Bahasa Madura Situbondo
| Bahasa Madura Situbondo
Bhâsa Madhurâ Situbânḍâ | |||||||
|---|---|---|---|---|---|---|---|
| Dituturkan di | Indonesia | ||||||
| Wilayah | Situbondo | ||||||
| Etnis | Madura (Pendalungan) | ||||||
Penutur | 675.000 (2017)[1] | ||||||
| |||||||
| Dialek | Besuki Situbondo Kota | ||||||
| Latin | |||||||
| Kode bahasa | |||||||
| ISO 639-3 | – | ||||||
| Glottolog | Tidak ada | ||||||
| Lokasi penuturan | |||||||
Peta bahasa Madura Situbondo berdasarkan penggunaan dialek. | |||||||
|
Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
| |||||||
Bahasa Madura Situbondo adalah dialek bahasa Madura yang digunakan terutama di Kabupaten Situbondo yang terletak di kawasan Tapal Kuda, Jawa Timur. Dialek ini sangat erat hubungannya dengan dialek Sumenep yang dituturkan di wilayah paling timur Pulau Madura.[2] Situbondo, tempat bahasa ini digunakan, meskipun terpisah dari Pulau Madura, sebagian besar atau hampir seluruh penduduknya adalah orang Madura, terutama yang bermigrasi dari Sumenep. Orang Madura memang mendominasi di semua tempat di sana, hal ini terlihat dari fakta bahwa di semua kecamatan di sana bahasa yang dominan adalah bahasa Madura.[3]
Penutur bahasa Madura Situbondo cenderung mampu berbicara bahasa Indonesia, setidaknya secara pasif. Berbeda dengan bahasa Madura, dalam bahasa Indonesia tidak ada konjugasi rangkap.[4] Penutur bahasa Madura Situbondo memiliki ciri khas tersendiri ketika berbicara dalam bahasa Indonesia, dalam hal ini intonasi turut terbawa. Misalnya pada kalimat "ketika [sayya] pulang dari pasar, [ber-papasan] dengan kalian"[a], dapat terlihat ciri khas nada suara ketika menggunakan bahasa Madura, yang juga terbawa ketika berbicara bahasa Indonesia.[5]
Sejarah
Menarik untuk melihat fakta bahwa bahasa Madura merupakan bahasa yang dominan di Situbondo, yang terpisah oleh laut dari tanah asal mereka di Pulau Madura.[6] Sebuah penelitian yang berjudul "Mapping Cultural Region of Java" (Hatley, 1984) yang dilakukan oleh seorang sosiolog asal Australia menyebutkan bahwa wilayah Tapal Kuda merupakan tanah kedua bagi orang Madura. Masyarakat Madura yang mendiami wilayah ini cukup besar jumlahnya, meskipun secara identitas budaya dan sejarah mereka masih harus dibedakan dengan masyarakat Madura di Pulau Madura.[7]

Menurut Zoebazary (2017), terbentuknya jati diri masyarakat Pendalungan tidaklah terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui beberapa tahapan yang berlapis-lapis. Secara umum tahapan tersebut dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu periode pra-perkebunan, periode perkebunan, dan periode kontemporer (pasca-perkebunan).[7]
- Pada periode pertama terjadi interaksi antara penduduk lokal Jawa dengan pendatang Madura dalam transaksi perdagangan.
- Pada periode kedua, interaksi mereka mulai melibatkan asosiasi pemilik perkebunan, di mana saat itu pemerintah kolonial Belanda memainkan peran penting.
- Kemudian pada tahap berikutnya mereka mulai berinteraksi berdasarkan penggunaan lahan untuk mata pencaharian lainnya, serta beberapa bercocok tanam, beternak, dan tinggal di pesisir.

Pada tahun 1806, terdapat desa-desa Madura di wilayah timur Jawa, yaitu 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Probolinggo, 22 desa di Puger (Jember), dan 1 desa di Panarukan. Pada tahun 1846, jumlah penduduk Madura di wilayah timur Jawa diperkirakan mencapai 498.273 jiwa, sedangkan di Surabaya, Gresik, dan Sedayu sekitar 240.000 jiwa. Jumlah total suku Madura di Jawa dan Madura adalah 1.055.915. Pola migrasi selanjutnya tidak diketahui secara luas. Namun sebuah laporan dari Sumenep pada tahun 1857 mencatat bahwa setiap tahun pemerintah setempat melaporkan bahwa 20.000 orang meminta izin untuk meninggalkan pulau tersebut, dan jumlah tersebut tidak termasuk orang yang pergi tanpa meminta izin. Sementara itu, untuk mengisi daerah-daerah kosong akibat perang dan penaklukan, Sultan Agung mengirimkan 40.000 orang Madura untuk bekerja di Gresik.[8]
Khususnya di wilayah Tapal Kuda bagian timur, pada waktu itu dikenal istilah Pendalungan Timur yang meliputi wilayah Bondowoso dan Situbondo. Sumber lain menyebutkan, sejarah hubungan masyarakat Jawa dan Madura sudah berlangsung lama, yakni sebelum abad ke-19.[9] Kitab Pararaton menceritakan tentang seorang Demang Nayapati di Singasari bernama Banyak Wide, dengan gelar Aria Wiraraja, yang tidak disukai oleh istana Singasari sehingga ia dijauhkan dan menjadi adipati di Sumenep (Songeneb). Peristiwa ini terjadi setelah Raja Wisnuwardhana meninggal dunia dan jabatannya sebagai raja digantikan oleh putranya, yaitu Kertanegara. Selanjutnya Aria Wiraraja bersama-sama dengan masyarakat Madura membantu Raden Wijaya membangun desa Majapahit di Hutan Tarik yang kemudian menjadi kerajaan besar di kawasan Asia Tenggara.[7]
Beberapa prasasti, seperti Prasasti Mulamalurung (1255), Prasasti Kudadu (11 September 1294), dan Prasasti Sukamerta (29 Oktober 1295), menyebutkan peristiwa penting terkait evakuasi Raden Wijaya ke Madura, lalu menemui Aria Wiraraja di kawasan perbatasan Sumenep. Aria Wiraraja berpesan agar Raden Wijaya kembali ke Jawa, berpura-pura patuh, tunduk, memohon ampun, dan mengabdi pada Jayakatwang, kalau dia dipercaya, hendaknya minta diberikan Hutan Tarik, lalu dirikan desa di sana.[10]
Masyarakat Madura melakukan penebangan hutan untuk membangun desa. Jumlah masyarakat Madura yang terlibat dalam proses ini tentu tidak sedikit. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pada akhirnya banyak masyarakat Madura yang menyebar dan bermukim di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur. Beberapa wilayah pesisir utara Jawa Timur dihuni oleh suku Madura, mulai dari pesisir Gresik, Surabaya, Bangil, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, hingga Banyuwangi. Bahkan di beberapa daerah pesisir selatan seperti Jember, Lumajang, dan Malang, suku Madura juga bermukim di sana. Seiring berjalannya waktu mereka mulai terintegrasi dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitar mereka, dan mampu bertahan hidup dengan beradaptasi pada mata pencaharian yang sesuai dengan konstruksi alam yang ada, dan bertahan hingga saat ini.[11]
Masyarakat Madura di Pulau Madura menemukan lingkungan yang sudah mereka kenal di pesisir Jawa, seolah-olah Selat Madura merupakan teluk bagi wilayah budaya Madura. Sepanjang tahun terjadi lalu lintas barang dan orang yang sangat sibuk antara kota-kota pesisir dan desa-desa di kedua pulau tersebut. Biasanya para pendatang ini berangkat ke daerah yang berseberangan dengan kabupatennya di Madura. Jadi arus migrasi dari Bangkalan terutama menuju ke Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, dan Bojonegoro. Para migran dari Sampang terutama menuju ke Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang, sedangkan para migran dari Sumenep dan Pamekasan sebagian besar menuju ke Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.[12]
Klasifikasi

Bahasa Madura tidak hanya dituturkan di Pulau Madura. Di Pulau Jawa, bahasa Madura dituturkan di kawasan Tapal Kuda di bagian timur Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Situbondo dan Bondowoso. Di kedua kabupaten tersebut, bahasa Madura bukanlah bahasa kedua, melainkan bahasa pertama bagi sebagian besar penuturnya. Hal ini berbeda dengan kabupaten-kabupaten lain di wilayah ini yang kondisi bahasanya bercampur, bahkan tumpang tindih dengan bahasa Jawa. Bahkan dalam situasi formal maupun semiformal, bahasa Madura digunakan sebagai bahasa pengantar di kedua kabupaten tersebut.[13]
Meskipun situasi bahasa di Kabupaten Situbondo dan Bondowoso homogen, namun variasi kebahasaan dalam bahasa Madura masih terjadi. Hal ini dapat dilihat dari pembagian dialek berdasarkan wilayah di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Situbondo, padahal dalam hal ini masyarakat Situbondo dan Bondowoso merupakan pengguna dialek yang sama, yakni dialek Madura Timur. Dalam hal ini khususnya Situbondo, menurut penutur bahasa Madura di Situbondo, bagian barat Situbondo dekat Panarukan dan Besuki hingga perbatasan Probolinggo merupakan dialek Madura Barat. Sedangkan Situbondo bagian timur, mulai dari Situbondo Kota hingga perbatasan dengan Banyuwangi dekat Banyuputih, merupakan dialek Madura Timur.[13]
Pembagian wilayah bahasa di Situbondo berdasarkan penuturnya didasarkan pada beberapa variasi leksikal dan fonologis yang dianggap khas dialek Madura Timur dan Madura Barat. Kata [bǝɁǝn] 'kamu' dan [bɘɁna] 'kamu' merupakan contoh variasi fonologis yang digunakan sebagai penanda antara dialek Madura Timur dan Madura Barat.[13] Dari segi intonasi, dialek Besuki mempunyai kemiripan dengan dialek Sampang–Bangkalan, tidak jauh berbeda dari segi intonasinya. Setidaknya di Besuki, 45% penduduknya berasal atau lahir di Madura, seperti dari Sampang, Sumenep, Kangean, Sapudi, dan beberapa daerah di Madura.[5]
Penggunaan
Bahasa Madura Situbondo digunakan dalam situasi formal dan semiformal. Kehidupan sehari-harinya tidak dapat dipisahkan dari bahasa Madura, meski hanya sekadar penyisipan kosakata khas Madura.[13] Selain itu, bahasa Madura Situbondo sebagai identitas budaya pemakainya juga telah menginspirasi lahirnya berbagai kesenian, seperti cerita rakyat,[14] serta lagu-lagu dangdut khas Situbondo.[15]
"Lagu dangdut Madhurâ rowa khas Situbondo, asalla ?âri Al Badar, jhâ'rowa ngarang-ngarang bâkto è tangghâ'ân. E Madhurâ dhibhi' ta?â' dangdut Madhurâ lambâ', sé bâ?â kéjhungan bi' gambusan. Barometer-nya dangdut Madhurâ itu ya Situbondo, Madhurâ rowa akaca ?â'enna'. Arapa saya ngoca' nga' itu, Madhurâ itu banyak macemma ya, logatta kan ta' sama ya, sé kita itu sé bhâgus".
Terjemahan bahasa Indonesia: "Lagu dangdut Madura khas Situbondo ini berawal dari drama Al Badar yang diciptakan pada saat pentas. Di Madura (asli) belum ada dangdut Madura, yang ada adalah kejhungan dan musik gambus. Barometer dangdut Madura adalah Situbondo, Madura tercermin di sini. Mengapa saya katakan demikian? Bahasa Madura memiliki banyak ragam, dan aksen mereka pun berbeda, tetapi bahasa kamilah yang terbaik."
Berkembang dalam tradisi lisan, bahasa Madura Situbondo juga digunakan dalam tradisi mamaca (mamacah), salah satu kesenian tradisional masyarakat Pulau Madura yang kemudian berkembang ke wilayah Pendalungan, termasuk Situbondo. Istilah mamaca berasal dari bahasa Madura yang berarti 'membaca' dan memiliki arti dekat dengan istilah macapat dalam bahasa Jawa. Adapun kegiatan ini dilakukan dengan membaca teks berupa puisi atau cerita dengan cara menyanyikannya dalam bentuk lagu (tembhang) dan diinterpretasikan (tegghes) dalam bahasa Madura. Teks yang dibaca ditulis menggunakan aksara Arab-Melayu dengan bahasa Madura, ada pula yang ditulis menggunakan aksara Pegon dengan bahasa Jawa Kromo ('bahasa halus').[16]
Pada tahun 2017, jumlah penduduk Situbondo sekitar 675.000 jiwa dengan mayoritas penduduknya berbahasa Madura.[17] Diketahui bahwa nama-nama tempat di kawasan Tapal Kuda (termasuk Situbondo) yang mayoritas penduduknya orang Madura, pada mulanya menggunakan bahasa Jawa. Namun, pada saat ini, masyarakat kawasan Tapal Kuda sudah didominasi oleh suku Madura dan menjadi masyarakat Pendalungan (campuran suku Jawa dan Madura), sehingga terjadi perubahan nama-nama tempat tersebut.[18] Bahkan ketika masyarakat Pendalungan menggunakan bahasa Indonesia, mereka masih dipengaruhi oleh afiksasi atau penambahan dari tata bahasa Madura. Selain contoh-contoh tersebut, terdapat pula beberapa contoh lain yang berkaitan dengan diaspora bahasa berupa percampuran kosakata bahasa Jawa atau Indonesia dengan bahasa Madura.[19]
Dialek
Bahasa Madura Situbondo juga terbagi menjadi dua dialek berdasarkan letak geografis, intonasi, dan perbedaan sapaan kosakata, yaitu dialek Besuki yang dituturkan di bagian barat dan dialek Situbondo Kota yang dituturkan di bagian timur. Perbedaan antara kedua dialek ini juga berdasarkan intonasi, dalam dialek Besuki, aksen bicaranya ditandai dengan penggunaan koma sebagai cara memberi penekanan pada kata, seperti pada contoh kata be'en 'kamu', sedangkan dalam dialek Situbondo Kota digunakan kata bekna 'kamu', juga dengan intonasi yang lebih rendah.[20] Di Panarukan yang merupakan zona batas antara dialek wilayah barat dan timur, dimana wilayah baratnya lebih dekat dengan dialek Besuki, sedangkan wilayah timurnya lebih dekat dengan dialek Situbondo Kota. Jadi dapat dikatakan bahwa kondisi kebahasaannya lebih beragam.[21]
Bahasa Madura digunakan di wilayah pesisir timur laut Jawa Timur, seperti Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi memiliki persamaan dan beberapa perbedaan dialek dalam penggunaan sehari-hari. Selain itu, ciri morfofonemik penggunaan dialek Madura di ketiga kabupaten tersebut juga sebagian besar sama.[22] Bahasa Madura Situbondo disebut-sebut berbeda dengan bahasa Madura Probolinggo ataupun bahasa Madura Banyuwangi, hal ini disebabkan oleh perbedaan wilayah administrasi.[23]
Kosakata
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahasa Madura Situbondo memiliki banyak kemiripan kosakata dengan bahasa Madura Probolinggo dan bahasa Madura Banyuwangi, berikut perbandingannya.[24]
| Glosa | Madura | ||
|---|---|---|---|
| Situbondo | Probolinggo | Banyuwangi | |
| bakar | obbhâr | tonoh | obbhâr |
| baring | tèdung | ghentang | ghentang |
| gosok | osso | ngosso | osso |
| hisap | ngenyot | nyerghuk | serghuk |
| hitung | bitong | bitong | bitong |
| ikat | talèh | nalè'èh | talè'èn |
| jatuh | labu | gegger | gegger |
| lempar | ontal | sèmpat | kentor |
| nafas | nyabâ | nyabâ | nyabâ |
| nyanyi | nyanyi | nyanyi | nyanyi |
Lihat juga
- Bahasa Madura
- Dialek bahasa Madura
- Bahasa Madura Pasuruan
- Bahasa Madura Banyuwangi
- Kabupaten Situbondo
Referensi
Catatan
- ^ Dalam bahasa Indonesia standar, penulisan dan tata bahasa yang benar adalah "ketika saya pulang dari pasar, saya berpapasan dengan kalian".
Catatan kaki
- ^ Wibowo, Mahardika & Karmila (2020), hlm. 84–85.
- ^ Ramadhan, Gilang (25 Mei 2025). "Pengaruh Variasi Dialek Bahasa Madura di Bondowoso dan Situbondo". kumparan.com. Kumparan. Diakses tanggal 19 Juli 2025.
- ^ Rizal, Muhammad Khoirul (25 April 2024). "Mengapa Warga Situbondo Berbahasa Madura? Ini Sejarahnya". radarsitubondo.jawapos.com. Radar Situbondo. Diakses tanggal 19 Juli 2025.
- ^ Savitri (2019), hlm. 165.
- ^ a b Amroellah & Khalili (2023), hlm. 24.
- ^ Fitriah et al. (Irfan), hlm. 25.
- ^ a b c Hairul (2022), hlm. 89.
- ^ Syamsuddin (2018), hlm. 9.
- ^ Hidayatullah (2017), hlm. 140.
- ^ Hairul (2022), hlm. 89–90.
- ^ Hairul (2022), hlm. 90.
- ^ Syamsuddin (2018), hlm. 11.
- ^ a b c d Savitri (2019), hlm. 151.
- ^ Amroellah, Afif; Suarmika, Putu Eka (2021). Kumpulan Cerita Rakyat Situbondo (Versi Bahasa Madura). Bogor: GuePedia. ISBN 978-623-251-529-1.
- ^ Hidayatullah (2017), hlm. 147–148.
- ^ "Mamaca Situbondo". referensi.data.kemdikbud.go.id. No. SK: 362/M/2019; Tanggal SK: 2019. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2022. Diakses tanggal 20 Juli 2025. Pemeliharaan CS1: Lain-lain (link)
- ^ Wibowo, Mahardika & Karmila (2020), hlm. 85.
- ^ Alifian, Dani (15 Februari 2021). "Situbondo, Madura Swasta yang Kaya Sejarah". mojok.co. Mojok. Diakses tanggal 20 Juli 2025.
- ^ Hairul (2022), hlm. 92–93.
- ^ Amroellah, Afif; Khalili, M. Nur (2023). "Perbedaan Arti Logat Be'na dan Be'en Dalam Bahasa Madura Dikalangan Mahasiswa Universitas Abdurachman Saleh Situbondo Antara Asal Daerah Besuki dan Situbondo". Prosiding Seminar Nasional. 2 (1). Situbondo: Universitas Abdurachman Saleh: 22–26. ISSN 2964-481X. Diakses tanggal 19 Juli 2025.
- ^ Fitriah et al. (Irfan), hlm. 25–26.
- ^ Uqraniyyah, Anggraeni & Suaedi (2024), hlm. 23310–23311.
- ^ Uqraniyyah, Anggraeni & Suaedi (2024), hlm. 23312.
- ^ Uqraniyyah, Anggraeni & Suaedi (2024), hlm. 23313–23314.
Daftar pustaka
- Savitri, A. (2019). "Korespondensi Kontoid Geminat dan Distribusinya Dalam Bahasa Madura di Kabupaten Situbondo dan Bondowoso". Arbitrer: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia. 1 (3). Ambon: Universitas Pattimura: 149–166. doi:10.30598/arbitrervol1no3hlm149-166. ISSN 2685-1873.
- Uqraniyyah, Siti Murtifatul; Anggraeni, Astri Widyaruli; Suaedi, Hasan (2024). "Dialek Bahasa Madura di Jawa Timur Bagian Timur: Kajian Dialektologi" (PDF). Tambusai: Jurnal Pendidikan. 8 (2). Jember: Universitas Muhammadiyah Jember: 23309–23320. ISSN 2614-3097.
- Hairul, Mohammad (2022). "Diaspora Bahasa Madura Dalam Masyarakat Pandhalungan Bondowoso". Paramasastra: Jurnal Ilmiah Bahasa Sastra dan Pembelajarannya. 9 (1). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya: 84–96. ISSN 2527-8754.
- Hidayatullah, Panakajaya (2017). "Panjhak sebagai agen pengembangan karakter budaya dalam masyarakat Madura di Situbondo". Jantra: Jurnal Sejarah dan Budaya. 12 (2). Depok: Universitas Indonesia: 139–152. ISSN 1907-9605.
- Syamsuddin, Muhammad (2018). "Orang Madura Perantauan di Daerah Istimewa Yogyakarta". Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama. 18 (1). Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 1–22. ISSN 1411-8777.
- Wibowo, Yuli; Mahardika, Nidya Shara; Karmila, Lia Sumi (2020). "Prospek Pengembangan Minapolitan di Kabupaten Situbondo". Jurnal Agroteknologi. 14 (1). Jember: Universitas Jember: 78–90.
- Fitriah, Zulis Lailatul; Rahma, Farah Salsabil; Fatiha, Cagiva Alaysia; Firdaus, Yusrizal Jofi; Irfan, Yusuf Muhammad; Firdausy, Asyitah Nabila; Rahmadhani, Dimas Very; Putra, Affanda Bagus Syah; Cahyaningtrias, Miftahul Fudin; Rahardika, Muhammad Aditya Putra (2021). KTI: Keberagaman Kebudayaan Jawa Timur. Mata Kuliah Umum Bahasa Indonesia (Thesis). Jember: Universitas Jember. hlm. 1–52 – via Scribd.

