Suku Bali Aga
ᬩᬮᬶᬅᬕ (Bali Aga) ᬩᬮᬶᬫᬸᬮ (Bali Mula) | |
---|---|
![]() Seorang suku Bali Aga/Bali Mula muda mengenakan gaun tradisional mereka (Geringsing) | |
Jumlah populasi | |
63.000 (![]() | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Bali (Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng, dan Kabupaten Karangasem) | |
Bahasa | |
Bali (dialek Bali Aga) dan Indonesia | |
Agama | |
Kebanyakan Hindu (bentuk Hinduisme rakyat) | |
Kelompok etnik terkait | |
Bali (Suku Bali Nusa • Bali Majapahit), Suku Sasak, Suku Bayan, Suku Sunda, Suku Jawa |
Suku Bali Aga atau Bali Mula adalah suku bangsa di Indonesia yang dianggap sebagai penduduk asli dari pulau Bali. Dari sisi linguistik mereka adalah orang Austronesia. Saat ini, sebagian besar dari mereka mendiami bagian timur pulau Bali, terutama di Bangli, Buleleng, dan Karangasem. Mereka juga dapat ditemukan di wilayah barat laut dan tengah. Masyarakat Bali Aga yang disebut sebagai Bali Pergunungan adalah mereka yang bertempat tinggal di desa Trunyan. Bagi masyarakat Terunyan, istilah Bali Aga (Bali Pegunungan) dianggap sebagai penghinaan dengan tambahan arti "orang gunung yang bodoh"; oleh karena itu, mereka lebih memilih istilah Bali Mula (secara harfiah 'penduduk asli Bali') sebagai gantinya.[2]

Masyarakat Bali Aga/Bali Mula masih mempertahankan kepercayaan lama mereka yang disebut Hindu rakyat yang memiliki sedikit perbedaan dengan Hindu masyarakat Bali pada umumnya salah satunya adalah tidak melakukan upacara Ngaben, yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Bali adalah membakar jenazah orang yang telah meninggal, sedangkan masyarakat Bali Aga/Bali Mula membiarkan jenazah tergeletak di tanah di atas pohon yang mereka sebut Taru Menyan hingga jenazah tersebut hanya tinggal tulang belulang, masyarakat Bali Aga/Bali Mula percaya bahwa jenazah tidak berbau busuk karena diletakan di sekitar pohon Taru Menyan, Hal ini merupakan salah satu tradisi masyarakat Bali Aga/Bali Mula di desa Trunyan dan telah menjadi fenomena yang unik.
Asal-usul
Penduduk asli Bali konon berasal dari desa Bedulu jauh sebelum gelombang imigrasi orang Hindu-Jawa. Dalam legenda itu, hiduplah raja terakhir Pejeng (kerajaan Bali kuno), Sri Aji Asura Bumibanten, yang mempunyai kesaktian.[3] Dia bisa memotong kepalanya tanpa merasakan sakit dan memasangnya kembali. Namun suatu hari, kepalanya secara tidak sengaja jatuh ke sungai dan hanyut. Salah satu pelayannya panik dan memutuskan untuk segera memenggal kepala seekor babi dan mengganti kepala raja dengan kepala hewan tersebut. Karena malu, raja bersembunyi di sebuah menara tinggi, menolak pengunjung. Seorang anak kecil menemukan rahasianya dan sejak itu, rajanya dikenal sebagai Dalem Bedulu, atau secara harfiah 'dia yang berubah kepala'. Penjelasan lainnya adalah bahwa nama tersebut berasal dari Badahulu atau "desa di hulu".[4] Setelah Kerajaan Pejeng, kemudian Kerajaan Majapahit berkuasa.
Jumlah, lokasi
sunting Inventarisasi desa Bali Aga oleh Dinas Pekerjaan Umum pada tahun 1988-1989 mencatat sekitar 38 desa adat di tujuh kabupaten. Namun, penelitian yang diterbitkan pada tahun 2015 menemukan 62 desa Bali Aga yang tersebar di tujuh kabupaten.[5] Di antara ketujuh kabupaten ini, Kabupaten Bangli memiliki jumlah desa Bali Aga terbanyak: 25 desa - termasuk enam desa di Kecamatan Bangli, Susut[6], dan Tembuku[7]. Kecamatan Kintamani mencakup sekitar 19 desa Bali Aga, yang tersebar di kaki Gunung Batur, di sepanjang Danau Batur, dan di lembah-lembah.[8] Desa Bali Agan 25 di Kabupaten Bangli: Bayung Gede, Kedisan, Songan A, Songan B, Trunyan, Bahan, Sekardadi, Abangbatudinding, Suter, Satra, Sukawana, Catur, Belantih, Blandingan, Pinggan, Batur Utara, Batur Selatan, Batur Tengah, Kintamani, Pengotan, Katubihi, Palaktiying (Landih), Penglipuran, Pengiangan dan Yangapi; 12 di Kabupaten Karangasem: Bungaya, Asak, Timbrah, Tenganan, Bugbug, Ngis, Kesimpar, Sibetan, Ababi, Seraya, Perasi dan Padang Kerta); 14 di Kabupaten Buleleng: Sidatapa, Tigawasa, Pedawa, Cempaga, Banyuseri, Gobleg, Julah, Sembiran (lihat prasasti lempeng tembaga Bali), Sudaji, Les, Penuktukan, Sambirenteng, Pacung 1, Pakung 2 dan Bulian; 3 di Kabupaten Gianyar: Taro, Sebatu, Camenggawon dan Celuk; 2 di Kabupaten Klungkung: Tihingan dan Nyalian; 2 di Kabupaten Badung: Sulangai dan Pelaga; 3 di Kabupaten Tabanan: Tengkudak, Wongaya Gede dan Jatiluwih.[9]
Budaya


Suku Bali Aga tinggal di daerah terpencil di pegunungan. Dibandingkan dengan masyarakat dataran rendah Bali, isolasi relatif mereka mempertahankan beberapa unsur asli Austronesia, terlihat jelas dalam arsitektur Bali Aga. Wisatawan yang ingin mengunjungi desa tertentu harus berhati-hati karena kondisi geografis daerah tersebut. Saat berkunjung, penting juga untuk menghormati dan diam-diam mengamati cara hidup Bali Aga yang dilestarikan.[5]
Di Tenganan, di mana pariwisata lebih mudah diterima dan masyarakatnya dikatakan lebih ramah, festival tiga hari yang disebut usaba sambah diadakan selama bulan Juni atau Juli. Tenganan melarang perceraian dan poligami, berbeda dengan desa lainnya.[6]
B. Hauser-Schäublin menunjukkan bahwa 20 prasasti lempeng tembaga Sembiran menunjukkan bahwa desa Sembiran dan Julah, beserta budaya dan masyarakatnya, telah mengalami transformasi pesat antara abad ke-10 dan ke-12; dan tidak dapat dikatakan bahwa keduanya tetap sama sejak zaman pra-Hindu. Ia mencatat bahwa desa-desa ini sangat dipengaruhi oleh pengaruh luar, karena letaknya yang dekat dengan laut dan oleh karena itu merupakan jalur perdagangan antara India dan Tiongkok serta Kepulauan Rempah, yang menyentuh wilayah utara Bali.[12]: 12 Bajak laut merupakan ancaman yang terus-menerus hingga kedatangan Belanda, wabah seperti kolera juga sering terjadi. Imigran Muslim juga meninggalkan jejak.[13] Penggalian arkeologi di dekat pantai antara Julah, Bangkah, dan Sembiran menunjukkan bahwa pedagang India telah melakukan perjalanan hingga ke Bali setidaknya sejak 2000 tahun yang lalu dan dapat diasumsikan bahwa perdagangan tersebut terus berlanjut hingga abad ke-10, dengan Julah sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan.[14]
Akhir-akhir ini terjadi perubahan sosial-ekonomi yang drastis dan budaya kuno ini dengan cepat menghilang akibat pariwisata dan modernisasi.[15] Misalnya, hingga saat ini, mencari tumbuhan liar dan semi-liar, terutama di kawasan hutan, membawa lebih banyak keragaman pada pola makan dan peningkatan pendapatan dengan menjual beberapa tumbuhan di pasar tradisional.[16] Tumbuhan yang dapat dimakan ini masih menjadi sumber pangan utama di daerah pedesaan, tetapi pemanfaatannya semakin terabaikan, dan pengetahuan masyarakat adat tentang pemanfaatan tumbuhan semakin terkikis - yang terakhir ini terbukti menjadi salah satu ancaman utama bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati.[17]
Bahasa
Bali Aga adalah masyarakat multibahasa yang mayoritas berbicara bahasa ibu mereka (dialek Bali Aga). Namun minoritas juga bisa berbicara bahasa Bali standar karena mereka dikelilingi oleh penutur bahasa Bali standar, tetapi dialeknya sedikit berbeda dengan bahasa Bali pada umumnya. Bahasa ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan bervariasi dari desa ke desa; versi yang diucapkan di desa Tenganan berbeda dengan di desa Terunyan. Masyarakat Bali Aga juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung dengan etnis lainnya. Bahasa Kawi juga digunakan untuk ritual keagamaan.
Kerajinan tangan
Bagian penting dari budaya Bali Aga adalah teknik kompleks ikat celup yang digunakan untuk membuat geringsing, sebuah kain ikat tradisional Bali. Tenganan merupakan satu-satunya desa di Bali yang saat ini masih memproduksi geringsing.[7]
Dalam geringsing, baik benang lusi maupun benang pakan kapas dicelup secara hati-hati dan dicelup silang sebelum ditenun; pola akhir hanya muncul saat kain ditenun. Menurut pakar tekstil John Guy, asal-usul geringsing tradisional Bali masih belum jelas, meskipun beberapa kain menunjukkan pengaruh yang jelas dari patola,[8] ikat ganda sutra yang diproduksi di Gujarat selama puncak perdagangan rempah-rempah (abad ke-16 hingga ke-17). Banyak dari kain impor ini kemudian menjadi inspirasi bagi tekstil buatan lokal, tetapi salah satu teorinya adalah bahwa kain buatan Bali diekspor ke India dan disalin di sana untuk diproduksi ke pasar Asia. Banyak di antaranya memiliki motif Hindu yang unik seperti mandala dari pandangan mata burung dengan pusat suci tempat segala sesuatu terpancar. Lainnya menampilkan desain yang jelas-jelas terinspirasi oleh patola, misalnya desain yang dikenal sebagai bunga kamboja (jepun).[9] Palet geringsing biasanya berwarna merah, netral, dan hitam. Geringsing dianggap sebagai kain suci, memiliki sifat supernatural, terutama untuk membantu dalam bentuk penyembuhan, termasuk pengusiran setan.[9] Secara etimologi, gering 'mati' dan sing 'tidak'.
Di Sukawana (Kabupaten Bangli), sebuah prasasti bertanggal 883 M ditemukan di Gunung Kintamani, yang mencantumkan pekerjaan pewarnaan nila (mangnila) dan pewarnaan mengkudu (mamangkudu) sebagai pekerjaan yang dibebaskan dari pajak.[21] Produksi pewarna nila secara tradisional dilarang di beberapa tempat di Indonesia Timur. Salah satu tempat tersebut adalah Desa Wunga di Tanjung Sasar di Sumba Timur bagian utara, yang dianggap sebagai tempat asal-usul mitos orang Sumba dan oleh karena itu merupakan tempat orang mati diantar kembali oleh leluhur mereka. Di Wunga, kain diwarnai dengan lumpur dengan merendamnya terlebih dahulu dalam bak air panas berisi kulit kayu dan daun yang kaya tanin, diikuti dengan perendaman dalam lumpur stagnan yang kaya akan garam besi.[22] Nila melambangkan suatu bentuk reinkarnasi, sedangkan lumpur hitam "melambangkan tahap pembusukan orang yang telah meninggal saat ia melanjutkan perjalanannya ke alam baka".[23] Desa Tenganan Pegringsingan (Kabupaten Karangasem) mengambil sikap yang lebih ekstrem dalam hal ini: nila dianggap najis dan sepenuhnya dilarang. Oleh karena itu, tahap pertama pewarnaan nila diserahkan kepada desa tetangga, Bugbug.[24]
Lihat juga
Referensi
- ^ "Highland Bali Baliaga in Indonesia". joshuaproject.net (dalam bahasa Inggris). Joshua Project.
- ^ James Danandjaja (1989). Kebudayaan petani desa Trunyan di Bali: lukisan analitis yang menghubungkan praktek pengasuhan anak orang Trunyan dengan latar belakang etnografisnya. Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 1. ISBN 97-945-6034-0.
- ^ Mischa Loose (2012). Bali, Lombok. DuMont Reiseverlag. ISBN 978-37-701-6713-5.
- ^ "Bedulu village". Diarsipkan dari asli tanggal 2009-01-08.
- ^ Sigit Wahyu (3 January 2015). Ni Luh Made Pertiwi F (ed.). "Menjaga "Geopark" Kaldera Danau Batur". Kompas. Diakses tanggal 2016-11-14.
- ^ "Different cultural insights in Bali's Tenganan village". The Jakarta Post. 10 November 2016. Diakses tanggal 2016-11-19.
- ^ Ryan Ver Berkmoes, Adam Skolnick & Marian Carroll (2009), Bali & Lombok, Lonely Planet, hlm. 67, ISBN 978-174-2203-13-3
- ^ Guy, John, Indian Textiles in the East, Thames & Hudson, 2009, p. 13
- ^ a b Guy, p. 96.
Pranala luar
- http://www.bali-indonesia.com/culture/bali-aga.html
- http://www.indo.com/featured_article/bali_aga.html
- https://web.archive.org/web/20080622035053/http://blog.baliwww.com/guides/280/
Panduan perjalanan Candidasa di Wikiwisata