Mush'ab bin Umair
Mush'ab bin Umair | |
---|---|
![]() | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Makkah |
Meninggal | 625 Gunung Uhud |
Suami/istri | Hamnah binti Jahsy |
Hubungan |
|
Anak | Zainab binti Mush'ab |
Orang tua |
|
Julukan | Abu Abdullah Mush'ab al-Khair |
Karier militer | |
Pertempuran/perang | |
![]() ![]() |
Mush'ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf al-Qurasyi (bahasa Arab: مصعب بن عمير بن هاشم بن عبد مناف القرشي),[1] juga dikenal sebagai Mush'ab al-Khair ("Mush'ab yang baik")[2] adalah seorang sahabat Nabi Muhammad. Ia berasal dari kabilah Bani Abdu Dar dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam pada 614 dan merupakan duta pertama Islam.[3] Mush'ab terbunuh dalam Pertempuran Uhud pada tahun 625.[4]
Silsilah dan keluarga
Silsilahnya adalah Mush'ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdu Dar bin Qushay bin Kilab al-Qurasyi.[5][6][7][8] Ibunya bernama Khunas binti Malik bin al-Mutharif bin Wuhaib bin Amr bin Hujair bin Abdu bin Mu'ish bin Amir.[9] Kunyah Mush'ab adalah Abu Abdullah.[10]
Mush'ab memiliki dua saudara laki-laki yang bernama Abu Aziz Zurarah dan Abu Ar-Rum. Abu Aziz adalah saudara kandungnya, sementara Abu Ar-Rum adalah saudara seayahnya karena ibunya berasal dari Romawi.[11] Mush'ab juga memiliki saudara perempuan yang bernama Ummu Jamil yang merupakan ibu dari Syaibah bin 'Utsman.[12]
Mush'ab menikah dengan Hamnah binti Jahsy dan memiliki anak perempuan yang bernama Zainab. Ia kemudian menikah dengan Abdullah bin Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah.[6]
Masa muda
Mush'ab bin Umair berasal dari kabilah Bani Abdu Dar dari suku Quraisy.[13] Tahun kelahirannya yang tepat tidak diketahui, diyakini bahwa ia lahir antara 594 dan 598. Ia masih sangat muda ketika memeluk Islam pada tahun 614.[14] Bahkan saat masih muda, dia diizinkan untuk menghadiri pertemuan para pemuka suku Quraisy.[15]
Mushab bin Umair dikenal sebagai sosok panutan di kalangan pemuda Quraisy. Ia memiliki penampilan yang menarik, wajah yang tampan, serta menjalani masa muda yang nyaris sempurna. Para sejarawan dan perawi menggambarkan masa mudanya sebagai masa yang penuh pesona, bahkan disebutkan bahwa ia merupakan salah satu penduduk Mekah dengan aroma tubuh paling harum.
Ia lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang penuh kemewahan. Tidak banyak anak di Mekah yang mendapatkan perlakuan istimewa dari orang tuanya sebagaimana Mushab bin Umair.[16]
Setelah memeluk Islam, ia menjadi salah satu sahabat yang memperoleh bimbingan langsung dari Nabi Muhammad SAW.[17]
Masuk Islam
Suatu hari, Mus’ab bin Umair mendengar kabar yang tengah ramai diperbincangkan oleh masyarakat Mekah mengenai Nabi Muhammad, yang disebut-sebut telah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Beliau menyeru manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan penyembahan terhadap selain-Nya.[17]
Pada saat itu, suasana Kota Mekah dipenuhi dengan perbincangan mengenai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Mus’ab bin Umair termasuk di antara mereka yang menyimak kabar tersebut dengan penuh perhatian. Meskipun ia masih berusia muda dan dikenal luas sebagai sosok yang populer serta kerap menjadi bahan pembicaraan dalam berbagai majelis, Mus’ab memiliki karakter yang matang dan pemikiran yang tajam, yang mendorongnya untuk membuka diri terhadap hal-hal yang bersifat spiritual dan intelektual.[17]
Setelah mengetahui bahwa Nabi Muhammad dan para pengikutnya biasa berkumpul di tempat yang jauh dari keramaian dan tekanan kaum Quraisy, yakni di Darul Arqam (rumah Al-Arqam bin Abi al-Arqam) di dekat Bukit Shafa yang dikenal sebagai tempat dakwah Islam,[18] Mush'ab pun menjadi tertarik dan pergi ke rumah ini pada suatu sore tanpa menunda waktu[17] untuk mencari tahu lebih banyak tentang Islam.
Di tempat itu, Nabi Muhammad tengah membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat, serta memimpin mereka dalam salat berjamaah. Suasana ibadah yang khusyuk dan lantunan ayat-ayat suci yang keluar dari lisan Nabi dengan indah dan penuh makna begitu memengaruhi Mus’ab. Ayat-ayat tersebut seolah menyentuh langsung pendengaran dan relung hatinya.[17]
Melihat kondisi tersebut, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di dada Mus’ab sebagai bentuk kasih sayang dan doa. Seketika itu pula, ketenangan pun menyelimuti hati Mus’ab. Dalam waktu singkat, setelah mendengar pembacaan Alquran dan dakwah Nabi, dia masuk Islam.[14][19][17]
Awal-awal Keislaman Mush'ab
Mush'ab bin Umair dikenal sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang kuat dan disegani oleh banyak orang, hingga sebagian merasa gentar terhadapnya. Begitu pun setelah memeluk Islam, tidak ada sosok yang lebih ia waspadai dan takuti di dunia ini selain ibunya sendiri. Bagi Mush'ab, seandainya seluruh isi Kota Mekah—dengan berhala-berhalanya, tokoh-tokohnya, dan padang pasirnya—berubah menjadi ancaman yang mengganggu dirinya, semua itu tetap terasa ringan jika dibandingkan dengan kemungkinan membuat ibunya marah. Menghadapi kemarahan sang ibu adalah hal yang sangat berat baginya. Karena itulah, Mush'ab awalnya memilih merahasiakan keimanannya, karena dia takut akan kemarahan ibunya, hingga datang ketetapan Allah yang mengharuskannya bersikap terbuka.[2][17]
Sejak masuk Islam, ia mulai rutin mengunjungi rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam, bergabung dalam majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menikmati kedamaian iman yang kini mengisi hatinya—sembari tetap menjaga agar ibunya tidak mengetahui keyakinan barunya.
Namun, suatu hari, Utsman bin Thalhah melihatnya memasuki rumah Al-Arqam dan di kesempatan lain ia juga melihat Mush'ab mengerjakan sholat bersama kaum Muslim yang lain sebagaimana sholat yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Tak butuh waktu lama, berita itu menyebar dan akhirnya terdengar sampai kepada ibunya. Mendengar berita tersebut, sang ibu sangat terpukul hingga nyaris kehilangan ketenangan pikirannya.[17]
Mush'ab kemudian dipanggil dan dihadapkan kepada ibunya, kerabat-kerabatnya, serta sejumlah tokoh terkemuka Quraisy. Mereka mengelilinginya dan menuntut penjelasan. Namun dengan tenang dan penuh keyakinan atas kebenaran yang diyakininya, Mush'ab justru membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka—ayat yang biasa digunakan oleh Rasulullah ﷺ untuk menyucikan hati, serta mengisinya dengan hikmah, keadilan, dan ketakwaan.[17]
Salah satu ayat yang dibaca Mush'ab hampir membuat sang ibu kehilangan kendali. Ia mengangkat tangannya hendak menampar putranya. Namun, tangan itu tiba-tiba terhenti seakan tertahan oleh pancaran kebenaran yang memancar dari wajah Mush'ab, yang tampak semakin bercahaya dan meneduhkan. Wibawa dan ketenangan Mush'ab seakan membuat siapa pun yang melihatnya merasa tenteram.[17]
Meski sang ibu menahan diri dari kekerasan fisik, amarahnya tetap tersimpan. Ia kecewa karena Mush'ab telah berpaling dari kepercayaan lama mereka. Sebagai bentuk tekanan, ia kemudian mengikat Mush'ab di sebuah ruangan kokoh di dalam rumahnya, menguncinya rapat dengan gembok yang kuat dengan maksud agar Mush'ab kembali kepada kepercayaan lamanya.[20] [17]Mush'ab yakin akan keyakinannya dan tidak akan meninggalkan keyakinannya.
Mush'ab menjalani hari-hari dalam tahanan itu hingga datang kabar bahwa sejumlah orang beriman akan berhijrah ke Habasyah. Mendengar informasi tersebut, Mush'ab merancang strategi pelarian. Ia memanfaatkan kelengahan ibunya dan para penjaganya, hingga akhirnya berhasil lolos dan bergabung dalam rombongan yang berhijrah. Ia pun menjadi seorang Muhajir, meninggalkan Mekah demi mencari keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[17] Dari sumber lain, Nabi Muhammad lah yang menyarankannya agar bergabung dengan para sahabat yang hijrah ke Habasyah agar tidak mendapat gangguan lagi.[19]
Setelah sang ibu merasa putus asa membujuk Mush'ab bin Umair radhiyallāhu 'anhu untuk kembali kepada keyakinan lamanya, ia menghentikan segala bentuk kenyamanan dan kemewahan yang dahulu pernah diberikan kepadanya. Sang ibu merasa tidak pantas untuk berbagi makanan dengan seseorang yang telah mencela berhala yang selama ini ia sembah, meskipun orang itu adalah anaknya sendiri.[17]
Pertemuan terakhir antara Mush'ab dan ibunya terjadi setelah kepulangannya dari Habasyah. Ketika sang ibu berusaha kembali menahannya, Mush'ab bersumpah akan melawan siapa pun yang berusaha membantu ibunya dalam upaya tersebut. Menyadari bahwa Mush'ab telah menetapkan pendiriannya, sang ibu pun terpaksa melepaskannya dengan linangan air mata, dan Mush'ab pun meninggalkannya dengan perasaan yang sama. Momen perpisahan itu menggambarkan dua sosok yang sama-sama teguh: seorang ibu yang bertahan pada keyakinan lamanya, dan seorang anak yang tidak goyah dalam mempertahankan iman yang telah diyakininya.[17]
Ketika Mush'ab akan pergi, sang ibu berkata dengan penuh emosi, “Pergilah sesukamu, aku bukan ibumu lagi.” Mush'ab kemudian mendekatinya dengan penuh kelembutan dan berkata, “Wahai Ibu, aku adalah orang yang benar-benar menasihatimu dengan tulus. Bersaksilah bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Namun ibunya menjawab dengan kemarahan, “Demi bintang-bintang di langit, aku tidak akan memeluk agamamu yang telah membuat akalmu direndahkan dan pemikiranku dihina.”[17]
Setelah sang ibu merasa putus asa membujuk Mush'ab bin Umair untuk kembali kepada keyakinan lamanya, ia menghentikan segala bentuk kenyamanan dan kemewahan yang dahulu pernah diberikan kepadanya. Sang ibu merasa tidak pantas untuk berbagi makanan dengan seseorang yang telah mencela berhala yang selama ini ia sembah, meskipun orang itu adalah anaknya sendiri.[17]
Pertemuan terakhir antara Mush'ab dan ibunya terjadi setelah kepulangannya dari Habasyah. Ketika sang ibu berusaha kembali menahannya, Mush'ab bersumpah akan melawan siapa pun yang berusaha membantu ibunya dalam upaya tersebut. Menyadari bahwa Mush'ab telah menetapkan pendiriannya, sang ibu pun terpaksa melepaskannya dengan linangan air mata, dan Mush'ab pun meninggalkannya dengan perasaan yang sama. Momen perpisahan itu menggambarkan dua sosok yang sama-sama teguh: seorang ibu yang bertahan pada keyakinan lamanya, dan seorang anak yang tidak goyah dalam mempertahankan iman yang telah diyakininya.[17]

Ketika Mush'ab akan pergi, sang ibu berkata dengan penuh emosi, “Pergilah sesukamu, aku bukan ibumu lagi.” Mush'ab kemudian mendekatinya dengan penuh kelembutan dan berkata, “Wahai Ibu, aku adalah orang yang benar-benar menasihatimu dengan tulus. Bersaksilah bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Namun ibunya menjawab dengan kemarahan, “Demi bintang-bintang di langit, aku tidak akan memeluk agamamu yang telah membuat akalmu direndahkan dan pemikiranku dihina.”[17]
Sejak saat itu, Mush'ab bin Umair memilih untuk meninggalkan seluruh kenikmatan duniawi yang sebelumnya ia miliki, dan menjalani kehidupan yang sederhana bahkan penuh kekurangan. Pemuda yang dulunya dikenal dengan penampilan yang menawan dan aroma tubuh yang harum, kini tampak memakai pakaian kasar, terkadang hanya makan setelah beberapa hari menahan lapar. Namun, jiwanya yang dipenuhi dengan keindahan akidah dan disinari cahaya keimanan telah mengubah dirinya menjadi pribadi yang berbeda—pribadi yang membuat orang-orang menghormatinya dan merasa tenteram di dekatnya.[17]
Sebagai duta Islam
Mush'ab bin Umair kemudian diangkat sebagai duta Islam pertama dan dikirim ke Yatsrib (Madinah)[3][21] untuk menjadikan kota tersebut sebagai tujuan hijrah setelah baiat pertama kaum Anshar disusul kemudian Abdullah bin Ummi Maktum.[16] Seorang laki-laki dari Madinah yang bernama As'ad bin Zurarah membantunya. Setelah mereka mendakwahkan Islam, banyak penduduk Madinah yang memeluk Islam, termasuk orang-orang yang dihormati seperti Sa'ad bin Mu'adz, Usaid bin Hudhair dan Sa'ad bin Ubadah.[22] Penduduk Madinah yang telah memeluk Islam dikenal sebagai Anshar (penolong).[3] Setelah hijrah, Nabi Muhammad mempersaudarakan Mush'ab dengan Sa'ad bin Abi Waqqash, atau pendapat lain mengatakan dengan Abu Ayyub al-Anshari, dan dikatakan dengan Dzakwan bin Abdu Qais.[23]
Pertempuran bersama Nabi

Mush'ab membersamai Nabi Muhammad dalam Perang Badar dan Perang Uhud, di mana ia menjadi pembawa panji kaum Muhajirin.[8][24] Dalam Perang Badar, saudaranya, Abu Aziz, ditawan dan Mush'ab membunuh seorang prajurit kafir yang bernama Arthah bin Abdu Syurahbil bin Hasyim.[11]
Dalam Perang Uhud, Mush'ab bin Umair terbunuh oleh Ibnu Qami'ah al-Laitsi yang mengira dirinya sebagai Nabi.[5][7][8] Ibnu Qami'ah dengan berkuda menyerang Mush'ab sambil memotong tangan kanannya saat ia memegang panjinya. Kemudian Mush'ab memegang panji tersebut dengan tangan kirinya dan Ibnu Qami'ah kembali memotongnya. Panji tersebut ia pegang ke dadanya dan Ibnu Qami'ah lalu menikam dadanya menggunakan tombak.[24] Jenazahnya ditutupi kain yang tidak menutupi sampai kakinya, ia lalu dimakamkan oleh saudaranya Abu Ar-Rum bin Umair, Amir bin Rabi'ah, dan Suwaibith bin Sa'ad.[25] Mush'ab berusia 40 tahun atau lebih ketika terbunuh (syahid dalam pandangan Islam).[8][25]
Referensi
- ^ Khairuddin Az-Zarkali. Al-A'lam Az-Zarkali - Mush'ab bin Umair (dalam bahasa Arab). Vol. 7. hlm. 248. Diarsipkan dari asli tanggal 2024-02-27. Diakses tanggal 2024-02-27. ;
- ^ a b IslamKotob. Companions of the Prophet. Islamic Books. Diakses tanggal 7 Agustus 2012.
- ^ a b c UNESCO (2012). Different Aspects of Islamic Culture: Vol.3: The Spread of Islam Throughout the World Volume 3 of Different aspects of Islamic culture. UNESCO, 2012. hlm. 51–. ISBN 9789231041532. Diarsipkan dari asli tanggal 2020-05-21. Diakses tanggal 9 Agustus 2012.
- ^ Jean-Pierre Filiu, M. B. DeBevoise (2011). Apocalypse in Islam University of California Press. University of California Press, 2011. hlm. 186–. ISBN 9780520264311. Diarsipkan dari asli tanggal 2020-05-21. Diakses tanggal 11 Agustus 2012.
- ^ a b (Arab) Siyar A'lam an-Nubala - Mush'ab bin Umair
- ^ a b (Arab) Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa'ad - Mush'ab bin Umair (1)
- ^ a b (Arab) Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah - Mush'ab bin Umair
- ^ a b c d (Arab) Usud al-Ghabah fi Ma'rifat ash-Shahabah - Mush'ab bin Umair
- ^ Mush'ab az-Zubairi. "Nasab Quraisy". islamport.com (dalam bahasa Arab). Diarsipkan dari asli tanggal 2020-02-08. Diakses tanggal 2022-05-22.
- ^ Ibnu Hajar al-'Asqalani. "Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah - Mush'ab bin Umair - Al-Maktaba al-Shamela al-Haditha". shamela.ws (dalam bahasa Arab). hlm. 98. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-11-08. Diakses tanggal 2024-02-27.
- ^ a b Mush'ab bin Abdullah az-Zubairi. Nasab Quraisy (dalam bahasa Arab). Vol. 1. hlm. 254. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-05-22. Diakses tanggal 2022-05-21.
- ^ Ibnu Sa'ad. Ath-Thabaqat al-Kubra – Syaibah bin Utsman (dalam bahasa Arab). Vol. 1. hlm. 254. Diarsipkan dari asli tanggal 2023-04-17. Diakses tanggal 2024-02-27. ;
- ^ Muhammad Saed Abdul-Rahman (2009). The Meaning and Explanation of the Glorious Qur'an (Vol 2) 2nd Edition. MSA Publication Limited. hlm. 69–. ISBN 9781861796448. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-05-22. Diakses tanggal 7 Agustus 2012.
- ^ a b Lucas, Scott C. (2004). Constructive Critics, Ḥadīth Literature, and the Articulation of Sunnī Islam: The Legacy of the Generation of Ibn Sad, Ibn Maīn, and Ibn Ḥanbal. Brill. hlm. 269–. ISBN 9789004133198. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-02-22. Diakses tanggal 7 Agustus 2012.
- ^ Rafi Ahmad Fidai, N.M. Shaikh (2002). The Companion of the Holy Prophet. Adam Publishers. hlm. 40,47–. ISBN 9788174352231. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-05-22. Diakses tanggal 7 Agustus 2012.
- ^ a b Dzahabi, Imam (2017). Terjemah Siyar A'lam an-Nubala. Jakarta: Pustaka Azzam. ISBN 978-602-236-270-8
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Khalid, Khalid Muhammad (2018). Biografi 60 Sahabat Nabi ﷺ. Solo: Insan Kamil. hlm. 27–38. ISBN 978-979-1296-60-1. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Dr Ali Muhammad As Sallaabee (2005). The Noble Life of the Prophet (Vol1-3) Volume 1 of The Noble Life of the Prophet. Darussalam, 2005. hlm. 175–. ISBN 9789960967875. Diakses tanggal 8 Agustus 2012.
- ^ a b "Biography of Musab ibn Umair". techislam.com. Diarsipkan dari asli (pdf) tanggal 2016-04-18. Diakses tanggal 2012-08-23.
- ^ Ariel Merari (2010). Driven to Death: Psychological and Social Aspects of Suicide Terrorism. Oxford University Press, 2010. hlm. 96–. ISBN 9780195181029. Diakses tanggal 7 Agustus 2012.
- ^ Safi ur Rahman Al Mubarakpuri (2002). Ar-Raheeq Al-Makhtūm. Darussalam, 2002. hlm. 187,338–. ISBN 9789960899558. Diakses tanggal 7 Agustus 2012.
- ^ Muhammad Husayn Haykal, Islamic Book Trust (1994). The Life of Muḥammad. The Other Press, 1994. hlm. 186–. ISBN 9789839154177. Diakses tanggal 7 Agustus 2012.
- ^ (Arab) Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa'ad - Mush'ab bin Umair (3)
- ^ a b (Arab) Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa'ad - Mush'ab bin Umair (4)
- ^ a b (Arab) Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa'ad - Mush'ab bin Umair (6)
Bacaan lanjutan
- Khalid, Khalid Muhammad, 2001. Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah. Bandung: Diponegoro
- Lings, Martin (1983). Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Inner Traditions International. ISBN 0-89281-170-6.
Pranala luar
- (Inggris) Musab Ibn Umayr Diarsipkan 2008-09-19 di Wayback Machine.
- (Inggris) Life and Times of Imam Bukhari Diarsipkan 2006-10-17 di Wayback Machine.