Malahayati
Laksamana Malahayati | |
---|---|
![]() Lukisan Laksamana Malahayati | |
Lahir | Aceh Besar, Kesultanan Aceh | 1 Januari 1550
Meninggal | 30 Juni 1606 Tanjung Krueng Raya, Kesultanan Aceh | (umur 56)
Dikebumikan | Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar 5°35′28.9″N 95°31′40.3″E / 5.591361°N 95.527861°E |
Pengabdian | ![]() |
Dinas/cabang | Inong Balee |
Lama dinas | 1585–1606 |
Pangkat | Laksamana |
Perang/pertempuran | |
Penghargaan | Pahlawan Nasional Indonesia |
Keumalahayati (01 Januari 1550 – 30 Juni 1606) adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Nama "Malahayati" kemungkinan besar berasal dari bahasa Arab "Hayati" yang berarti kehidupan. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang mengutamakan pendidikan militer dan strategi perang, yang kelak membentuknya menjadi seorang panglima angkatan laut. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.[1]
Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.[2]
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati[3] Saat meninggal dunia, jasad Malahayati dikebumikan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.[4]
Pendidikan Angkatan Laut
Laksamana Malahayati dikenal juga dengan nama Keumalahayati. Ia dilahirkan di Aceh Besar pada tahun 1550. Pada masa kanak-kanak dan remaja ia mendapat pendidikan istana. Malahayati masih berkerabat dengan Sultan Aceh. Ayah dan kakeknya berbakti di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Dari situlah semangat kelautan Malahayati muncul. Ia kemudian mengikuti jejak ayah dan kakeknya dengan menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di akademi Baitul Maqdis.[5]
Malahayati menempuh pendidikan di Ma'had Baitul Maqdis, akademi militer Kesultanan Aceh yang khusus melatih calon perwira dan pemimpin militer. Di sana, ia mempelajari strategi perang, taktik maritim, serta seni pelayaran dan pertempuran di lautan.
Kesultanan Aceh saat itu memiliki hubungan erat dengan dunia Islam, sehingga pendidikan militer di akademi tersebut juga mengadopsi teknik dan strategi dari Kesultanan Utsmaniyah dan Timur Tengah.
Memimpin Inong Balee
Perjuangan Malahayati melawan penjajah dimulai setelah terjadinya pertempuran di Teluk Haru. Armada laut Kesultanan Aceh melawan armada Portugis. Pada pertempuran itu, Laksamana Zainal Abidin, suami Malahayati, gugur. Setelah ditinggal wafat oleh suaminya, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan. Permintaan itu dikabulkan. Ia diangkat sebagai pemimpin pasukan Inong Balee dengan pangkat laksamana. Malahayati adalah perempuan Aceh pertama yang menyandang pangkat ini.[6]
Pasukan Inong Balee terbentuk pada masa Sultan Alaydin Ali Riayat Syah IV Saydil Muqammil yang memerintah Kerajaan Aceh pada 997 hingga 1011 M (1589-1604). Inong Balee memiliki pasukan sejumlah 2.000 orang, pasukan ini ditakuti oleh perairan pesisir Aceh Besar serta Selat Malaka. Sultan juga membekali pasukan Inong Balee dengan 100 unit kapal perang ukuran besar berkapasitas masing-masing 400 pasukan. Pasukan Inong Balee mulai dilibatkan dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda.[7]
Pasukan Inong Balee berhasil menghancurkan dua kapal dagang Belanda. Dalam sebuah duel satu lawan satu di atas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan Cornelis de Houtman, penjelajah dan penjajah Belanda. Nyawa Cornelis pun melayang karena Keumalahayati.
Keberhasilan ini tidak hanya menunjukkan kemampuan militer mereka tetapi juga mengukuhkan posisi Aceh sebagai kekuatan maritim yang disegani pada masa itu. Pasukan Inong Balee ikut serta dalam beberapa perang melawan Portugis dan Belanda. Wilayah pertempuran mereka tidak hanya terbatas di Selat Malaka, tetapi juga meluas hingga pantai timur Sumatera dan Malaya. Mereka pun membangun Benteng Inong Balee di atas bukit tak jauh dari pesisir Teluk Ramleh di Kluen Raya, Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.
Benteng Inong Balee berada di daerah Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Selain berfungsi sebagai benteng dan tempat melatih para Inong Balee, tempat ini juga digunakan untuk akomodasi para janda yang suaminya tewas dalam pertempuran. Di benteng itulah, Inong Balee tumbuh menjadi laskar perang yang ditakuti oleh musuh di perairan pesisir Aceh Besar serta Selat Malaka. Malahayati bersama pasukan Inong Balee juga mendirikan sebuah pangkalan di Teluk Lamreh Krueng Jaya untuk menghadapi musuh-musuhnya.[8]
Perjuangan Melawan Belanda
Salah satu kontribusi Laksamana Malahayati adalah dalam mengorganisir armada laut Aceh. Dimasa Aceh menghadapi ancaman kolonial khususnya Belanda, Malahayati sebagai pemimpin armada laut berhasil mengorganisir pasukannya dengan baik hingga mendapat julukan "Panglima Perang Laut".[9]
Laksamana Malahayati dan pasukannya bertugas melindungi pelabuhan pelabuhan dagang di Aceh. Pada tanggal 21 Juni 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan kapal Belanda yang mencoba memaksakan kehendaknya. Laksamana Malahayati dan pasukannya tentu saja tidak dapat menerimanya. Mereka mengadakan perlawanan. Dalam peristiwa itu Cornelis de Houtman dan beberapa pelaut Belanda tewas. Frederick de Houtman, wakil komandan armada Belanda, ditangkap oleh pihak Aceh.[10] Keberhasilan Laksamana Malahayati dan Inong Balee berhasil memperkuat posisi Aceh sebagai kekuatan maritim nusantara.
Perjuangan Melawan Portugis
Perundingan Damai
Laksamana Malahayati tidak hanya cakap di medan perang. Ia juga melakukan perundingan damai mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Perundingan itu adalah upaya Belanda untuk melepaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Malahayati. Perdamaian itu terwujud. Frederick de Houtman dilepaskan namun Belanda harus membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh. Laksamana Malahayati juga menjadi orang yang menerima James Lancaster, duta utusan Ratu Elizabeth I dari Inggris.
Laksamana Malahayati meninggal dunia pada tahun 1615. Makamnya terletak di Desa Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Laksamana Malahayati mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2017 bersama dengan 3 orang lainnya.[11][12]
Simbol Kekuatan Wanita dalam Sejarah Indonesia
Laksamana Malahayati berperan besar dalam memperkuat posisi perempuan dalam struktur sosial dan budaya masyarakat Aceh.[9] Melalui kiprahnya dalam perjuangan melawan kolonialisme, ia mampu membuktikan bahwa peran perempuan tidak terbatas pada aspek domestik sebagaimana perspektif masyarakat pada masa itu. Malahayati berhasil menunjukkan bahwa wanita dapat berkontribusi dalam bidang pertahanan dan strategi militer.
Laksamana Malahayati hidup pada masa laki-laki memiliki dominasi yang kuat dalam seluruh aspek kehidupan. Namun ia berhasil mematahkan stigma tersebut dan menunjukkan bahwa perempuan dapat memegang peran penting dalam perjuangan dan kepemimpinan, menembus batas-batas yang ada dan mengubah pandangan masyarakat tentang peran gender.[9] Laksamana Malahayati berhasil menunjukkan bahwa perempuan dapat memegang peran aktif dalam perjuangan menuju kemerdekaan.
Keberanian dan kepemimpinan Malahayati dalam bidang pertahanan dan strategi militer menjadi inspirasi bagi banyak pejuang perempuan setelahnya, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia , dan Martha Christina Tiahahu . Mereka mengikuti jejak Malahayati dalam melawan penjajah dengan semangat pantang menyerah.
Penghargaan

Selain dinamakan sebagai nama jalan di berbagai wilayah di Indonesia, nama Malahayati juga banyak diabadikan dalam berbagai hal.
- Pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar dinamakan dengan Pelabuhan Malahayati.[13]
- Salah satu kapal perang jenis Perusak Kawal Berpeluru Kendali (fregat) kelas Fatahillah milik TNI Angkatan Laut yang dinamakan KRI Malahayati. Kapal perang ini dibuat di galangan kapal Wilton-Fijenoord, Schiedam, Belanda pada tahun 1980, khusus untuk TNI-AL.
- Dalam dunia pendidikan, terdapat Perguruan tinggi seperti Politeknik Pelayaran Malahayati yang terdapat di Aceh Besar dan Universitas Malahayati yang terdapat di Bandar Lampung.
- Sebuah serial film Laksamana Malahayati yang menceritakan riwayat hidup Malahayati telah dibuat pada tahun 2007.[14]
- Nama Malahayati juga dipakai oleh Ormas Nasional Demokrat sebagai nama divisi wanitanya dengan nama lengkap Garda Wanita Malahayati.[15]
- Selain dikukuhkan bergelar Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia di 2017 , hari lahirnya pun dijadikan hari perayaan dunia internasional atas pengajuan Pemerintah Indonesia di forum UNESCO pada 2023 di Perancis.
Atas jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017.[16][17]
Referensi
- ^ "Laksamana Keumalahayati". Diarsipkan dari asli tanggal 2016-03-11. Diakses tanggal 2011-11-27.
- ^ "Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia". Diarsipkan dari asli tanggal 2007-07-17. Diakses tanggal 2007-05-31.
- ^ "Laksamana Malahayati dan bangsa kita". Diarsipkan dari asli tanggal 2015-04-26. Diakses tanggal 2011-11-27.
- ^ Setyadi, Agus. "Jadi Pahlawan Nasional, Makam Laksamana Malahayati Bersolek". detikcom. Diakses tanggal 2019-11-06.
- ^ Sukmana, Yoga. Asril, Sabrina (ed.). "PROFIL PAHLAWAN: Malahayati, Laksmana Laut Perempuan Pertama di Dunia". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-04-27.
- ^ Insiroh, Ilusi. "Mengenal Sosok Laksamana Malahayati, Tempuh Pendidikan Militer hingga Dapat Gelar Pahlawan". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-04-27.
- ^ Triyunanto, Callan Rahmadyvi. "Inong Balee, Pasukan Perempuan Legendaris Aceh yang Kalahkan Cornelis de Houtman". detikedu. Diakses tanggal 2025-03-16.
- ^ Lestari Ningsih, Widya (2024-07-14). "Perjuangan Laksamana Malahayati". www.kompas.com. Diakses tanggal 2025-03-16.
- ^ a b c Zainun Aziz, Ahmad Zaki (Oktober 2024). "Laksamana Malahayati: Perintis Perjuangan Wanita dalam Sejarah Maritim Aceh". Prosiding Konferensi Nasional Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (KONMASPI). 1 (3064–5557): 823–828.
- ^ Raditya, Iswara N. "Cornelis de Houtman Tewas dalam Tikaman Rencong Malahayati". Tirto.id. Diakses tanggal 2020-04-27.
- ^ "Malahayati, Laksamana Wanita Aceh Pertama di Dunia yang Juga Diplomat Ulung". Blog (dalam bahasa American English). 2017-12-07. Diakses tanggal 2020-04-27.
- ^ "Pahlawan Nasional: Laksamana Malahayati - Bobo". bobo.grid.id. Diakses tanggal 2020-04-27.
- ^ "Pelabuhan Malahayati". Diarsipkan dari asli tanggal 2019-01-19. Diakses tanggal 2011-11-27.
- ^ Bakri. "Marcella Zalianty Produseri Film Laksamana Malahayati". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2019-11-06.
- ^ Metro TV 19 Juli 2011, pukul 21.30
- ^ Nugroho, Bagus Prihantoro (9 November 2017). "Jokowi Tetapkan Laksamana Malahayati Jadi Pahlawan Nasional". detikcom. Diakses tanggal 9 November 2017.
- ^ Afif. Andwika, Rizky (ed.). "Melihat makam Laksamana Malahayati yang telah dipercantik". Merdeka.com. Diakses tanggal 2019-11-06.