1. ^ setara dengan tahun 2605 zaman Kōki atau tahun 20 zaman Shōwa

Bacaan lebih lanjut

  • Anderson, Benedict (1961). Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese occupation, 1944–1945. Cornell University. Dept. of Far Eastern Studies. Modern Indonesia Project. Interim reports series. Ithaca, N.Y.: Cornell University.
  • Anderson, Benedict (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. ISBN 0-8014-0687-0.
  • Elson, R. E. (2009). "Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945" (PDF). Indonesia. 88 (88): 105–130.
  • Feith, Herbert (2006) [1962]. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Singapore: Equinox Publishing. ISBN 978-9793780450.
  • Friend, Theodore (2014). The blue-eyed enemy: Japan against the West in Java and Luzon, 1942–1945. New Jersey: Princeton University Press.
  • Gouda, Frances (2002). American visions of the Netherlands East Indies/Indonesia: US foreign policy and Indonesian nationalism, 1920–1949. Amsterdam: Amsterdam University Press.
  • Poulgrain, Greg (20 August 2015). "Intriguing days ahead of independence". The Jakarta Post. Diakses tanggal 24 September 2020.
  • Homan, Gerlof D (1990). "The Netherlands, the United States and the Indonesian Question, 1948". Journal of Contemporary History. 25 (1): 124. doi:10.1177/002200949002500106. S2CID 159928062.
  • Kahin, George McTurnan (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.
  • Kahin, George McT. (2000). "Sukarno's Proclamation of Indonesian Independence" (PDF). Indonesia. 69 (69): 1–3. doi:10.2307/3351273. hdl:1813/54189. ISSN 0019-7289. JSTOR 3351273.
  • Mela Arnani (17 August 2020), "Kapan Soekarno Rekaman Suara Pembacaan Teks Proklamasi Indonesia?" [When did Soekarno record the Reading of the Indonesian Proclamation Text?], Kompas, Jakarta, diakses tanggal 27 September 2020
  • Pamungkas, M. Fazil (2019-08-17). "Lima Hal Menarik Seputar Malam Perumusan Naskah Proklamasi". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2024-07-04.
  • Post, Peter; Frederick, William H.; Heidebrink, Iris; Sato, Shigeru, ed. (2010). The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War. Brill. ISBN 978-90-04-16866 4.
  • Prastiwi, Devira (2019). "Nani Wartabone dan Proklamasi Kemerdekaan 23 Januari 1942". Liputan6.com. Diakses tanggal 16 March 2021.
  • Raliby, Osman (1953). Documenta Historica: Sedjarah Dokumenter Dari Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bulain-Bintag.
  • Reid, Anthony (1974). The Indonesian National Revolution 1945–1950. Melbourne: Longman. ISBN 0-582-71046-4.
  • Ricklefs, M.C. (2008) [1981]. A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (Edisi 4th). London: MacMillan. ISBN 978-0-230-54685-1.
  • Vickers, Adrian (2013). A history of modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. hlm. 84. ISBN 978-1139447614.

Pranala luar

Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Sukarno dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
  • (Indonesia) Mitos dan Realitas Menjelang Proklamasi
  • (Inggris) Proklamasi @ YouTube.com
  • (Inggris) Pengakuan PBB terhadap kemerdekaan negara-negara berdaulat
  • l
  • b
  • s
Topik Indonesia
Sejarah Nusantara
(pra-Indonesia)
  • Garis waktu
  • Prasejarah
  • Kerajaan Hindu-Buddha
  • Kerajaan Islam
  • Kerajaan Kristen
  • Era kolonial Portugis
  • Era VOC
  • Era Hindia Belanda
  • Era pendudukan Jepang
Sejarah Indonesia
  • Sejarah nama
  • Proklamasi
  • Era transisi
    • Revolusi nasional
    • KMB
    • Pengakuan Belanda
  • Era RIS
  • Era demokrasi liberal
    • Dekret Presiden 5 Juli 1959
    • Pemilihan Umum 1955
  • Era demokrasi terpimpin
    • Politik Mercusuar
    • Trikora
    • Konfrontasi ke Malaysia
    • G30S
  • Era orde baru
    • Supersemar
    • Pendudukan di Timor Timur
    • Gerakan 1998
  • Era reformasi
    • Referendum Timor Timur
Geografi
  • Air terjun
  • Bendungan dan waduk
  • Danau
  • Pegunungan
    • Gunung berapi
  • Pulau dan kepulauan
    • menurut provinsi
    • abjad A-L
    • M-Z
  • Perairan
    • Laut
    • Pantai
    • Selat
    • Sungai
    • Teluk
  • Tanjung
  • Tempat
  • Titik-titik garis pangkal
  • Wilayah
Politik dan
pemerintahan
  • Ibu kota negara
  • Lembaga negara
  • Pemerintah
  • Presiden
    • Kementerian
  • MPR
    • DPR
    • DPD
  • Kekuasaan kehakiman
    • MA
    • MK
    • KY
  • BPK
  • Perwakilan di luar negeri
  • Kepolisian
  • Militer
  • Administratif (Provinsi
  • Kabupaten/kota
  • Kecamatan dan kelurahan/desa)
  • Hubungan luar negeri
  • Hukum
  • Undang-undang
  • Pemilu
  • Partai politik
  • Kewarganegaraan
Ekonomi
  • APBN
  • APBD
  • Bank
  • Pasar modal
    • IDX
    • JFX
  • Pariwisata
  • Pertanian dan perkebunan
  • Perusahaan
    • BUMN
  • Sains dan teknologi
  • Transportasi
    • Penerbangan
    • Perkeretaapian
Demografi
  • Suku bangsa
  • Bahasa nasional
  • Bahasa daerah
  • Agama
  • Nama orang
  • Tokoh
  • Kesehatan
    • Kesehatan hewan
    • Pelayanan kesehatan
  • Pendidikan
  • Olahraga
Budaya
  • Seni
    • Film
    • Tari
    • Sastra
    • Musik
    • Lagu
    • Teater
    • Bela diri
  • Masakan
  • Mitologi
  • Permainan tradisional
  • Busana daerah
  • Arsitektur
    • Bandar udara
    • Pelabuhan
    • Stasiun kereta api
    • Terminal
    • Pembangkit listrik
  • Warisan Budaya
    • UNESCO
    • Wayang
    • Batik
    • Keris
    • Angklung
    • Tari Saman
    • Noken
Simbol
  • Sang Saka Merah Putih
  • Garuda Pancasila
  • Ibu Pertiwi
  • Nusantara
Flora dan fauna
  • Fauna Indonesia
    • Binatang endemik
    • Identitas nasional dan regional
  • Flora Indonesia
    • Tumbuhan endemik
    • Identitas nasional dan regional
  • Burung
    • endemik
  • Ikan
  • Cagar alam
  • Suaka margasatwa
  • Taman nasional
  • Terumbu karang
Lainnya
  • Media
  • Telekomunikasi
    • Internet
    • Permainan video
  • Penyiaran
    • Televisi
      • Terestrial
      • Berlangganan
    • Radio
  • Tanda kehormatan
  • Kode pos
  • Kode telepon
  • Kode kendaraan
  • Hari penting
Outline Garis besar • Portal Portal
  • l
  • b
  • s
Hari raya di Indonesia
Nasional
  • Kelahiran Pancasila
  • Kemerdekaan Indonesia
  • Sumpah Pemuda
Tahun baru
  • Masehi (1 Januari)
  • Imlek
  • Saka (Nyepi)
  • Waisak
  • Hijriyah (1 Muharram)
  • Jawa (1 Sura)
Keagamaan
  • Galungan
  • Iduladha
  • Idulfitri
  • Isra Mikraj
  • Jumat Agung
  • Kenaikan Yesus
  • Kuningan
  • Maulid Nabi Muhammad
  • Natal
  • Paskah
  • Saraswati
  • l
  • b
  • s
Sejarah Indonesia
Periode
  • Orde Lama
  • Orde Baru
  • Era Reformasi
Kolonialisme
  • Kedatangan Portugis-Spanyol (1512–1850)
  • Kedatangan Belanda (1602-1800)
  • Penjajahan Belanda (VOC) (1800–1942)
Nasionalisme
  • Kebangkitan Nasional (1899–1942)
  • Hari Patriotik 23 Januari 1942 - Proklamasi Gorontalo (1942)
  • Pendudukan Jepang (1942–1945) (di Sumatera Barat)
1945–1965
  • Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
  • Revolusi nasional (1945–1949)
    • Pertempuran Surabaya 10 November 1945
    • Periode "Bersiap" (1945–1947)
    • Agresi Militer Belanda I 1947
    • Agresi Militer Belanda II 1948
    • Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (1948–1949)
  • Orde Lama (1950–1959)
    • Pemberontakan Darul Islam
    • Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
    • Dekret Presiden 5 Juli 1959
    • Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
    • Konfrontasi Indonesia-Malaysia
    • Konflik Papua dan Operasi Trikora
    • Gerakan 30 September
  • Transisi ke Orde Baru (1965–1966)
    • Pembantaian di Indonesia 1965-1966
    • Tritura
    • Supersemar 11 Maret 1966
1966–1998
  • Orde Baru
  • Operasi Seroja dan Integrasi Timor Timur
  • Pemberontakan di Aceh
  • Operasi Jaring Merah
  • Peristiwa 27 Juli
  • Tragedi Trisakti
  • Gerakan mahasiswa Indonesia 1998
  • Pendudukan Gedung DPR/MPR
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Kejatuhan Soeharto
1998–sekarang
  • Era Reformasi
  • Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
  • Perjanjian damai dengan Aceh
Lihat pula: Garis waktu sejarah Indonesia · Sejarah Nusantara
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Proklamasi_Kemerdekaan_Indonesia&oldid=27772713"
Kategori:
  • Sejarah Indonesia
  • Indonesia dalam tahun 1945
  • Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Kategori tersembunyi:
  • Halaman dengan argumen ganda di pemanggilan templat
  • Galat CS1: parameter tidak didukung
  • CS1 sumber berbahasa Belanda (nl)
  • Artikel dengan pranala luar nonaktif
  • Artikel dengan pranala luar nonaktif April 2021
  • Artikel dengan pranala luar nonaktif permanen
  • Artikel mengandung aksara Jepang
  • Articles with hAudio microformats
  • Pages using multiple image with auto scaled images
  • Pages using multiple image with manual scaled images

Best Rank
More Recommended Articles