Hudzaifah bin al-Yaman
![]() | Artikel bertopik Islam ini berkualitas rendah karena menggunakan gaya bahasa yang berlebihan dan hiperbolis tanpa memberikan informasi yang jelas. |
![]() | Artikel atau bagian dari artikel ini berkualitas rendah karena menggunakan gaya bahasa naratif yang tidak sesuai dengan Wikipedia sehingga menurunkan kualitas artikel ini. Bantulah Wikipedia memperbaikinya. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. |
![]() ![]() | |
Nama dalam bahasa asli | (ar) حذيفة بن اليمان بن جابر ![]() |
---|---|
Biografi | |
Kelahiran | 6 abad ![]() Madinah ![]() |
Kematian | 656 (Kalender Masehi Gregorius) ![]() Ctesiphon ![]() |
Data pribadi | |
Agama | Islam ![]() |
Kegiatan | |
Pekerjaan | pemimpin militer ![]() |
Murid | Abu al-Abyadh al-Absi ![]() |
Keluarga | |
Ayah | Husail bin Jabir ![]() |
Hudzaifah bin al-Yaman (bahasa Arab: حذيفة بن اليمان) atau Hudzaifah bin Yaman, dengan julukan Abu Abdillah adalah sahabat Nabi Muhammad yang juga dikenal dengan julukan Pemegang Rahasia Rasul. Bapaknya bernama Hisl atau Husail bin Jabir,[1] suatu hari membunuh orang di tengah kaumnya lalu melarikan diri ke Madinah dan bersekutu dengan Bani Abdul Asyhal (orang-orang Yaman), sehingga kaumnya memanggilnya Yaman. Ibunya bernama al-Rubab binti Ka'ab al-Asyhiliyyah.
Biografi
Ia dilahirkan di Madinah dari ayah yang bernama Husail bin Jabir Al 'Absi Al-Yamani (Bani Abs) yang berasal dari Makkah dan ibu yang dibesarkan di Madinah (dari Bani Abdul Asyhal), sehingga ia dapat dianggap sebagai kaum Muhajirin maupun kaum Anshar. Ia mengikuti bai'at Aqabah untuk menyatakan keislamannya.
Hudzaifah bin al-Yaman dikenal sebagai orang yang dipercaya oleh Nabi Muhammad dalam menyimpan rahasia dan dalam menyelidiki permasalahan yang terjadi. Hampir di setiap pertempuran, ia ikuti kecuali Dalam Pertempuran Badar, karena ia bersama ayahnya diminta suku Quraisy agar tidak terlibat dan setelah meminta petunjuk Nabi, ia diijinkan tidak ikut perang.
Saat perang Uhud, ayahnya sebenarnya ditugaskan menjaga kota karena sudah renta, namun tanpa ijin ikut pergi berperang.[1] Ayahnya terbunuh dalam Perang Uhud secara tidak sengaja oleh sesama muslim karena wajahnya tertutup kain sehingga tidak dikenali.[2]
Dalam Pertempuran Khandaq ia diperintahkan oleh Nabi Muhammad untuk menyusup memeriksa keadaan penyerang di luar kota Madinah selaku intelijen dan kemudian kembali membawa berita bahwa Abu Sofyan dan pasukannya sudah berpecah belah dan hendak kembali ke Mekah.[1]

Dalam kondisi genting pada bagian akhir pertempuran Khandaq. Hudzaifah bercerita,"Malam itu Nabi shalat sebentar kemudian menoleh ke arah kami, lalu bersabda, ‘Siapakah di antara kalian yang bersedia mencari tahu apa yang dilakukan kaum itu (pasukan musuh), kemudian kembali mengabarkannya kepada kami (Rasul memberi syarat bahwa orang yang menyanggupinya mesti kembali) maka Allah akan memasukkannya ke surga.’
Tak ada seorang pun yang berdiri. Kemudian Rasulullah saw. kembali mendirikan shalat, lalu berpaling ke arah kami dan menanyakan pertanyaan serupa. Lagi-lagi, tak seorang pun di antara kami yang berani. Kemudian beliau shalat lagi sebentar, lalu menoleh ke arah kami seraya bersabda, ‘Siapakah di antara kalian yang bersedia mencari tahu apa yang dilakukan kaum itu, kemudian ia kembali maka Allah akan memintanyamenemaniku di surga?’
Tak ada seorang pun yang berani berdiri karena kami diliputi rasa takut, diserang rasa lapar, dan dicekam cuaca yang sangat dingin. Ketika tidak ada seorang pun yang berdiri, Rasulullah memanggilku tetapi ketika itu aku tidak berani berdiri, lalu beliau bersabda, ‘Wahai Hudzaifah, pergilah menyusup ke dalam pasukan musuh. Perhatikan apa yang mereka lakukan. Jangan bertindak ceroboh dan jangan melakukan apa pun sebelum bertanya kepada kami.’
Maka aku segera pergi menyusup ke kantong pasukan musuh. Ketika itu angin berembus kencang, mengempaskan segala yang ada, peralatan masak, alat penerangan, termasuk tenda pasukan. Pada saat itu, Abu Sufyan ibn Harb, panglima pasukan Quraisy, berdiri dan berteriak memperingatkan anak buahnya, ‘Wahai Quraisy, hendaklah masing-masing kalian mempejhatikan kawan duduknya dan memegang tangan serta mengetahui dengan jelas siapa nama orang di sampingmu.’ Maka aku segera memegang tangan seseorang yang berada di sebelahku, lalu bertanya, ‘Siapa namamu?’ Dia menjawab, ‘Namaku fulan ibn fulan.’
Sesaat kemudian, Abu Sufyan kembali mengeluarkan komando, ‘Wahai Quraisy, sesungguhnya kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi, kuda-kuda dan unta-unta kira telah binasa, Bani Quraizhah telah berkhianat hingga kita mengalami keburukan yang tidak kita inginkan. Sebagaimana yang kalian saksikan, kita diterjang angin badai yang berembus hebat. Periuk berhamburan, lampu-lampu padam, dan tenda-tenda berantakan.Maka, pulanglah kalian semua, dan aku pun akan pulang.’ Kemudian Abu Sufyan berdiri mendekati iintanya yang dalam keadaan terikat, menaikinya, lalu memukul hewan itu. Unta itu loncat-loncat karena kaget, tetapi tali ikatannya tidak lepas sehingga hewan itu tampak semakin gelisah.”
Khudzaifah berkata, “Kalau saja Rasulullah tidak mewanti-wanti kepadaku untuk tidak melakukan apa pun sampai aku kembali, tentu aku akan membunuhnya dengan anak panah.”
Kemudian aku kembali kepada Rasulullah saw. yang saat itu sedang shalat di perkemahan istrinya. Ketika melihatku, beliau mempersilakanku duduk di hadapan beliau, kemudian aku melaporkan bahwa pasukan Quraisy dan Ghatafan telah bersiap-siap untuk pulang ke negeri mereka.”[1]
Nabi berkata pada Hudzaifah, catatkan untukku nama2 munafik. Lalu Hudzaifah mencatat 1.500 nama. Ketika ditanya tentang kemunafikan, Hudzaifah menjawab, “Munafik adalah orang yang berbicara mengenai Islam tetapi tidak mengamalkannya.”[1] Ia menggunakan cincin dengan gambar 2 burung di tengahnya tertulis hamdalah.[2]
Ia memegang rahasia dengan sangat baik, terutama rahasia, adanya orang-orang munafik di Madinah, pengetahuan akan orang munafik membuat Umar bin Khattab hanya akan mensalatkan jenazah, apabila Hudzaifah ikut mensalatkan jenazah.
Hudzaifah cenderung menyukai tentang hal-hal buruk yang akan terjadi di masa mendatang agar bisa berhati-hati terhadapnya. Suatu ketika ia berkata, "Orang-orang menanyakan kepada Rasulallah Sholallahu alaihi wasallam tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan karena takut terlibat kedalamnya." Ia bertanya tentang kebaikan dan kejahatan, yang datang silih berganti pada umat ini. Di antara kejahatan yang akan muncul di akhir zaman adalah kata Rasulallah Sholallahu alaihi wasallam, "Yaitu (akan muncul) Da'i yang menyeru di pintu neraka. (Da'i yang sesat menyesatkan). Barang siapa yang mengikuti seruan mereka, mereka melemparkan kedalam neraka." Kemudian kutanyakan pada Rasulallah Sholallahu alaihi wasallam, "Ya Rasulallah, apa yang harus kuperbuat bila menghadapi hal demikian?. Rosulallah Sholallahu alaihi wasallam menjawab, "Senantiasa ikutilah jama'ah kaum muslimin dan pemimpin mereka". Saya bertanya, "Bagaimaan bila pada saat itu tidak memiliki jama'ah juga pemimpin". Beliau Sholallahu alaihi wasallam bersabda, "Tinggalkanlah semua golongan itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menemui ajal dalam keadaan demikian".[3]
Penaklukkan Persia
Saat penaklukkan Persia, setelah kota Madain dikuasai, Hudzaifah ditunjuk Umar sebagai Gubernur Madain (hingga masa wafatnya Utsman).[2] Saat itu, terjadi problem dengan para istri pejuang dan Wanita Arab yang jomblo di masa Umar. Lalu Umar menyurati para pimpinannya di Persia.
"Telah sampai kepadaku bahwa kamu telah menikahi seorang wanita dari al-Mada'in, yang termasuk Ahli Kitab. Ceraikanlah dia." Hudzaifah membalas suratnya: "Aku tidak akan melakukannya hingga engkau memberitahuku apakah itu halal atau haram, dan apa maksud dari [perintah] ini.

Umar menulis kepada Hudzaifah: "Memang boleh, tetapi wanita-wanita non-Arab itu menawan, dan jika engkau mendekati mereka, mereka akan merenggutmu dari istri-istrimu."
Hudzaifah berkata: "Aku akan melakukannya sekarang," dan ia menceraikannya.
Menurut al-Sari-Shu`ayb-Sayf-Ash'ath bin Siwar-Abu al-Zubayr-Jabir: Aku ikut serta dalam pertempuran al-Qadisiyyah bersama Saad. Kami menikahi wanita-wanita dari Ahli Kitab, karena kami tidak menemukan banyak wanita Muslim. Ketika kami kembali, sebagian dari kami menceraikan mereka dan sebagian dari kami mempertahankannya.[4]
Suatu hari Umar ingin mengetahui apakah dirinya termasuk orang munafik atau tidak. la menemui Hudzaifah dan bertanya, “Apakah aku termasuk orang munafik?”
Hudzaifah menjawab, “Tidak. Dan tidak seorang pun yang sebersih engkau.” Umar bertanya kembali, "Adakah bawahanku yang termasuk orang munafik? “Ya, satu orang.” jawab Hudzaifah.
“Siapakah dia?” “Aku tidak mau menyebutnya.” Kemudian Hudzaifah melanjutkan,“Singkirkanlah si fulan, sepertinya ia cenderung kepada kemunafikan.” Umar melakukan upaya lain untuk mengetahui siapa saja yang dianggap munafik. Setiap kali seseorang meninggal dunia, Umar memperhatikan apakah Hudzaifah ikut menyalati orang tersebut atau tidak. Jika Hudzaifah hadir untuk menyalati, Umar pun ikut menyalati. Jika tidak, Umar pun tidak mau menyalatinya.[1]
Hudzaifah juga ikut serta dalam Perang Nahawan di bawah pimpinan An-Nu'man bin Muqarrin sebagai panglima perang. Ketika an-Nu'man syahid, Hudzaifah mengambil alih panji kaum muslim hingga memenangkan pertempuran besar di Nahawand,[4] untuk selanjutnya menaklukkan kota Hamdan, Rayy, dan Dainawar.[1]
Ketika Umar ibn al-Khattab memercayainya menjadi wali kota Madain, ia berangkat ke sana seorang diri. Penduduk kota itu, saat tahu bahwa wali kota utusan Khalifah akan datang, segera keluar rumah untuk menyambutnya. Hampir semua penduduk pergi ke gerbang kotauntuk menyambut kedatangan sang wali kota. Setelah lama menunggu, muncul di hadapan mereka seorang laki-laki dengan pakaian sederhana, tetapi wajahnya cerah berseri-seri. la datang menunggangi seekor keledai yang berpelana selembar kain usang. Kedua kakinya terjuntai, sementara dua tangannya memegang rod dan garam. Ketika laki-laki itu berada di tengah-tengah penduduk, barulah mereka menyadari bahwa orang iru adalah Hudzaifah bin al-Yaman, wali kota yang sedang mereka tunggu.[1]
Nyaris saja mereka tidak memercayai penglihatan mereka, karena menurut perkiraan mereka, Khalifah akan mengirimkan orang yang paling hebat. Ternyata, utusan yang datang adalah laki-laki yang sangat sederhana, tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai seorang pemimpin. Ketika telah berada di tengah penduduk Madain, Hudzaifah berkata, “Jauhilah sumber sumber fitnah.” Mereka Bertanya, "dimanakah tempat-tempat fitnah itu?". Hudzaifah menjawab, "Pintu-pintu para pembesar. Kalian masuk menemui mereka dan mengiyakan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tidak pernah mereka lakukan".[3]
Wafatnya
Hudzaifah wafat di Madain, Persia (Irak saat ini) pada tahun 36 Hijriyah, 40 hari setelah wafatnya Utsman.[2] Menjelang wafatnya ia minta disiapkan 2 lembar kain kafan, ia berdoa,“Ini saat-saat terakhirku di dunia. Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku mencintai-Mu, berkatilah aku dalam perjumpaan dengan-Mu.”[1]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i Hassan, Muhammad Raji (2013). Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi. Jakarta: Penerbit Zaman. hlm. 410. ISBN 978-979-024-295-1. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ a b c d Dzahabi, Imam (2017). Terjemah Siyar A'lam an-Nubala. Jakarta: Pustaka Azzam. hlm. 259. ISBN 978-602-236-270-8. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ a b Muhammad Khalid, Khalid (2013). Bografi 60 Sahabat Nabi. Jakarta Timur: Ummul Qura. hlm. 201–211. ISBN 978-602-7637-12-2. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ a b Tabari, Imam (1993). History of al-Tabari. New York: State University of New York Press. ISBN 0-7914-0851-5. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)